Gerakan Pasukan M di Bali Tengah
Dalam perjalanannya ke timur
untuk bergabung dengan Resimen Ngurah Rai, Markadi dan pasukan ekspedisinya
sampai di Pulukan Kampung Jawa. Mereka disambut oleh para pemuda pejuang
setempat yang dipimpin oleh Tukio. Para pemuda itu mengusulkan kepada Markadi untuk
melakukan serangan ke pos tentara Belanda di perkebunan Pulukan, antara lain
guna membangkitkan semangat pemuda-pemuda wilayah itu. Serangan dilakukan pada
malam hari kira-kira jam 23:00. Kontak senjata berlangsung sekitar setengah
jam. Dalam serangan itu tidak jatuh korban di pihak kita, walaupun Markadi
nyaris tewas terkena granat. Granat itu dilemparkan kea rah musuh oleh salah
seorang pemuda pejuang, tetapi tersangkut di cabang pohon tepat di depan
Markadi. Walaupun granat itu meledak hanya beberapa meter di hadapannya,
Markadi samasekali tidak terluka.
Dua hari sesudah Gelar diserang
musuh, Mangara Simamora dan sisa peletonnya sampai di desa Yeh Embang, dekat
Pulukan, untuk menemui Markadi. Oleh Markadi, Mangara diperintahkan untuk tetap
di Pulukan mendampingi pemuda-pemuda pejuang setempat memelihara basis
perjuangan dan mengusahakan agar hubungan dengan pulau Jawa tidak terputus.
Tetapi sebulan kemudian, karena gencarnya serangan-serangan musuh, pasukan
Mangara Simamora terpaksa meninggalkan Pulukan bersama-sama dengan
pemuda-pemuda pejuang setempat dan sejumlah rakyat, termasuk lurahnya. Mereka
menuju ke timur laut ke Munduk Blatung, yaitu daerah yang semula ditentukan
untuk menjadi basis operasi.
Sehari sesudah pertemuan dengan
Mangara Simamora, Markadi didatangi oleh seorang kurir utusan Ngurah Rai. Kurir
itu memberitahu Markadi bahwa Resimen Ngurah Rai sedang bergerak di sekitar
Pupuan, dan Pas M diharapkan untuk menuju ke daerah tersebut. Esok harinya Pas
M bergerak menuju Pupuan.
Setelah berjalan sehari,
sampailah Pas M di lokasi Resimen Ngurah Raid an Dewan Perjuangan Rakyat
Indonesia Sunda Kecil (DPRI-SK) Bali. Ngurah Rai, Markadi dan para anggota DPRI
mengadakan rapat dan memutuskan bahwa Pas M secara resmi dibawah-perintahkan
Resimen Ngurah Rai sesuai dengan yang sudah direncanakan seaktu di Jawa.
Esoknya seluruh pasukan kembali ke basis Resimen dan Markas Besar Umum (MBU) di
Munduk Malang, wilayah Tabanan.
Di Munduk Malang, Markadi
diperkenalkan dengan para komandan tempur Resimen, antara lain Sugianyar,
Sardja, I Gusi Ngurah Pinda, Gerdeg dan Tiaga; staf Resimen, antara lain Haryo
Mataram (putra Ki Hajar Dewantara) dan I Gusti Ngurah Wisnu; ketua DPRI-SK
Bali, yaitu Wijakusuma; dan komandan Polisi (RI) Mahadewa.
Selama di basis Munduk Malang,
Pas M ikut melakukan patrol-patroli pengamanan ke arah selatan basis, antara
lain ke Penebel, Marga, Wangaya Gede.
Suatu hari sampai di Munduk
Malang sepucuk surat yang dikirimkan oleh Overste
(Letkol) Termeulen, komandan tentara Belanda di Bali waktu itu. Surat itu
ditujukan kepada Letkol I gusti Ngurah Rai yang isinya meminta agar ia
menghentikan perlawanannya. Permintaan tesebut ditolak mentah-mentah. Implikasi
surat dari komandan tentara Belanda tersebut ialah bahwa Belanda sudah
mengetahui lokasi basis Markas Besar Umum (MBU) perjuangan rakyat Bali dan
tempat kedudukan para pemimpinnya di Munduk Malang.
Mereka memutuskan untuk segera
meninggalkan Munduk Malang dan memulai apa yang disebut Wingate, yaitu gerakan tempur dengan mobilitas pasukan yang tinggi.
Wingate ini selain untuk menghindar
dari kemungkinan serangan besar-besar oleh musuh, juga dimaksudkan untuk
mempertinggi semangat juang para pemuda pejuang yang tersebar di berbagai
daerah seluruh Bali. Maksud lain ialah agar Belanda mengurangi konsentrasi
pasukannya di Bali Barat, sehingga meringankan beban pasukan-pasukan kita dari
Jawa yang menurut rencana akan segera tiba didaratkan di Bali.
Gerakan Pasukan M di bali Timur
Seperti telah dikemukakan, Pas M
pilihan yang langsung dipimpin oleh Markadi dibawah-perintah Resimen Ngurah
Rai, dan selama operasi-operasi Wingate ke
Bali Timur, Pas M selalu merupakan unsur penting yang berjuang bahu-membahu
dengan pasukan-pasukan Resimen Ngurah Rai lainnya.
Operasi Wingate dimulai dengan gerakan ke Singaraja bagian barat, dan
melakukan serangan-serangan di tempat itu antara lain dengan maksud agar
kesatuan-kesatuan perlawanan rakyat di desa-desa setempat meningkat semangat
juangnya. Kemudian pasukan-pasukan bergerak ke timur dan menyerang pos militer
musuh di Banjar Lampu. Dalam serangan ini Pas M bertugas menutup kemungkinan
pengiriman pasukan bantuan bagi musuh.
Dari Banjar Lampu pasukan-pasukan
menuju kea rah desa Gitgit. Di dekat dsesa itu, pasuan Gerdeg melakukan
penghadangan terhadap pasukan musuh yang sangat mengagetkan pihak lawan. Dari
Gitgit, pasukan-pasukan terus bergerak ke desa Nangka di wilayah Jagaraga
Buleleng Timur. Dalam gerakan maju ini, Pas M ditunjuk sebagai pasukan pengaman
dengan dibantu oleh regu montir yang dipimpin oleh I gusti Ngurah Pinda (tokoh
ini kemudian menjabat sebagai wagub Propinsi Bali dan anggota DPR RI). Mengenai
mortar itu perlu dikemukakan bahwa senjata itu buatan sendiri (dalam negeri)
yang memakai bahan baju tiang listrik!
Jalan yang akan dilalui pasukan
induk ada di bawah rangkaian perbukitan sehingga sangat berbahaya jika musuh
mengahadang dari atas bukit. Maka Markadi memerintahkan Pas M untuk menaiki
rangkaian bukit dan berjalan di punggung perbukitan di atas jalan yang akan
dilalui pasukan induk. Perkiraan Markadi mengenai penghadangan oleh musuh itu
ternyata benar.
Prajurit pengintai terdepan
melaporkan bahwa pasukan tentara Belanda sedang bersiap-siap mengatur stelling penghadangan di atas bukit di
hadapan Pas M. Musuh tidak mengetahui bahwa di sampingnya ada pasukan kita pada
ketinggian yang sama. Dengan hati-hati Markadi memerintahkan pasukannya untuk
mendekati kedudukan musuh dari arah samping. Sesudah kira-kira 100 meter dari
posisi musuh, pasukan diberi isyarat untuk berhenti dan siap tempur.
Sebagai pembuka serangan, Markadi
memerintahkan regu mortar Ngurah Pinda untuk menembakan mortirnya. Sayang
macet. Maklum mortar bikinan sendiri! Beberapa serdadu Belanda rupa-rupanya
mendengar bunyi-bunyi mortar macet yang mencurigakan, dan mereka berdiri
memandang ke arah datangnya bunyi-bunyi itu. Untung mereka masih juga tidak
menyangka bahwa ada pasukan kita di dekatnya. Saat itulah Markadi member aba,
“Tembak!” Seketika Sardi memberondongkan senapan mesinnya sedangkan
pemegang-pemegang senapan menembak serentak. Baru musuh menyadari bahwa mereka
telah terjebak. Dengan balas menembak yang tidak terarah, karena kaget, musuh
lari dengan memanggul atau menyeret kawan-kawannya yang luka atau mati kea rah bangunan sekolah di
dekatnya, yang ternyata mereka jadikan pos. Maka tembakan-tembakan diarahkan ke
gedung sekolah tersebut. Musuh makin panik, dan lari berhamburan keluar dari
gedung dengan membawa sebisanya yang terluka dan yang mati kea rah lembah di
belakang gedung sekolah, dengan meninggalkan ceceran darah, alat-alat masak dan
makanan yang belum sempat dimakan.
Hikmah yang kita peroleh dari
kemenangan itu ialah bahwa dalam setiap pertempuran kita harus menguasai posisi
yang lebih tinggi daripada musuh. Lebih baik berjerih-payah mendaki bukit
bermandi keringat daripada mati bersimbah darah!
Sore harinya musuh mengadakan
serangan balasan yang tidak menggunakan pasukan ifanteri tetapi langsung
menembaki pasukan kita dari udara dengan pesawat-pesawat pemburu Mustang (P-51)
Markas Gabungan Gerakan Sunda Kecil (MGGSK)
Setelah Pas M diserang musuh di
Gelar pada bulan Mei 1946, sebagian dari anggota-anggotanya mundur ke Bali
utara, termasuk kelompok Combat
Intelligence Section (CIS) yang dipimpin oleh Saestuhadi dan Abdul Madjid
(kakek gue vroh…). Mereka kemudian berhasil menyeberang ke Jawa. Sementara itu
di pulau Jawa telah terbentuk suatu gabungan badan-badan perjuangan yang
disebut Markas Gabungan Gerakan Sunda Kecil (MGGSK).
MGGSK adalah hasil jerih-payah
Munadji untuk memperkuat pasukan-pasukan kita yang berjuang di Bali. Seperti
tampak dari namanya, dalam badan perjuangan ini tergabung berbagai kesatuan,
yaitu sebagian Pasukan M (antara lain CIS yang kembali dari Bali), pasukan MBAL
dari yogya, pasukan Penataran Angkatan Laut (PAL), pasukan Pesindo dari Batu,
dan Pasukan Berani Mati BPRI. Surat keputusan pembentukan MGGSK ditandatangani
pada tanggal 20 Februari 1946 oleh Panglima Besar Sudirman dan Menteri
Pertahanan Amir Syarifudin.
Bung Karno sendiri menyetujui upaya memperkuat pasukan-pasukan kita di
Bali, terlebih-lebih setelah mendengarkan laporan lisan yang diberikan Abdul
Madjid (anggota CIS). Sesudah laporan selesai, ada percakapan singkat antara
Bung Karno dan Abdul Madjid sebagai berikut:
BK : “Wat hebben jullie nodig?” (Kalian memerlukan apa?)
AM : “Wapens.” (Senjata.)
BK : “Goed.” (Baik.)
Maka dikirimlah sepasukan dari MBAL Yogyakarta di bawah pimpinan Kapten
Suradi. Selain personel dikirim pula senapan-senapan mesin (yang dicopot dari
pesawat-pesawat tempur) beserta amunisinya. Granat-granat tangan buatan dalam
negeri juga diperoleh berkat bantuan Kolonel Zoelkifli Loebis.
Pertengahan Mei 1946, pasukan-pasukan ang tergabuung dalam MGGSK yang
berjumlah 200 orang sudah berkumpul semuanya di Sukowidi. Sementara menunggu
perintah pendaratan, mereka sehari-harinya mengadakan latihan-latihan.
Sementara itu Abdul Madjid dan Ahmad Nudio, kedua-duanya dari CIS, berupaya
memperoleh partisipasi kaum nelayan di Muncar dalam operasi pendaratan yang
direncanakan itu. Akhirnya mereka bersedia menyediakan perahu-perahunya, dan
mereka bahkan ikut-serta sebagai tukang-tukang perahu. Karena mau ikut
berjuang, mereka tidak menuntut imbalan apapun. Namun sebagai tanda terima
kasih, Madjid dan Nudio memberikan berslof-slof rokok putih Siraho kepada mereka.
Renacana-rencana pendaratan dan operasi-operasi di darat sudah mulai
disusun oleh Munadji sebagai komandan MGGSK bersama-sama Sriaman sebagai
komandan TKR Laut Banyuwangi, komandan-komandan pasukan, dan Tomegoro Yoshizumi
(Bung Arief). Pasukan-pasukan akan diberangkatkan dari pelabuhan Banyuwangi
tanggal 1 Juli 1946 mulai kira-kira jam 20:00 dengan menggunakan perahu mayang
dan jukung. Pendaratan akan dilakukan antara Gilimanuk dan Tukadaya.
Titik-kumpul semua pasukan adalah di daerah Melaya Tengah. Sesudah itu semua
pasukan menuju Tabanan untuk bergabung dengan Markadi. Munadji menunjuk Suryadi
sebagai piminan pendaratan, dibantu oleh Sugiarto (Pesindo), Saestuhadi sebagai
perwira operasi, dan Drijopangarso.
Pelaksanaan Operasi MGGSK
Hari H
yang direncanakan tanggl 1 Juli 1946 terpaksa ditunda 1 hari karena arus dan
pasang-surut lut tidak memungkinkan penyebrangan. Tnaggal 2 Jui 1946 malam
pemberangkatan jadi dilakukan. Malam gelap-gulita, laut cukup tenang dan angina
bertiup lemah. Perahu-perahu mayang ditarik motorboat sampai tengah laut,
sedangkan jukung-jukung brlayar dengan kekuatan sendiri.
Sementara
itu, keadaan di Bali sudah sangat berbeda dari informasi terakhir yang diterma
MGGSK dua bulan sebelumnya. Selama 2 bulan itu Belanda berhasil menakuti-nakuti
rakyat dengan ancaman hukuman berat bagi siapapun yang membantu tentara kita.
Bahkan banyak di antara rakyat yang ditangkap Belanda. Jadi MGGSK menggunakan
informasi kadaluwarsa untuk merenvanakan operasi-operasinya, dan ini akan
membawa konsekuensi fatal.
Karena
kondisi perahu satu sama lainnya berbeda-beda, begitu pula ketrampilan awak
perahunya, maka pendaratan tidak mungkin dilakukan di satu temat pada waktu
yang bersamaan. Pendaratan dilakukan di Klatakan, Penginuman dan Batukarung,
antara jam 02:00 dini hari sampai fajar.
Pasukan
induk yang dipimpin Suryadi dan berjumlah lebih dari 100 orang mendarat di
Klatakan pada dini hari sampai fajar tanggal 3 Juli 1946. Ini adalah kali pertama Suryadi mendarat di Bali, dan ia
boleh dikatakan buta geografi tempat di mana ia kebetulan mendarat, pun buta
situsiasi masyarakat Bali Barat yang mutakhir. Berbeda dari
pendaratan-pendaratan sebelunya, tidak ada pemuda-pemuda setempat yang
menjemput dan menjadi penunjuk jalan dan pemberi informasi mengenai keadaan.
Perintah
pertama yang diberikan Suryadi ialah supaya sebagian pasukan menguasai jembatan
sungai Klatakan yang menghubungkan Gilimanuk dengan Negara, dan melindungi
anggota-anggota lain yang ada di pantai atau yang sedang mendarat. Sampai
matahari terbiit pasukan yang mendarat di Klatakan masih ada di pantai. Ini
berakibat fatal. Seharusnya begitu pasukan mendarat, mereka harus cepat-cepat
bergerak menyebrang jalan raya Gilimanuk-Negara dan masuk hutan. Inilah yang
dilakukan kelompok-kelompok kecil yang mendarat di Penginuman dan Batukarung,
yang kebanyakan adalah anggota CIS.
Sejak
pendaratan ini, semua pasukan yang tergabung dalam MGGSK secara organic
dimasukkan ke Pas M TKR Laut.
Karena
banyak mata-mata yang gentanyangan di Bali Barat, Belanda segera mengetahui
adanya pendaratan itu. Mereka mengirimkan tentaranya dalam jumlah besar dan stelling di jalan raya. Dengan demikian
pasukan MGGSK yang masih ada di pantai terjepit. Di depan musuh, di belakang
laut. Tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali maju sambil bertempur. Mereka
menjadi sasaran empuk bagi berondongan metraliyur-metraliyur Belanda. Maka
banyak yang gugur, sebagian tertangkap, dan sebagian lagi berhasil lolos
menyebrang jalan menerobos ‘pagar betis’ tentara musuh, Pertempuran demikian
hebatnya sampai-sampai terdengar di Banyuwangi.
Sejak
pertempuran di Klatakan itu, pasukan MGGSK tercerai-berai, tanpa piminan dan
tanpa pengarahan. Suryadi sendiri termasuk yang berhasil lolos dari kepungan
Belnada, walaupun betisnya tembus tertebak. Ia diselamatkan oleh empat anak
buahnya, dan waktu berjalan ke utara bertemu lagi dengan sepuluh anak buahnya.
Tetapi dalam tembak-menembak dengan musuh ia gugur di Bali Utara. Di mana ia
dikubur, sampai sekarang tak seorang pun yang mengetahuinya. Nasib serupa
bahkan lebih buruk dialami Sugiarto, wakil komandan pendaratan. Sesudah
pertempuran di Klatakan tersebut, ia tidak tampak lagi, Seandainya pun gugur,
tidak ada orang yang tahu kuburnya.
Kelompok-kelompok
yang mendarat di Penginuman dan Batukarung agak lebih baik nasibnya karena
mereka langsung menyeberang jalan raya sesudah mendarat. Secara tidak sengaja,
mereka terbagi menjadi dua kelompok. Dalam kelompok yang satu terdapat beberapa
anggota CIS, termasuk pimpinannya sendiri, yaitu Saestuhadi. Dalam kelompok
lainnya juga terdapat beberapa anggota CIS, antara lain Dugel Djoko Imam
Subekti, Soebagio dan Samekto. Kelompok Saestuhadi berpapasan dengan patrol
musuh di dekat Blimbingsari, dan sesudah pertempuran singkat Saestuhadi gugur.
Jenazahnya diambil oleh masyarakat kampong, dan dimakamkan sebagi seorang yang
mati syahid di desa Tukadaya.
Kelompok
Dugel bergerak ke timur dengan tujuan Tabanan. Dalam perjalanan, mereka
berjumpa dengan pecahan-pecahan pasukan induk sehingga jumlah kelompok menjadi
kira-kira 40 orang. Pun dalam perjalanan, mereka terpaksa menyusuri hutan dan
makan apa saja yang bias dimakan. Akhirnya sebagian berhasil sampai di
Penataran. Sebagian lagi gugur, dan jenazah-jenazah mereka berserakah di hutan.
Di
antara mereka yang berhasil sampai di Penataran, daerah Tabanan, ialah Dugel
Djoko Imam Subekti, Samekto dan Armanus, pemegang senapan mesin berlaras ganda.
Di Penataran ini mereka bertemu dengan peleton Mangara Simangora dari Pasukan
M. Beberapa hari setelah Dugel sampai di tempat itu, ada laporan bahwa patrol
Belanda sedang menuju ke desa itu. Dugel segera mengumpulkan anggota-anggota
yang bersenjata. Senapan mesin berlaras ganda dan karaben-karaben menewaskan
dan melukai serdadu-serdadu Belanda itu. Dua mayat serdadu ditinggalkan.
Lain-lainnya lari kocar-kacir. Menurut laporan penduduk mereka membawa
kawan-kawannya yang mati dan luka-luka. Salah satu yang tewas adalah seoraang
kontrolir (pejabat pangreh praja) Belanda. Mereka meninggalkan bekal makanan
dan alat-alat memasak. Seperti kata Jayusman (Almarhum, wakil simamora),
bagaimanapun keadaannya, Pasukan M terbukti masih kuat berperang.
Karena
kekalahan ini, Belanda memngamuk dan esok harinya mengirimkan pasukan-pasukan
ke Penataran dan sekitarnya yang tidak tanggung-tanggung besarnya, termasuk dau
pesawat pemburu yang menembaki setiap gerumbul. Pasukan M mengadakan stelling untuk melawan. Tetapi kemudian
diketahui bahwa melawan berarti bukan bunuh diri. Serdadu-serdadu Belanda
menyerbu dari segala jurusan, dan sudah ada di mana-mana. Pasukan M akhirnya
masuk hutan. Sisa-sisa Pasukan M/MGGSK yang tidak ada yang memimpin lagi
akhirnya terpecah-pecah, ada yang ke barat, ada yang ke utara, ada yang ke
timur. Sebagian tidak pernah dijumpai lagi, sebagian bertemu dengan kawan-kawan
seperjuangan di kamp tawanan Belanda, sebagian lagi dapat berkumpul dengan
kawan-kawan sepasukannya di pulau Jawa beberapa tahun kemudian.
Mukzijat Gunung Agung
Akhir bulan Juni sampai awal
bulan Juli 1946, gerakan Wingate
Resimen Ngurah Rai, yang di dalamnya termasuk Pas M, menuju ke daerah
Karangasem melalui lereng selatan Gunung Agung (gunung berapi tertinggi di
Bali) dan daerah Selat. Gerakan yang
sungguh nekad ini bertepatan waktu dengan pendaratan MGGSK di bagian barat
pulau Bali, sehingga seolah-olah ada koordinasi antara dua operasi itu.
Karena
harus menghadapi pasukan-pasukan kita di barat dan timur, Belanda mendatangkan
bala bantuan dari daerah-daerah lain dan memperkuat angkatan udaranya dengan
pesawat-pesawat Mustang (P-51) dan B-25. Maka dalam pertempuran-pertempuran
selanjutnya selalu muncul dua jenis pesawat itu untuk menembaki dengan senapan
mesin berat, meroket dan membom sasaran-sasaran yang mereka kira merupakan
tempat-tempat pemusatan pasukan-pasukan kita.
Resimen
Ngurah Rai, yang tidak tahu telah terjadi pendaratan pasukan MGGSK di barat,
terus bergerak ke timur, ke daerah Rendang (bkn makanan ya coeg wkwkwk), di
mana terjadi pertempuran yang hampir menghancurkan seluruh pasukan Resimen
Ngurah Rai.
Belanda
mengetahui bahwa pasukan besar yang ada di lereng Gunung Agung itu adalah
pasukan induk, maka mereka bertekad untuk menghancurkannya dengan menggunakan
segala macam senjata, termasuk mortar 12 cm, dua pesawat pemburu Mustang dan
satu pembom B-25.
Setelah
dua hari kontak senjata dan penembakan dan pemboman kubu-kubu pertahanan kita
oleh Mustang dan B-25, pasukan-pasukan kita mempersempit daaerah pertahanan di
lereng Gunung Agung. Jalannya pertempuran pada hari ketiga adalah sebagai
berikut :
Dengan
ancaman serangan musuh dari arah kiri dan arah kanan dan dari depan. Pasukan
kita bertahan dalam bentuk setengah lingkaran, dengan lereng Gunung Agung
sebagai latar belakang. Pertempuran berlangsung satu hari penuh, dan tembak-menembak
baru mereda menjelang gelap tatkala daerah pertempuran masih diselimuti kabut.
B-25 yang hari itu terus-menerus menembaki pasukan kita sore itu menghilang,
dan hanya mortar musuh melakukan tembakan-tembakan ke pertahanan kita walaupun
tidak mengenai sasaran.
Hari
sudah beranjak malam di lereng Gunung Agung. Pasukan sudah letih dan mesiu
sudah menipis. Tentara musuh ada di kanan-kiri-depan, siap memberikn pukulan
maut terakhir esok harinya. Untuk menghindari kehancuran total, tidak ada jalan
lain bagi pasukan-pasukan Wingate
Ngurah Rai, kecuali naik ke puncak Gunung Agung yang ada di belakang daerah
pertahanan, dengan menerobos hutan belukar yang tanpa jalan, dan lolos di
lereng seberang puncak. Beberapa komandan mengusulkan untuk malam itu juga menerobos
pertahanan musuh di sebelah timur dan terus ke daerah Karangasem. Namun
pimpinan berpikir bahwa penerobosan itu akan memakan lebih banyak korban karena
tidak diketahui secara tepat posisi-posisi musuh di sektor itu. Keputusan naik
Gunung Agung lewat hutan yang tidak ada jalannya itu pasti tidak diperkirakan
musuh karena pendakian itu memang tidak mungkin menurut akal sehat, dan oleh
sebab itu merupakan satu-satunya jalan yang aman untuk dapat lolos dari
kepungan maut yang sangat ketat.
Malam
itu juga pendakian Gunung Agung dimulai. Pendakian tidak dapat dilakukan siang
hari karena pasti akan dihabisi oleh pesawat-pesawat terbang. Jadi di bawah
lindungan kegelapan malam, seluruh pasukan Wingate
yang hamper tidak makan dan minum selama tiga hari, menerobos hutan tanpa
jalan, dan sungguh suatu mukzizat pasukan mencapai puncak, dan langsung
menuruni lereng ke daerah Klandis. Di desa itu rakyat menyambut pasukan dengan
hangat dan menyediakan makanan berupa hasil lading setempat seperti singkong,
ubi jalar dan keladi, yang diterima oleh pasukan yang kecapaian dan kelaparan
itu dengan gembira dan rasa terima kasih.
Babak Baru
Tatkala pasukan di Klandis,
terbetik berita mengenai perjanjian Linggarjati yang sangat mengejutkan para
pejuang di Bali. Sebagaimana diketahui, Perjanjian Linggarjati tersebut hanya
mengakui Jawa dan Sumatra sebagai wilayah RI, sedangkan Bali tidak termasuk.
Meskipun
sangat kecewa, para pejuang di Bali tidak patah semangat, malahan bertekad
untuk tetap melanjutkan perang gerilya dengan intensitas dan efisiensi yang
lebih tinggi. Maka para pejuang dibagi dalam dua front yang terpisah tetapi
satu komando. Front pertama diisi oleh pasukan tempur, sedangkan yang kedua
oleh unsur teritorial yang bertugas membina rakyat untuk melakukan perlawanan
yang disesuaikan dengan kondisi setempat dan untuk mendukung pasukan tempur.
Anggota-anggota unsur teritorial ini diwajibkan kembali ke wilayah
masing-masing dan menyatu dengan rakyat. Dengan demikian beban logistik
desa-desa dapat diringankan karena mereka selanjutnya hanya wajib menyiapkan
suplai bagi pasukan-pasukan tempur yang mobil.
Selain
itu, I Gusti Ngurah Rai sebagai pimpinan Markas Besar Umum pejuang di Bali
memutuskan untuk mengirim surat ke Pemerintah Pusat RI di Yogyakarta.
Yang diutus untuk membawa surat itu adalah Mahadewa dan
Haryo Mataram. Tetapi misi ini gagal karena tidak berhasil menembus blockade
Belanda di seluruh pantai Bali yang dijaga dnegan sangat ketat. Maka terpaksa
diangkat misi kedua yang terdiri dari Markadi, komandan Pas M, dan I Gusti
Ngurah Mataram, seorang pejabat MBU. Komandan Pas M Ekspedisi diserahkan kepada
I Gusti Ngurah Dwinda, dan berangkatlah Markadi dan Mataram dari daerah utara
Bangli menuju ke barat.
Dalam
perjalanannya ke barat, Markadi dan Mataram singgah di Munduk Blatung, basis
perjuangan yang dijaga oleh Pas M yang dipimpin oleh Mangara Simamora. Pun di
tempat itu mereka bertemu dengan sejumlah pasukan yang mendarat pada bulan
Juli, antara lain Dugel Djoko Imam Sukbekti, Martowo dan Samekto.
Perjalanan
misi Markadi ke Jawa penuh dengan bahaya yang hampir-hampir merenggut nyawa
mereka, tetapi lagi-lagi suatu mukzizat misi itu berhasil sampai di pulau Jawa.
Pasukan M Pecah di Munduk Blatung
Munduk
Blatung terletak di daerah berbukit-bukit di sebelah barat laut Tabanan. Di
bukit-bukit itu terdapat perkebunan kopi yang sudah tua dan hutan belantara.
Pasukan pimpinan Mangara Simamora sudah beberapa bulan mangkal di tempat itu,
menjaga daerah sekitarnya dan membimbing rakyat agar semangat perjuangan mereka
tidak padam. Awal bulan Agustus 1946, sampai pula di tempat itu sejumlah
pasukan yang merupakan bagian pasukan yang cukup besar yang didaratkan di Bali
pada awal bulan Juli. Pasukan ini membawa senjata, termasuk metraliyur laras
ganda yang oleh Dugel dan anak buahnya dimanfaatkan untuk menghancurkan patroli
musuh yang mendekati desa Penataran.
Setelah
memperingati Hari Ulang Tahun pertama Republik Indonesia, yang dilakukan di
tengah hutan, pasukan memutuskan untuk pecah menjadi tiga kelompok.
Kelompok
pertama di bawah Nurhadi menuju ke barat dengan maksud menyeberang ke Jawa,
kalau mungkin. Sebagian besar kelompok ini tertangkap musuh dan sebagian lagi
gugur, termasuk Nurhadi.
Kelompok kedua, yang terdiri
antara lain dari Dugel, Marwoto dan Bambang Sakri, menuju utara dan melanjutkan
perjuangan sebagai unsur territorial. Dugel, misalnya, menjadi ketua markas
cabang DPRI Anjasmara yang terletak di perbukitan barat daya Buleleng. Ia
bertugas membimbing rakyat agar semangat juang mereka tetap menyala, dan
mengorganisir perjuangan rakyat. Kelompok kedua ini akhirnya terjebak
bersama-sama para pejuang di Bali lainnya, gara-gara seorang tokoh yang mengaku
diutus pemerintah pusat RI. Maka pada bulan Mei 1948, Dugel dan beberapa
anggota Pas M yang bersamanya, tertangkap Belanda. Setelah Konferensi Meja
Bundar (KMB) mereka semua dikembalikan ke Jawa.
Kelompok
ketiga, yang terdiri dari antara lain Tamsir, Ngadisan, Bung Slamet (Jepang)
menuju ke timur, dan kemudian ikut bertempur pada puputan Margarana. Pertempuran
habis-habisan itu menelan korban 96 pahlawan, termasuk I Gusti Ngurah Rai.
Tamsir dan Ngadisan berhasil selamat. Bung Slamet gugur.
Mangara
Simamora tidak termasuk dalam salah satu tokoh kelompok di atas. Ia menyatu
dengan para pejuang di Singaraja sampai tertangkap pada awal 1948.
Duh… makin seru aja ya di part 3 ini, dan gak kalah penting
yaitu semangat para pejuang jaman dulu tuh bener-bener hebat ya. Eh iya part 4 menyusul