Kegagalan
tahap pertama ini tidak membuat Prabowo dan Munadji menghentikan upayanya.
Meraka segarea menguhubungi Shibata, yang kemudian menunjuk tiga orang Jepang
untuk mendampingi Satgas Prabowo. Mereka adalah Tomegoro Yoshizumi (Arief), Kashioki
Mike. Yang sudah disebut di atas, dan Takaachi. Dalam pelaksanaan tugas tahap
kedua inilah Markadi diikutsertakan.
Pada tahap
kedua ini, mula-mula Satgas mengalam kesulitan karena komandan Kaigun di
Denpasar tetap menolak untuk berunding karena telah terikat dengan perintah
sekutu. Tetapi berkat bujukan tiga orang Jepang Satgas tadi, sikap komandan itu
akhirnya melunak.
Sesudah dua
kali pertemuan, komandan Kaigun itu mengajukan usul. Karena Kaigun di Bali
sudah terikat dengan perintah Sekutu, maka harus ditempuh jalan agar penyerahan
senjata kepada pihak Indonesia tidak membahayakan posisi Kaigun di Bali di mata
Sekutu. Maka cara yang ditempuh adalah seolah-olah terjadi ‘perebutan’ senjata
Kaigun oleh pihak Indonesia. Untuk itu perlu didaratkan pasukan dari Jawa yang
berjumlah antara 50 sampai 100 orang di Gilimanuk, dan seakan-akan ‘bertempur’
dengan pihak Kaigun. Seluruh personel Kaigun kemudian diamankan sesuai rencana,
dan senjata-senjatanya disita. Dengan pertempuran pura-pura ini dapat
diciptakan kesan bahwa senjata Kaigun di Bali bukan diserahkan begitu saja ,
melainkan direbut pihak Indonesia. Usul komandan Kaigun ini dapat disetujui
Satgas, dan disepakati bahwa pelaksanaannya 3 sampai 4 minggu sesudsah
persetujuan itu dicapai.
Keputusan
pertemuan tersebut disampaikan kepada Gubernur Sunda Kecil, Ketut Pudja, di
Singaraja, dan kepada para pemimpin pemuda di Bali, antara lain Widja Kesuma
dan Anak Agung Sutedja.
Satgas Prabowo
segera melapor kepada Markas Besar TKR Laut di Lawang. Pimpinan TKR Laut
menyambut baik hasil pelaksanaan tugas Satgas Prabowo itu, dan memutuskan untuk
mengirimkan pasukan ke Bali sesuai dengan persetujuan Denpasar. Markadi
diperintahkan untuk memimpin pasukan itu.
Pasukan M Melaksanakan Hasil Satgas
Untuk menindak-lanjuti hasil Satgas
Prabowo, Pasukan M perlu memperkuat diri dari segi baik personel maupun
persenjataan. Saestuhadi, wakil komandan Pasukan M, tetapi juga siswa Sekolah
Pertanian Menengah Tinggi (SPMT, sekarang disebut SPMA atau udah berubah lagi
coeg) mulai menghubungi kawan-kawannya di Malang. Dalam waktu singkat
terbentuklah pasukan berkekuatan 50 orang yang terdiri dari para siswa SPMT,
termasuk satu gurunya, yaiu Pak Umar Drijopangarso, dan Sekolah Menengah
Tinggi, sekarang SMA), Malng.
Persenjataan
berupa karaben kavaleri dan pistol metraliyur diperoleh dengan ikut merampas
seluruh persenjataan Jepang di tangsi Rampal, Malang. Mereka semua sdudah
mengikuti latihan militer di sekolah menengah zaman Jepang, di mana latihan militer
adalah wajib. Bahkan ada yang sudah berpengalaman di front Surabaya.
Awal Desember 1945
pasukan khusus ini diberangkatkan ke Banyuwangi. Sambil menunggu perintah
pendaratan, mereka diberi tugas-tugas penjagaan sepanjang pantai dari
Wongsorejo sampai Muncar.
Sementara itu
keadaan di Bali sudah samasekali berubah. Pada awal Desember 1945, utusan
Sekutu mendarat di Benoa dalam jumlah yang sebetulnya tidak besar, dan hanya
bermaksud mengawasi pelaksanaan perintah Sekutu kepada Jepang untuk menjaga
keamanan dan ketertiban. Kehadiran Sekutu ini membuat sikap Kaigun menjadi
keras dan agresif. Bahkan atas perintah Sekutu, mereka merencanakan untuk
menangkap semua pimpinan pemuda di Bali. Para pemuda menanggapi sikap dan
rencana Jepang ini dengan cara yang keras pula. Tetapi kaena tidak memiliki
senjata, rencana-rencana mereka tidak berhasil.
Karena situasi yang
sudah demikian berubah, kesepakatan antara Satgas Prabowo dan Komandan Kaigun
di Denpasar pasti tidak dapat dilaksanakan. Maka pasukan khusus yang sudah siap
diberangkatkan itu terpaksa ditarik kembali ke Malang.
Surat Perintah Kepala Staf Umum TKR Laut
Sesudah persetujuan
Denpasar tidak mungkin dilaksanakan, Prabowo,Munadji dan Markadi bersama-sama
pergi ke Yogya untuk menemui Kepala Stad Umum TKR Laut, M. Pardi.
Dalam pertemuan
yang berlangsung di Markas Besar TKR laut itu, Prabowo melaporkan usaha-usaha
Satgasnya untuk membuat Kaigun di Bali bersedia menyerahkan senjatanya kepada
RI, juga perubahan sikap komandan Kaigun yang mengagalkan usahah-usaha itu.
Menurut KSU, laporan Prabowo itu cocok dengan apa yang dilaporkan Ngurah Rai.
Perlu dijelaskan bahwa komandan Resimen TKR Sunda Kecil itu pergi ke Jawa
sesudah kegagalan konfrontasi dengan Jepang pada pertengahan Desember 1945 itu,
dengan tujuan menjumpai para pemimpin Pemerintahan dan Angkatan guna
mendapatkan senjata dan amunisi.
Berdasarkan
laporan-laporan yang telah diterima, Markas Besar TKR Laut memutuskan untuk
memberikan bantuan kepada Ngurah Rai. Munadji diperintahkan untuk menyiapkan
bantuan itu. Untuk pelaksanaan bantuan itu, Prabowo mengatur agar kepada
Munadji diberikan Surat Keputusan. SK ini keluar pada tanggal 28 Januari 1946,
dan untuk Munadji merupakan legalisasi pertama oleh Pemerintah Pusat bagi
daya-upayanya membantu perjuangan di Bali. SK M. Pardi tersebut kemudian
disusul dengan Surat Perintah yang berisi petunjuk pelaksanaan terperinci
mengenai apa yang tercantum dalam SK tersebut.
Dalam rangka
melaksanakan tugas-tugas seperti yang diuraikan di atas Munadji dan Ngurah Rai
sering mengadakan pertemuan. Sesungguhnya sejak meninggalkan Bali, Ngurah Rai
sudah menggariskan bahwa bantuan yang diharapkan dari Jawa hanylah berupa
senjata dan amunisi, bukan personel. Tetapi para pemimpin yang ditemuinya,
termasuk yang ada di Pemerintah Pusat di Yogyakarta, memberitahukan bahwa
member bantuan senjata dan amunisi saja tidak mungkin karena semuanya ada di
tangan pasukan-pasukan yang tersebar di garis depan. Yang mungkin adalah member
bantuan senjata beserta pasukan yang memegang senjata itu. Dalam situasi
seperti itulah Ngurah Rai dapat menerima bantuan yang disediakan TKR Laut
berupa pasukan dengan senjatanya, Selain pasukan TKR Laut Banyuwangi di bawah
pimpinan Kapten Waroka, Bntuan tersebut akan berupa Pasukan M yang dipimpin
Kapten Markadi.
Pasukan M Mempersiapkan Diri
Tugas pokok
Pasukan M adalah membantu TKR Resimen Sunda Kecil, dan membentuk basis
perjuangan yang akan menjamin terpeliharanya hubungan anatra Resimen TKR Sunda
Kecil dengan Jawa. Melalui basis perjuangan ini arus informasi timbale-balik
dapat terpelihara, begitu pula pengiriman senjatya dan pasukan. Basis ini
direncanakan berlokasi di Pekutata yang dekat dengan Medewei, yaitu yang
menurut rencana merupakan titik-temu psukan Ngurah Rai dengan Pasukan M.
Untuk melaksanakan
tugas tersebut, Markadi harus mempersiapkan pasukan tempur. Dan untuk dapat
membentuki basis perjuangan, ia jugaharus membawa pasukan yang, selain dapat
bertempur, juga dapat membina masyarakat setempat.
Sesungguhnya
Markadi masih mempunyai pasukan yang utuh terutama untuk melaksanakan tugas
ganda, yaitu bertempur dan membentuk basis perjuangan. Pasukan itu adalah yang
semula direncanakan untuk didaratkan di Bali sehubungan dengan persetujuan
Satgas Prabowo dengan komandan Kaigun di Denpasar. Sebagaimana kita ketahui,
pendaratan itu tidak jadi dilakukan karena peristiwa di Bali pada pertengahan
Desember 1945. Sekembalipasukan khusus itu di Malang, sebagian pindah ke
kesatuan-kesatuan lain, tetapi yang tersisa masih 30 orang. Mereka menjadi inti
Pasukan M dan disebut Combat Intelligence
Section (CIS).
Sebagai komandan Polisi Tentara Laut
Resimen II TKR Laut MALANG, Markadi juga masih mempunyaipasukan tempur yang
anggota-anggiotanya terdiri dari mantan Seinendan,
Peta dan Kaigun Heiho.
Persenjataan Pasukan M relatif
lengkjap, antara lain karena didukumg oleh Markas Besar TKR Laut di Lawang dan
di Yogya. Selain itu diperoleh senjata dari Front Surabaya dan Penataran
Angkatan Laut (PAL) Surabaya. Juga senjata-senjata yang dirampas dari tangsi
Jepang di Rampal oleh anggota-anggota CIS masih utuh. Persediaan granat dan
amunisi cukup. Seragam diperoleh dengan merampas gudang Kaigun di Batu. Pasukan
tempur itu dibagi menjadi empat seksi (peleton), yaitu Seksi 1 dipimpin
Muhadji, Seksi 2 dipimpin Nurhadi, Seksi 3 dipimpin Mochtar dan Seksi 4
dipimpin Mangara Simamora.
Pasukan M kemudian
juga diperkuat oleh sekelompok dari TKR Laut Probolinggo di bawah pimpinan
Gatot Suprapto Suwondo, dan Kompi Nazir dari TKR Laut Banyuwangi.
Ketika persiapan
di Malang sudah selesai, Pasukan M diberangkatkan ke Banyuwangi untuk mendekati
sasaran. Akomodasi sudah dipersiapkan oleh TKR Laut Banyuwangi, yaitu suatu
komplek perumahan luas milik pabrik gula yang sudah lama tutup, berlokasi di
Sukowidi, sebelah utara Banyuwangi.
Sambil menunggu
operasi pendaratan, pasukan tempur mengadakan latihan-latihan ketrampilan
tempur, termasuk latihan pendaratan. Sementara itu CIS sudah mulai dengan
operasi-operasinya, Bulan Maret 1946, tiga tim dikirimkan ke Bali untuk
mengumpulkan informasi terutama mengenai kekuatan dan lokasi musuh, mencari
tempat0tempat pendaratan yang aman. Dan mengusahakan dukungan masyarakat untuk
menerima Pasukan M di daerahnya. Dua tim mengadakan penyelidikan di Bali
Selatan, dan satu tim di Bali Utara. Seminggu kemudian, ketiga tim itu sudah
kembali ke Banyuwangi. Mereka mengkonfirmasikan bahwa pada bulan Maret seluruh
Bali sudah diduduki tentara Belanda.
Laporan CIS itu
dicocokan dengan laporan yang diperoleh TKR Laut Banyuwangi dari
informan-informannya. Berdasarkan laporan-laporan tersebut, disusun rencana
operasi pendaratan: Waroka ke utara, Markadi ke selatan. Kemudian ditetapkan
waktu dan tempat pemberangkatan. BAGI pasukan M tanggal pemberangkatan
ditetapkan tanggal 3 April 1946 pada malam hari. Tempat pendaratan ditetapkan
di pantai Bali Barat antara Cupel dan Candikesuma. Sesudah mendarat, seluruh
pasukan menuju titik temu di desa Peh, di sebelah utara Jembrana
Sementaraitu,
sarana pendaratan berupa sejumlah jukung dan perahu mayang milik
nelayan-nelayan di Muncar (sebelah selatan Banyuwangi) dipersiapkan. Juga bekal
bagi pasukan pendarat, berupa kue moci dan dendeng banteng, sudah siap pula.
Semua persipakan ini dilakukan oleh TKR Laut Banyuwangi. Mereka juga menyediakan
dua motorboat untuk menarik perahu-perahu mayang sampai ke ten gah Selat Bali.
Jam pemberangkatan ditentukan oleh pasang-surut dan arus. Saat yang paling
tepat untuk menyebrang ialah bila arus Selat Bali menuju selatan, ke Samudra
Hindia. Sesudah dilepas oleh motorboat, perahu-perahu pendarta akan dapat
memanfaatkan arus tersebut.
Pertempuran Laut Pertama dalam Sejarah RI
Operasi pendartan
Pasukan M ditetapkan tanggal 3 April 1946, hamper bersamaan dengan
pemberangkatan Pasukan Waroka dan Pasukan Ngurah Rai. Maka tatkala malam tiba
pada tanggal itu Pasukan M mulai bergerak.
Untuk mengelabuhi
mata-mata musuh yang diperkirakan masih gentatyangan (dah kek setan) di sekitar
Banyuwangi itu, sebagian pasukan bergerak lewat pantai dan sebagian lagi lewat
jalan besar sambil berpura-pura mengadakan latihan perang-perangan menuju
tempat embarkasi di pelabuhan Banyuwangi, di mana telah menunggu ‘armada semut’
yang terdiri atas 13 jukung dan 3 perahu mayang yang relative besar.
Segera sesudah
air mulai pasang, pasukan diperintahkan naik perahu. Peleton Nurhadi naik
jukung, sedangkan Peleton Muhadji, Peleton Mochtar dan Peleton Mangara Simamora
masing-masing naik satu perahu mayang. Harisudah menjelang tengah malam tatkala
armada semut itu mulai bergerak, jukung-jukung berlayar dengan kekuatan sendiri
sedangkan ketiga perahu mayang itu ditarik motorboat Baluran dari TKR Laut Banyuwangi.
Kira-kira pukul
23.00 motorbot penarik itu mengalami kerusakan mesin sehingga perahu-perahu
mayang itu dilepas dan terpaksa melanjutkan pelayaran dengan kekuatan sendiri
menuju lokasi pendaratan di sekitar Candikesuma. Jukung-jukung dan satu perahu
mayang berhasil sampai lebih dahulu di pantai Bali dan mendratkan Peleton
Nurhadi dan Peleton Mangara Simamora
Dua perahu mayang
lainnya, termasuk yang ditumpangi Kapten Markadi, masih terkatung-katung di
tengah laut karena angin tiba-tiba mati. Para anggota pasukan berusaha sekuat
tenaga untukmenjalankan perahu-perahu itu dengan mendayung, namun semuanya
sia-sia karena derasnya arus Selat Bali . Cuaca yang semula cukup baik berubah
menjadi buruk dan hujan pun turun.
Fajar
menyingsingh pada 4 April itu, jarum menunjukkan jam 6:00, dan pantai Bali
sudah Nampak samar-samar bagi pasukan yang ada di kedua perahu mayang itu.
Namun perahu-perahu tersebut seolah-olah enggan bergerak. Kedua perahu yang
ditumpangi Peleton Mochtar dan Peleton Muhadji itu bergerak perlahan-han secara
beriringan yang tidak terlalu jauh, dengan haluan mengarah ke timur. Hari
semakin siang, sudah lewat jam 6:30.
Tiba-tiba dari
arah tenggara muncul kapal yang cukup besar dari balik kabut pagi, yang dengan
kecepatan penuh menuju ke arah perahu-perahu Pasukan M sambil melepaskan
tembakan-tembakan otomatis. Peluru berjatuhan di depan haluan perahu. Kapal itu
adalah salah satu dari kapal-kapal patrol Belanda yang tatkala itu sering
Nampak menyusuri lautan pantai Bali.
Kapten Markadi
selaku komandan operasi ada di perahu depan. Menyadari gawatnya situasi, ia
segera memerintahkan pasukannya untuk membuka seragam dan menyembunyikannya
bersama senjata di lantai perahu. Namun ia juga memerintahkan kepada pasukannya
untuk mengambil posisi, dan siap menembak setiap saat.
Kapal patrol
Belanda sudah semakin dekat, dan sekonyong-konyong memutar dan dengan kecepatan
penuh menabrak lambung kanan perahu Kapten Markadi dengan maksud
menenggelamkannya. Ini dicoba beberapa kali, namun perahu itu tidak juga mau
tenggelam. Maka komandan kapal itu bicara dengan Kapten Markadi yang mengaku
dan menyaru sebagai nelayan. Komandan itu kemudian memerintahkan ‘nelayan’
Markadi untuk ‘kasih tali’ supaya perahunya bisa ditarik ke pangkalan. Kapten
markadi berpura-pura mematuhi perintah itu, tetapi ia memutar-mutar gulungan
tali di atas kepalanya untuk member waktu. Maksudnya ialah untuk member waktu
kepada pasukan untuk mempersiapkan diri.
Jarak perahu
Kapten Markadi dengan kapal patrol Belanda sudah sangat dekat, bahkan
percakapan di dalam kapal pun terdengar. Waktu itulah terdengar seorang Belanda
berteriak. “God, ze hebben spuiten!” (Mereka punya bedil!). Jadi Belanda sudah
tahu bahwa yang dihadapinya bukanlah nelayan melainkan pasukan bersenjata.
Pada saat Kapten
Markadi mendegar teriakan orang Belanda itu, ia serta-merta melemparkan tali
sambil member komando: “Tembak!” Ia menjatuhkan diri ke kiri, terjun ke laut,
untuk muncul sesaat kemudian di lambung kanan perahu.
Terjadilah
pertempuran hebat dengan tembakan-tembakan dari jarak dekat. Perahu menempel
pada kapal patrol, dengan posisi yang sangat rendah dibandingkan dengan posisi
kapal tersebut. Keadaan ini ternyata sangat menguntungkan Peleton Mochtar yang
ada di dalam perahu itu. Kapal Belanda tidak dapat mengarahkan dengan tepat
senapan mesin berat yuang dipasang di geladak depan karena mengalami sudut
mati, dan hanya dapat menembak layar perahu saja. Sebaliknya Pasukan M dengan
leluasa dapat menembak ke atas dan melemparkan granat-granat tangan, termasuk
granat bakar, yang berjatuhan di geladak, juga di dekat senapan mesin
Sementara
pertempuran sedang ramai-ramainya, dari arah utara (Gilimanuk) datang kapal
patroli Belanda yang lain untuk membantu
rekannya. Kapal patrol Belanda kedua ini dihadang oleh Peleton Muhadji yang ada
di perahu lainnya dan yang dipersenjatai dengan senapan mesin caliber 12,7 .
Tembakan-tembakan gencar dari peleton ini berhasil menahan kapal itu sehingga
tidak masuk ke daerah pertempuran.
Kapal patrol musuh
yang ‘ditempeli’ perahu Kapten Markadi mulai terbakar dan berusaha menjauh,
kemudian melarikan diri dengan diselimuti asap tebal. Kapal patrol lainnya
tidak mampu bertahan lagi, dan cepat-cepat ikut lari ke utara dengan diiringi
sorak-sorai Pasukan M. Sebelum mencapai Gilimanuk, kapal patrol yang pertama
tadi terlihat tenggelam.
Kapten Markadi
segera memerintahkan kedua perahu untuk berputar haluan, kembali ke Banyuwangi,
karena dapat diduga bahwa Belanda akan ‘mengamuk’ dan mendatangkan peswat-pesawatnya.
Tidak ada angimbertiup, namun arus laut sangat deras. Perahu-perahu bocor
karena dindingnya banyak berlubang terkena peluru. Lubang-lubang itu kemudian
ditutup dengan kue moci (onde-onde Jepang sebesar kepalan tangan) yang dibawa
pasukan sebagi bekal.
Dengan mula-mula
menghanyutkan diri ke selatan, perahu-perahu yang habis bertempur itu akhirnya
selamat sampai di Banyuwangi, Malam harinya, Kapten Markadi beserta Peleton
Mochtar dan Peleton Muhadji naik perahu lagi, dan kali ini berhasil mendarat di
pantai Bali, yaitu di Klatakan, Melaya dan Candikesuma. Sesudah mendarat,
pasukan langsung menyeberang jalan besar menuju ke desa Peh (Manistutu) sesuai
dengan rencana, untuk mengadakan konsolidasi dan mengatur penggabungan dengan
para pemuda dan rakyat pulai Bali yang sudah dihubungi dan dipersiapkan
terlebih dahulu oleh Combat Intelligence
Section.
Demikianlah kisah
pertempuran laut pertama dalam sejarah Republik Indonesia, yang terjadi pada
tanggal 4 April 1946 di Selat Bali. Pertempuran itu berlangsung hanya singkat,
kira-kira 15 menit, namun sudah cukup untuk berhasil mengalahkan musuh.
Kerugian di pihak
TKR Laut ialah dua orang gugur, yaitu Sumeh Darsono dan Sidik, yang
kedua-keduanya tertyembak pada tembakan pertama. Prajurit lainnya, Tamali,
luka-luka tertembus peluru di bahunya. Kerugian di pihak musuh ialah satu kapal
patroli terkabar dan tampak tenggelam. Jurumudi dan penembak senapan mesin kena
tembak.
Gerakan Pasukan M di Bali Barat
Sebagaimana telah
disepakati, desa Peh adalah titik-temu unit-unit Pasukan M yang mendarat pada
waktu dan tempat yang berbeda-berbeda. Tempat-tempat pendaratan adalah
Klatakan, Penginuman dan Candikesuma, dan baru tanggal 10 April seluruh Pasukan
M dapat berkumpul di Peh. Semuanya ini dapat terlaksana berkat bantuan
masyarakat Bali – terutama para pemudanya – yang menyambut Pasukan M dengan
hangat dan member bantuan berupa informasi maupun suplai makanan.
Tugas Pasukan M –
seperti telah dinyatakan – adalah membantu perjuangan Resimen TKR Sunda Kecil
dan membentuk basis perjuangan.
Dalam kerangka
mini diputuskan oleh Markadi bahwa Pasukan M harus mengadakan gerakan-gerakan
di Bali Barat untuk mengacaukan pihak Belanda sehingga dengan demikian
perhatian musuh lebih tertuju ke barat dan bukannya ke timur di mana Ngurah Rai
sedang mendaratkan pasukan-pasukannya dan mengkonsolidasikannya di Munduk
Malang (Tabanan).
Selama enam hari
pada bulan April itu Pasukan M langsung dipimpin Markadi dan mengadakan raids atau serangan-serangan mendadak
terhadap tentara Belanda. Yang perlu dicatat adalah pencegatan-pencegatan di
Banyubiru, jembatan Candikesuma dan Klatakan. Musuh kemudian bermaksud membalas
dengan mengerahkan sekurang-kurangnya dua peleton. Mereka mengejar Markadi dan
Pasukannya sampai ke pinggir hutan, dan baru kembali ke jalan raya kira-kira
jam 22:00.
Atas usul Lettu
Gusti Ngurah Dwinda, Pas M dipindahkan dari desa Peh ke desa Gelar, berdasarkan
pertimbangan bahwa Gelar lebih dekat dengan Negara dan dekat pula dengan basis perjuangan pemuda Jembrana. Sesudah
seluruh Pas M pindah ke Gelar, Markadi mulai melaksanakan strateginya, baik
yang menyangkut penguasaan territorial maupun yang berkaitan dengan tugas
tempur
Dengan para
pejuang di Jembrana diadakan pertemuan-pertemuan yang kemudian menghasilkan
terbentuknya Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia Sunda Kecil (DPRI-SK) Jembrana
yang dipimpin oleh Ida Bagus Doster sebagai ketua dibantu oleh Gusti Ngurah
Djendra. Combat Intelligence Section
(CIS) di bawah pimpinan Saestuhadi dan Drijopangarso ditugaskan untuk tetap
di Gelar, dan bersama-sama dengan DPRI melaksanakan pembinaan territorial dan
memelihara hubungan dengan basis di Jawa (Sukowidi). Sebagai basis perjuangan,
Gelar kemudian dikenal dengan sebutan ‘Lembah Merdeka’
Sementara itu
telah datang di Gelar Sdr. Soegeng, Kepala Polisi (RI) Nunukan yang
memberitahukan bahwa pasukan Ngurah Rai sedang bergerak kea rah Tabanan Barat.
Ia minta agar Pas M segera bergerak ke timur dan bergabung
Untuk dapat secara
lebih efektif membantu Resimen Ngurah Rai, Markadi memutuskan untuk
melaksanakan seleksi di antara 4 peleton yang ia bawa dari Jawa. Ia memilih 36
prajurit yang paling tangguh yang bersenjata lengkap sebagai Pas M Ekspedisi
khusus untuk tugas tempur. Pasukan kecil ini akan dipimpin sendiri oleh Markadi
dengan Gusti Ngurah Dwinda sebagai wakilnya. Mangara Simamora dengan sisa
peletonnya diperintahkan untuk tetap di Gelar guna membantu CIS dalam pembinaan
territorial, sedangkan dua peleton lainnya diperintahkan kembali ke Jawa untuk
menerima persenjataan tambahan yang telah dijanjikan oleh Kolonel Munadji.
Selesai pembagian
tugas ini, diadakan upacara perpisahan bagi kawan-kawan seperjuangan yang akan
meninggalkan basis Gelar dengan mengibarkan Sang Saka Merah-Putih diiringi
tiupan Sangkakala. Pas M Ekspedisi serta-merta berangkat dari Gelar menuju kea
rah timur.
Beberapa hari
kemudian Gelar diserbu musuh dari darat dan udara. Karena sebagian besar
senjata laras panjang sudah dibawa ke timur, maka serbuan Belanda itu sulit
dilawan. CIS mundur ke bukit-bukit sebelah utara, dan selanjutnya kembali ke
Jawa melalui pantai utara Bali, sedangkan peleton Mangara Simamora bergerak ke timur menyusul Markadi.
Ini untuk part 2 nya gimana kawan seru gak untuk part 3 nya
harap sabar ya….. ^-^
No comments:
Post a Comment