Thursday, November 24, 2016

FLASHBACK DIKIT : PASUKAN M TKR LAUT BERMAIN DENGAN MAUT DEMI NUSA DAN BANGSA Part 3

Gerakan Pasukan M di Bali Tengah

Dalam perjalanannya ke timur untuk bergabung dengan Resimen Ngurah Rai, Markadi dan pasukan ekspedisinya sampai di Pulukan Kampung Jawa. Mereka disambut oleh para pemuda pejuang setempat yang dipimpin oleh Tukio. Para pemuda itu mengusulkan kepada Markadi untuk melakukan serangan ke pos tentara Belanda di perkebunan Pulukan, antara lain guna membangkitkan semangat pemuda-pemuda wilayah itu. Serangan dilakukan pada malam hari kira-kira jam 23:00. Kontak senjata berlangsung sekitar setengah jam. Dalam serangan itu tidak jatuh korban di pihak kita, walaupun Markadi nyaris tewas terkena granat. Granat itu dilemparkan kea rah musuh oleh salah seorang pemuda pejuang, tetapi tersangkut di cabang pohon tepat di depan Markadi. Walaupun granat itu meledak hanya beberapa meter di hadapannya, Markadi samasekali tidak terluka.
Dua hari sesudah Gelar diserang musuh, Mangara Simamora dan sisa peletonnya sampai di desa Yeh Embang, dekat Pulukan, untuk menemui Markadi. Oleh Markadi, Mangara diperintahkan untuk tetap di Pulukan mendampingi pemuda-pemuda pejuang setempat memelihara basis perjuangan dan mengusahakan agar hubungan dengan pulau Jawa tidak terputus. Tetapi sebulan kemudian, karena gencarnya serangan-serangan musuh, pasukan Mangara Simamora terpaksa meninggalkan Pulukan bersama-sama dengan pemuda-pemuda pejuang setempat dan sejumlah rakyat, termasuk lurahnya. Mereka menuju ke timur laut ke Munduk Blatung, yaitu daerah yang semula ditentukan untuk menjadi basis operasi.
Sehari sesudah pertemuan dengan Mangara Simamora, Markadi didatangi oleh seorang kurir utusan Ngurah Rai. Kurir itu memberitahu Markadi bahwa Resimen Ngurah Rai sedang bergerak di sekitar Pupuan, dan Pas M diharapkan untuk menuju ke daerah tersebut. Esok harinya Pas M bergerak menuju Pupuan.
Setelah berjalan sehari, sampailah Pas M di lokasi Resimen Ngurah Raid an Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia Sunda Kecil (DPRI-SK) Bali. Ngurah Rai, Markadi dan para anggota DPRI mengadakan rapat dan memutuskan bahwa Pas M secara resmi dibawah-perintahkan Resimen Ngurah Rai sesuai dengan yang sudah direncanakan seaktu di Jawa. Esoknya seluruh pasukan kembali ke basis Resimen dan Markas Besar Umum (MBU) di Munduk Malang, wilayah Tabanan.
Di Munduk Malang, Markadi diperkenalkan dengan para komandan tempur Resimen, antara lain Sugianyar, Sardja, I Gusi Ngurah Pinda, Gerdeg dan Tiaga; staf Resimen, antara lain Haryo Mataram (putra Ki Hajar Dewantara) dan I Gusti Ngurah Wisnu; ketua DPRI-SK Bali, yaitu Wijakusuma; dan komandan Polisi (RI) Mahadewa.
Selama di basis Munduk Malang, Pas M ikut melakukan patrol-patroli pengamanan ke arah selatan basis, antara lain ke Penebel, Marga, Wangaya Gede.
Suatu hari sampai di Munduk Malang sepucuk surat yang dikirimkan oleh Overste (Letkol) Termeulen, komandan tentara Belanda di Bali waktu itu. Surat itu ditujukan kepada Letkol I gusti Ngurah Rai yang isinya meminta agar ia menghentikan perlawanannya. Permintaan tesebut ditolak mentah-mentah. Implikasi surat dari komandan tentara Belanda tersebut ialah bahwa Belanda sudah mengetahui lokasi basis Markas Besar Umum (MBU) perjuangan rakyat Bali dan tempat kedudukan para pemimpinnya di Munduk Malang.
Mereka memutuskan untuk segera meninggalkan Munduk Malang dan memulai apa yang disebut Wingate, yaitu gerakan tempur dengan mobilitas pasukan yang tinggi. Wingate ini selain untuk menghindar dari kemungkinan serangan besar-besar oleh musuh, juga dimaksudkan untuk mempertinggi semangat juang para pemuda pejuang yang tersebar di berbagai daerah seluruh Bali. Maksud lain ialah agar Belanda mengurangi konsentrasi pasukannya di Bali Barat, sehingga meringankan beban pasukan-pasukan kita dari Jawa yang menurut rencana akan segera tiba didaratkan di Bali.

Gerakan Pasukan M di bali Timur

Seperti telah dikemukakan, Pas M pilihan yang langsung dipimpin oleh Markadi dibawah-perintah Resimen Ngurah Rai, dan selama operasi-operasi Wingate ke Bali Timur, Pas M selalu merupakan unsur penting yang berjuang bahu-membahu dengan pasukan-pasukan Resimen Ngurah Rai lainnya.
Operasi Wingate dimulai dengan gerakan ke Singaraja bagian barat, dan melakukan serangan-serangan di tempat itu antara lain dengan maksud agar kesatuan-kesatuan perlawanan rakyat di desa-desa setempat meningkat semangat juangnya. Kemudian pasukan-pasukan bergerak ke timur dan menyerang pos militer musuh di Banjar Lampu. Dalam serangan ini Pas M bertugas menutup kemungkinan pengiriman pasukan bantuan bagi musuh.
Dari Banjar Lampu pasukan-pasukan menuju kea rah desa Gitgit. Di dekat dsesa itu, pasuan Gerdeg melakukan penghadangan terhadap pasukan musuh yang sangat mengagetkan pihak lawan. Dari Gitgit, pasukan-pasukan terus bergerak ke desa Nangka di wilayah Jagaraga Buleleng Timur. Dalam gerakan maju ini, Pas M ditunjuk sebagai pasukan pengaman dengan dibantu oleh regu montir yang dipimpin oleh I gusti Ngurah Pinda (tokoh ini kemudian menjabat sebagai wagub Propinsi Bali dan anggota DPR RI). Mengenai mortar itu perlu dikemukakan bahwa senjata itu buatan sendiri (dalam negeri) yang memakai bahan baju tiang listrik!
Jalan yang akan dilalui pasukan induk ada di bawah rangkaian perbukitan sehingga sangat berbahaya jika musuh mengahadang dari atas bukit. Maka Markadi memerintahkan Pas M untuk menaiki rangkaian bukit dan berjalan di punggung perbukitan di atas jalan yang akan dilalui pasukan induk. Perkiraan Markadi mengenai penghadangan oleh musuh itu ternyata benar.
Prajurit pengintai terdepan melaporkan bahwa pasukan tentara Belanda sedang bersiap-siap mengatur stelling penghadangan di atas bukit di hadapan Pas M. Musuh tidak mengetahui bahwa di sampingnya ada pasukan kita pada ketinggian yang sama. Dengan hati-hati Markadi memerintahkan pasukannya untuk mendekati kedudukan musuh dari arah samping. Sesudah kira-kira 100 meter dari posisi musuh, pasukan diberi isyarat untuk berhenti dan siap tempur.
Sebagai pembuka serangan, Markadi memerintahkan regu mortar Ngurah Pinda untuk menembakan mortirnya. Sayang macet. Maklum mortar bikinan sendiri! Beberapa serdadu Belanda rupa-rupanya mendengar bunyi-bunyi mortar macet yang mencurigakan, dan mereka berdiri memandang ke arah datangnya bunyi-bunyi itu. Untung mereka masih juga tidak menyangka bahwa ada pasukan kita di dekatnya. Saat itulah Markadi member aba, “Tembak!” Seketika Sardi memberondongkan senapan mesinnya sedangkan pemegang-pemegang senapan menembak serentak. Baru musuh menyadari bahwa mereka telah terjebak. Dengan balas menembak yang tidak terarah, karena kaget, musuh lari dengan memanggul atau menyeret kawan-kawannya yang luka  atau mati kea rah bangunan sekolah di dekatnya, yang ternyata mereka jadikan pos. Maka tembakan-tembakan diarahkan ke gedung sekolah tersebut. Musuh makin panik, dan lari berhamburan keluar dari gedung dengan membawa sebisanya yang terluka dan yang mati kea rah lembah di belakang gedung sekolah, dengan meninggalkan ceceran darah, alat-alat masak dan makanan yang belum sempat dimakan.
Hikmah yang kita peroleh dari kemenangan itu ialah bahwa dalam setiap pertempuran kita harus menguasai posisi yang lebih tinggi daripada musuh. Lebih baik berjerih-payah mendaki bukit bermandi keringat daripada mati bersimbah darah!
Sore harinya musuh mengadakan serangan balasan yang tidak menggunakan pasukan ifanteri tetapi langsung menembaki pasukan kita dari udara dengan pesawat-pesawat pemburu Mustang (P-51)

Markas Gabungan Gerakan Sunda Kecil (MGGSK)

Setelah Pas M diserang musuh di Gelar pada bulan Mei 1946, sebagian dari anggota-anggotanya mundur ke Bali utara, termasuk kelompok Combat Intelligence Section (CIS) yang dipimpin oleh Saestuhadi dan Abdul Madjid (kakek gue vroh…). Mereka kemudian berhasil menyeberang ke Jawa. Sementara itu di pulau Jawa telah terbentuk suatu gabungan badan-badan perjuangan yang disebut Markas Gabungan Gerakan Sunda Kecil (MGGSK).
MGGSK adalah hasil jerih-payah Munadji untuk memperkuat pasukan-pasukan kita yang berjuang di Bali. Seperti tampak dari namanya, dalam badan perjuangan ini tergabung berbagai kesatuan, yaitu sebagian Pasukan M (antara lain CIS yang kembali dari Bali), pasukan MBAL dari yogya, pasukan Penataran Angkatan Laut (PAL), pasukan Pesindo dari Batu, dan Pasukan Berani Mati BPRI. Surat keputusan pembentukan MGGSK ditandatangani pada tanggal 20 Februari 1946 oleh Panglima Besar Sudirman dan Menteri Pertahanan Amir Syarifudin.
Bung Karno sendiri menyetujui upaya memperkuat pasukan-pasukan kita di Bali, terlebih-lebih setelah mendengarkan laporan lisan yang diberikan Abdul Madjid (anggota CIS). Sesudah laporan selesai, ada percakapan singkat antara Bung Karno dan Abdul Madjid sebagai berikut:
BK           :               “Wat hebben jullie nodig?” (Kalian memerlukan apa?)
AM          :               “Wapens.” (Senjata.)
BK           :               “Goed.” (Baik.)
Maka dikirimlah sepasukan dari MBAL Yogyakarta di bawah pimpinan Kapten Suradi. Selain personel dikirim pula senapan-senapan mesin (yang dicopot dari pesawat-pesawat tempur) beserta amunisinya. Granat-granat tangan buatan dalam negeri juga diperoleh berkat bantuan Kolonel Zoelkifli Loebis.
Pertengahan Mei 1946, pasukan-pasukan ang tergabuung dalam MGGSK yang berjumlah 200 orang sudah berkumpul semuanya di Sukowidi. Sementara menunggu perintah pendaratan, mereka sehari-harinya mengadakan latihan-latihan.
Sementara itu Abdul Madjid dan Ahmad Nudio, kedua-duanya dari CIS, berupaya memperoleh partisipasi kaum nelayan di Muncar dalam operasi pendaratan yang direncanakan itu. Akhirnya mereka bersedia menyediakan perahu-perahunya, dan mereka bahkan ikut-serta sebagai tukang-tukang perahu. Karena mau ikut berjuang, mereka tidak menuntut imbalan apapun. Namun sebagai tanda terima kasih, Madjid dan Nudio memberikan berslof-slof rokok putih Siraho kepada mereka.
Renacana-rencana pendaratan dan operasi-operasi di darat sudah mulai disusun oleh Munadji sebagai komandan MGGSK bersama-sama Sriaman sebagai komandan TKR Laut Banyuwangi, komandan-komandan pasukan, dan Tomegoro Yoshizumi (Bung Arief). Pasukan-pasukan akan diberangkatkan dari pelabuhan Banyuwangi tanggal 1 Juli 1946 mulai kira-kira jam 20:00 dengan menggunakan perahu mayang dan jukung. Pendaratan akan dilakukan antara Gilimanuk dan Tukadaya. Titik-kumpul semua pasukan adalah di daerah Melaya Tengah. Sesudah itu semua pasukan menuju Tabanan untuk bergabung dengan Markadi. Munadji menunjuk Suryadi sebagai piminan pendaratan, dibantu oleh Sugiarto (Pesindo), Saestuhadi sebagai perwira operasi, dan Drijopangarso.

Pelaksanaan Operasi MGGSK

                Hari H yang direncanakan tanggl 1 Juli 1946 terpaksa ditunda 1 hari karena arus dan pasang-surut lut tidak memungkinkan penyebrangan. Tnaggal 2 Jui 1946 malam pemberangkatan jadi dilakukan. Malam gelap-gulita, laut cukup tenang dan angina bertiup lemah. Perahu-perahu mayang ditarik motorboat sampai tengah laut, sedangkan jukung-jukung brlayar dengan kekuatan sendiri.
                Sementara itu, keadaan di Bali sudah sangat berbeda dari informasi terakhir yang diterma MGGSK dua bulan sebelumnya. Selama 2 bulan itu Belanda berhasil menakuti-nakuti rakyat dengan ancaman hukuman berat bagi siapapun yang membantu tentara kita. Bahkan banyak di antara rakyat yang ditangkap Belanda. Jadi MGGSK menggunakan informasi kadaluwarsa untuk merenvanakan operasi-operasinya, dan ini akan membawa konsekuensi fatal.
                Karena kondisi perahu satu sama lainnya berbeda-beda, begitu pula ketrampilan awak perahunya, maka pendaratan tidak mungkin dilakukan di satu temat pada waktu yang bersamaan. Pendaratan dilakukan di Klatakan, Penginuman dan Batukarung, antara jam 02:00 dini hari sampai fajar.
                Pasukan induk yang dipimpin Suryadi dan berjumlah lebih dari 100 orang mendarat di Klatakan pada dini hari sampai fajar tanggal 3 Juli 1946. Ini adalah kali  pertama Suryadi mendarat di Bali, dan ia boleh dikatakan buta geografi tempat di mana ia kebetulan mendarat, pun buta situsiasi masyarakat Bali Barat yang mutakhir. Berbeda dari pendaratan-pendaratan sebelunya, tidak ada pemuda-pemuda setempat yang menjemput dan menjadi penunjuk jalan dan pemberi informasi mengenai keadaan.
                Perintah pertama yang diberikan Suryadi ialah supaya sebagian pasukan menguasai jembatan sungai Klatakan yang menghubungkan Gilimanuk dengan Negara, dan melindungi anggota-anggota lain yang ada di pantai atau yang sedang mendarat. Sampai matahari terbiit pasukan yang mendarat di Klatakan masih ada di pantai. Ini berakibat fatal. Seharusnya begitu pasukan mendarat, mereka harus cepat-cepat bergerak menyebrang jalan raya Gilimanuk-Negara dan masuk hutan. Inilah yang dilakukan kelompok-kelompok kecil yang mendarat di Penginuman dan Batukarung, yang kebanyakan adalah anggota CIS.
                Sejak pendaratan ini, semua pasukan yang tergabung dalam MGGSK secara organic dimasukkan ke Pas M TKR Laut.
                Karena banyak mata-mata yang gentanyangan di Bali Barat, Belanda segera mengetahui adanya pendaratan itu. Mereka mengirimkan tentaranya dalam jumlah besar dan stelling di jalan raya. Dengan demikian pasukan MGGSK yang masih ada di pantai terjepit. Di depan musuh, di belakang laut. Tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali maju sambil bertempur. Mereka menjadi sasaran empuk bagi berondongan metraliyur-metraliyur Belanda. Maka banyak yang gugur, sebagian tertangkap, dan sebagian lagi berhasil lolos menyebrang jalan menerobos ‘pagar betis’ tentara musuh, Pertempuran demikian hebatnya sampai-sampai terdengar di Banyuwangi.
                Sejak pertempuran di Klatakan itu, pasukan MGGSK tercerai-berai, tanpa piminan dan tanpa pengarahan. Suryadi sendiri termasuk yang berhasil lolos dari kepungan Belnada, walaupun betisnya tembus tertebak. Ia diselamatkan oleh empat anak buahnya, dan waktu berjalan ke utara bertemu lagi dengan sepuluh anak buahnya. Tetapi dalam tembak-menembak dengan musuh ia gugur di Bali Utara. Di mana ia dikubur, sampai sekarang tak seorang pun yang mengetahuinya. Nasib serupa bahkan lebih buruk dialami Sugiarto, wakil komandan pendaratan. Sesudah pertempuran di Klatakan tersebut, ia tidak tampak lagi, Seandainya pun gugur, tidak ada orang yang tahu kuburnya.
                Kelompok-kelompok yang mendarat di Penginuman dan Batukarung agak lebih baik nasibnya karena mereka langsung menyeberang jalan raya sesudah mendarat. Secara tidak sengaja, mereka terbagi menjadi dua kelompok. Dalam kelompok yang satu terdapat beberapa anggota CIS, termasuk pimpinannya sendiri, yaitu Saestuhadi. Dalam kelompok lainnya juga terdapat beberapa anggota CIS, antara lain Dugel Djoko Imam Subekti, Soebagio dan Samekto. Kelompok Saestuhadi berpapasan dengan patrol musuh di dekat Blimbingsari, dan sesudah pertempuran singkat Saestuhadi gugur. Jenazahnya diambil oleh masyarakat kampong, dan dimakamkan sebagi seorang yang mati syahid di desa Tukadaya.
                Kelompok Dugel bergerak ke timur dengan tujuan Tabanan. Dalam perjalanan, mereka berjumpa dengan pecahan-pecahan pasukan induk sehingga jumlah kelompok menjadi kira-kira 40 orang. Pun dalam perjalanan, mereka terpaksa menyusuri hutan dan makan apa saja yang bias dimakan. Akhirnya sebagian berhasil sampai di Penataran. Sebagian lagi gugur, dan jenazah-jenazah mereka berserakah di hutan.
                Di antara mereka yang berhasil sampai di Penataran, daerah Tabanan, ialah Dugel Djoko Imam Subekti, Samekto dan Armanus, pemegang senapan mesin berlaras ganda. Di Penataran ini mereka bertemu dengan peleton Mangara Simangora dari Pasukan M. Beberapa hari setelah Dugel sampai di tempat itu, ada laporan bahwa patrol Belanda sedang menuju ke desa itu. Dugel segera mengumpulkan anggota-anggota yang bersenjata. Senapan mesin berlaras ganda dan karaben-karaben menewaskan dan melukai serdadu-serdadu Belanda itu. Dua mayat serdadu ditinggalkan. Lain-lainnya lari kocar-kacir. Menurut laporan penduduk mereka membawa kawan-kawannya yang mati dan luka-luka. Salah satu yang tewas adalah seoraang kontrolir (pejabat pangreh praja) Belanda. Mereka meninggalkan bekal makanan dan alat-alat memasak. Seperti kata Jayusman (Almarhum, wakil simamora), bagaimanapun keadaannya, Pasukan M terbukti masih kuat berperang.
                Karena kekalahan ini, Belanda memngamuk dan esok harinya mengirimkan pasukan-pasukan ke Penataran dan sekitarnya yang tidak tanggung-tanggung besarnya, termasuk dau pesawat pemburu yang menembaki setiap gerumbul. Pasukan M mengadakan stelling untuk melawan. Tetapi kemudian diketahui bahwa melawan berarti bukan bunuh diri. Serdadu-serdadu Belanda menyerbu dari segala jurusan, dan sudah ada di mana-mana. Pasukan M akhirnya masuk hutan. Sisa-sisa Pasukan M/MGGSK yang tidak ada yang memimpin lagi akhirnya terpecah-pecah, ada yang ke barat, ada yang ke utara, ada yang ke timur. Sebagian tidak pernah dijumpai lagi, sebagian bertemu dengan kawan-kawan seperjuangan di kamp tawanan Belanda, sebagian lagi dapat berkumpul dengan kawan-kawan sepasukannya di pulau Jawa beberapa tahun kemudian.

Mukzijat Gunung Agung

                Akhir bulan Juni sampai awal bulan Juli 1946, gerakan Wingate Resimen Ngurah Rai, yang di dalamnya termasuk Pas M, menuju ke daerah Karangasem melalui lereng selatan Gunung Agung (gunung berapi tertinggi di Bali) dan daerah Selat.  Gerakan yang sungguh nekad ini bertepatan waktu dengan pendaratan MGGSK di bagian barat pulau Bali, sehingga seolah-olah ada koordinasi antara dua operasi itu.
                Karena harus menghadapi pasukan-pasukan kita di barat dan timur, Belanda mendatangkan bala bantuan dari daerah-daerah lain dan memperkuat angkatan udaranya dengan pesawat-pesawat Mustang (P-51) dan B-25. Maka dalam pertempuran-pertempuran selanjutnya selalu muncul dua jenis pesawat itu untuk menembaki dengan senapan mesin berat, meroket dan membom sasaran-sasaran yang mereka kira merupakan tempat-tempat pemusatan pasukan-pasukan kita.
                Resimen Ngurah Rai, yang tidak tahu telah terjadi pendaratan pasukan MGGSK di barat, terus bergerak ke timur, ke daerah Rendang (bkn makanan ya coeg wkwkwk), di mana terjadi pertempuran yang hampir menghancurkan seluruh pasukan Resimen Ngurah Rai.
                Belanda mengetahui bahwa pasukan besar yang ada di lereng Gunung Agung itu adalah pasukan induk, maka mereka bertekad untuk menghancurkannya dengan menggunakan segala macam senjata, termasuk mortar 12 cm, dua pesawat pemburu Mustang dan satu pembom B-25.
                Setelah dua hari kontak senjata dan penembakan dan pemboman kubu-kubu pertahanan kita oleh Mustang dan B-25, pasukan-pasukan kita mempersempit daaerah pertahanan di lereng Gunung Agung. Jalannya pertempuran pada hari ketiga adalah sebagai berikut :
                Dengan ancaman serangan musuh dari arah kiri dan arah kanan dan dari depan. Pasukan kita bertahan dalam bentuk setengah lingkaran, dengan lereng Gunung Agung sebagai latar belakang. Pertempuran berlangsung satu hari penuh, dan tembak-menembak baru mereda menjelang gelap tatkala daerah pertempuran masih diselimuti kabut. B-25 yang hari itu terus-menerus menembaki pasukan kita sore itu menghilang, dan hanya mortar musuh melakukan tembakan-tembakan ke pertahanan kita walaupun tidak mengenai sasaran.
                Hari sudah beranjak malam di lereng Gunung Agung. Pasukan sudah letih dan mesiu sudah menipis. Tentara musuh ada di kanan-kiri-depan, siap memberikn pukulan maut terakhir esok harinya. Untuk menghindari kehancuran total, tidak ada jalan lain bagi pasukan-pasukan Wingate Ngurah Rai, kecuali naik ke puncak Gunung Agung yang ada di belakang daerah pertahanan, dengan menerobos hutan belukar yang tanpa jalan, dan lolos di lereng seberang puncak. Beberapa komandan mengusulkan untuk malam itu juga menerobos pertahanan musuh di sebelah timur dan terus ke daerah Karangasem. Namun pimpinan berpikir bahwa penerobosan itu akan memakan lebih banyak korban karena tidak diketahui secara tepat posisi-posisi musuh di sektor itu. Keputusan naik Gunung Agung lewat hutan yang tidak ada jalannya itu pasti tidak diperkirakan musuh karena pendakian itu memang tidak mungkin menurut akal sehat, dan oleh sebab itu merupakan satu-satunya jalan yang aman untuk dapat lolos dari kepungan maut yang sangat ketat.
                Malam itu juga pendakian Gunung Agung dimulai. Pendakian tidak dapat dilakukan siang hari karena pasti akan dihabisi oleh pesawat-pesawat terbang. Jadi di bawah lindungan kegelapan malam, seluruh pasukan Wingate yang hamper tidak makan dan minum selama tiga hari, menerobos hutan tanpa jalan, dan sungguh suatu mukzizat pasukan mencapai puncak, dan langsung menuruni lereng ke daerah Klandis. Di desa itu rakyat menyambut pasukan dengan hangat dan menyediakan makanan berupa hasil lading setempat seperti singkong, ubi jalar dan keladi, yang diterima oleh pasukan yang kecapaian dan kelaparan itu dengan gembira dan rasa terima kasih.

Babak Baru

                Tatkala pasukan di Klandis, terbetik berita mengenai perjanjian Linggarjati yang sangat mengejutkan para pejuang di Bali. Sebagaimana diketahui, Perjanjian Linggarjati tersebut hanya mengakui Jawa dan Sumatra sebagai wilayah RI, sedangkan Bali tidak termasuk.
                Meskipun sangat kecewa, para pejuang di Bali tidak patah semangat, malahan bertekad untuk tetap melanjutkan perang gerilya dengan intensitas dan efisiensi yang lebih tinggi. Maka para pejuang dibagi dalam dua front yang terpisah tetapi satu komando. Front pertama diisi oleh pasukan tempur, sedangkan yang kedua oleh unsur teritorial yang bertugas membina rakyat untuk melakukan perlawanan yang disesuaikan dengan kondisi setempat dan untuk mendukung pasukan tempur. Anggota-anggota unsur teritorial ini diwajibkan kembali ke wilayah masing-masing dan menyatu dengan rakyat. Dengan demikian beban logistik desa-desa dapat diringankan karena mereka selanjutnya hanya wajib menyiapkan suplai bagi pasukan-pasukan tempur yang mobil.
                Selain itu, I Gusti Ngurah Rai sebagai pimpinan Markas Besar Umum pejuang di Bali memutuskan untuk mengirim surat ke Pemerintah Pusat RI di Yogyakarta.
Yang diutus untuk membawa surat itu adalah Mahadewa dan Haryo Mataram. Tetapi misi ini gagal karena tidak berhasil menembus blockade Belanda di seluruh pantai Bali yang dijaga dnegan sangat ketat. Maka terpaksa diangkat misi kedua yang terdiri dari Markadi, komandan Pas M, dan I Gusti Ngurah Mataram, seorang pejabat MBU. Komandan Pas M Ekspedisi diserahkan kepada I Gusti Ngurah Dwinda, dan berangkatlah Markadi dan Mataram dari daerah utara Bangli menuju ke barat.
                Dalam perjalanannya ke barat, Markadi dan Mataram singgah di Munduk Blatung, basis perjuangan yang dijaga oleh Pas M yang dipimpin oleh Mangara Simamora. Pun di tempat itu mereka bertemu dengan sejumlah pasukan yang mendarat pada bulan Juli, antara lain Dugel Djoko Imam Sukbekti, Martowo dan Samekto.
                Perjalanan misi Markadi ke Jawa penuh dengan bahaya yang hampir-hampir merenggut nyawa mereka, tetapi lagi-lagi suatu mukzizat misi itu berhasil sampai di pulau Jawa.

Pasukan M Pecah di Munduk Blatung

                Munduk Blatung terletak di daerah berbukit-bukit di sebelah barat laut Tabanan. Di bukit-bukit itu terdapat perkebunan kopi yang sudah tua dan hutan belantara. Pasukan pimpinan Mangara Simamora sudah beberapa bulan mangkal di tempat itu, menjaga daerah sekitarnya dan membimbing rakyat agar semangat perjuangan mereka tidak padam. Awal bulan Agustus 1946, sampai pula di tempat itu sejumlah pasukan yang merupakan bagian pasukan yang cukup besar yang didaratkan di Bali pada awal bulan Juli. Pasukan ini membawa senjata, termasuk metraliyur laras ganda yang oleh Dugel dan anak buahnya dimanfaatkan untuk menghancurkan patroli musuh yang mendekati desa Penataran.
                Setelah memperingati Hari Ulang Tahun pertama Republik Indonesia, yang dilakukan di tengah hutan, pasukan memutuskan untuk pecah menjadi tiga kelompok.
                Kelompok pertama di bawah Nurhadi menuju ke barat dengan maksud menyeberang ke Jawa, kalau mungkin. Sebagian besar kelompok ini tertangkap musuh dan sebagian lagi gugur, termasuk Nurhadi.
Kelompok kedua, yang terdiri antara lain dari Dugel, Marwoto dan Bambang Sakri, menuju utara dan melanjutkan perjuangan sebagai unsur territorial. Dugel, misalnya, menjadi ketua markas cabang DPRI Anjasmara yang terletak di perbukitan barat daya Buleleng. Ia bertugas membimbing rakyat agar semangat juang mereka tetap menyala, dan mengorganisir perjuangan rakyat. Kelompok kedua ini akhirnya terjebak bersama-sama para pejuang di Bali lainnya, gara-gara seorang tokoh yang mengaku diutus pemerintah pusat RI. Maka pada bulan Mei 1948, Dugel dan beberapa anggota Pas M yang bersamanya, tertangkap Belanda. Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) mereka semua dikembalikan ke Jawa.
                Kelompok ketiga, yang terdiri dari antara lain Tamsir, Ngadisan, Bung Slamet (Jepang) menuju ke timur, dan kemudian ikut bertempur pada puputan Margarana. Pertempuran habis-habisan itu menelan korban 96 pahlawan, termasuk I Gusti Ngurah Rai. Tamsir dan Ngadisan berhasil selamat. Bung Slamet gugur.
                Mangara Simamora tidak termasuk dalam salah satu tokoh kelompok di atas. Ia menyatu dengan para pejuang di Singaraja sampai tertangkap pada awal 1948.


Duh… makin seru aja ya di part 3 ini, dan gak kalah penting yaitu semangat para pejuang jaman dulu tuh bener-bener hebat ya. Eh iya part 4 menyusul

No comments:

Post a Comment