Thursday, November 24, 2016

FLASHBACK DIKIT : PASUKAN M TKR LAUT BERMAIN DENGAN MAUT DEMI NUSA DAN BANGSA Part 4

BAB 2
Pasukan M di Jawa 1946-1950

                Pada pertengahan bulan Juli 1946, sesudah penyergapan oleh tentara Belanda di jalan setapak pinggir hutan di dekat desa Pulukan, Ketut Soebagio lolos dari maut dan berhasil menyeberang ke pulau Jawa. Sesampai di Jawa, ia langsung bergabung dengan sisa Pas M yang masih ada di Sukowidi, Banyuwangi. Ia terus mengikuti Pas M sampai pasukan itu bubar pada tahun 1951. Makai a dapat menyampaikan kisah perjuangan Pas M di pulau Jawa dari tahun 1946 sampai dengan tahun 1950 sebagai berikut.
                Pada bulan Juli 1946, Pas M yang ada di basis Sukowidi kekuatannya tinggal beberapa orang anggota staf dan sepasukan kecil di bawah komando kepala staf Pas M, Kapten Yakub Kartodihardjo. Karena Pas M yang ada di Bali , yang kekuatannya hamper dua kompi, tidak dapat diharapkan kembali ke Jawa dalam waktu singkat, maka diadakan rekrutmen baru sehingga pasukan berkekuatan tiga kompi atau satu battalion. Di antara rekrut baru itu terdapat sejumlah pemuda yang berasal dari yang waktu itu disebut ‘Sunda Kecil’ (NTT dan NTB) dan beberapa dari Maluku.
                Batalion baru yang, sesuai dengan perkembangan organisasi kentetaraan, kemudian disebut ALRI Sunda Kecil Armada V, dan sesudah itu Tentara Laut RI Kesatuan VII, tetap saja dikenal sebagai Pasukan M dan tetap di bawah Mayor (waktu di Bali masih berpangkat Kapten) Markadi, yang pada bulan Agustus 1946 berhasil kembali ke Jawa.
                Sementara itu Belanda makin mengintensifkan patroli di Selat Bali dengan menggunakan kapal-kapal patroli dan sesekali diperkuat dengan kapal perang, seperti fregat ‘Kortenaer’ dan kapal selam ‘Tijgerhaai’. Pas M yang di Muncar dan Tanjung Sembulungan (sebelah selatan Banyuwangi) tidak tinggal diam. Sering mereka menembaki kapal-kapal perang Belanda dengan meriam pesisir yang dipasang di Sembulungan. Ada fregat yang terkena lambungnya, dan tatkala moncong meriam diarahkan ke Gilimanuk, terjadilah kebakaran di tempat itu, dan pesawat amphibi tenggelam.
                Mungkin guna menjajagi kesiap-siagaan kita, Belanda pernah mengadakan raid dengan mendaratkan satu regu pasukan di Wongsoredjo, sebelah utara Banyuwangi. Pendaratan tersebut segera diketahui, dan diadakan pengejaran. Pasukan Belanda tersebut bergegas mundur tanpa sempat terlibat kontak senjata.

Clash 1

                Pada malam hari tanggal 20 Juli 1947, Kepala Staf TLRI Kesatuan VII, Kapten Yakub Kartodihardjo, mendapat laporan dari Bagian Radiotelegrafi bahwa telah diperoleh berita dari pangkalan AL Probolinggo, bahwa ada iring-iringan kapal perang Belanda menuju ke arah timur.
                Menjelang fajar sejumlah besar kapal perang musuh sudah siaga di Selat Bali. Segera mereka memuntahkan tembakan artileri dan senjata berat lainnya dengan amat gencarnya ke arah pos-pos Pas M, terutama Sukowidi, dan pos-pos pasukan lainnya di sepanjang pantai sampai beberapa jam. Mayor Markadi saat itu sedang di Yogyakarta menghadiri rapat komandan-komandan battalion ke atas.
                Pos-pos Pas M di sepanjang pantai Banyuwangi mengadakan tembakan balasan sehingga terjadi duel seru. Setelah dua kali gagal untuk mendarat di sekitar Sukowidi, karena tembakan-tembakan gencar dari Pas M, musuh akhirnya berhasil mendarat di Ketapang dan Watudodol (sebelah utara Banyuwangi).
                Sebelum mendarat, dua pesawat Mustang menembaki kedudukan Pas M di Sukowidi dan markas Pas M di Hotel Baru. Tak seberapa lama setelah Ketapang jatuh, musuh terus bergerak ke Sukowidi yang waktu itu dipertahankan oleh Kompi Matsari. Tembak-menembak berlangsung sampai menjelang sore. Pasukan-pasukan Belanda lainnya mengalir dari utara didahului oleh satuan kavaleri yang terdiri dari tank-tank besar dan kendaraan-kendaraan lapis baja lainnya. Pada semua kendaraan terdapat tulisan dengan huruf besar: ‘NAAR ROGDJAMPI’.
                Pada saat konvoi lapis baja musuh akan melewati Sukowidi, Sersan Lawalata, anggota Field Security (dahulu disebut Combat Intelligence Section) mencoba menghadang dengan memasang bom di simpang tiga Sukowidi. Sersan Lawalata gugur.
                Setelah musuh tiba, kompi Matsari baru dapat meloloskan diri dari kepungan musuh, menyelinap dalam kelompok-kelompok kecil ke arah pegunungan di barat, dan menyebar di perkebunan-perkebunan. Begitu juga kompi Buladi menyelinap ke barat sesudah Rogojampi direbut musuh. Kompi Sudarman baru tanggal 22 Juli meninggalkan Sukoredjo dalam kelompok-kelompok kecil, dan menyebr ke bukit-bukit di barat. Kapten Yakub, Kepala Staf TLRI Kesatuan VII/Pas M, yang mendirikan pos komando di Arjasa, sebelah utara Jember, dengan bantuan rakyat  berhasil menghubungi kelompok-kelompok Pas M yang tersebar di sekitar Gunung Ijen dan di daerah pantai selatan, dan menginstruksikan mereka untuk berupaya mencapai daerah yang masih dikuasai RI.
                Setelah berhasil melewati celah-celah kedudukan musuh, kelompok-kelompok Pas M sampai di Kepanjen, terus naik ke lereng-lereng Gunung Kawi sebelah timur dan utara, kemudian menuju ke desa-desa Gendogo, Precet, Maduarjo. Mayor Markadi, komandan TLRI Kesatuan VII, ternyata menjabat sebagai Komandan Sektor Pertempuran daerah itu, sehingga Pas M dapat terkonsolidasi dan utuh kembali. Dengn demikian operasi-operasi dapat dilakukan  secara lebih efektif. Kontak senjata sering terjadi antara pos-pos depan kita dan patroli Belanda. Di Kenongo, Pas M berhasil menyergap pos musuh, dan merampas metraliyur berat kaliber 12,7.
                Pada pertengahan tahun 1948, akibat Perjanjian Renville, diadakan gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda, dan ditetapkan garis demarkasi. Induk Pas M ditempatkan di Ngebruk, Malang Selatan, kemudian dipindahkan ke Wlingi, sebelah tenggara Kediri. Pas M/TLRI Kesatuan VII diberi tugas memegang komando Sektor Perkebunan Kawi Selatan, maka sebagian pasukan dipindahkan ke Gogoniti, suatu perkebunan kopi, di bawah komando Lettu K. Soebagio.

Penumpasan PKI

                Pada tanggal 18 September 1948 timbullah pemberontakan PKI yang dimulai dari Madiun. Guna menanggulangi dan menumpas PKI serta ormas-ormasnya, di Wlingi segera di bentuk Komando Gabungan Angkatan Perang di bawah pimpinan Mayor Markadi, yang membawahi pasukan-pasukan AD dan AL di daerah kawedanan Wlingi. Segera dilancarkan operasi-operasi kilat, terutama di Malang Selatan, Wlingi Selatan dan Blitar Selatan, yang merupakan daerah-daerah tandus yang didominasi PKI. Berkat siasat yang menggunakan pendadakan, desepsi, pemyergapan dan persuasi, akhirnya gembong-gembong PKI, sepertii Cokro Bagong, menyerah.
                Selesai operasi penumpasan PKI di Wlingi pada bulan November 1948, Pas M diperintahkan ke Nganjuk untuk membantu menahan rembesan PKI dari Madiun. Yang di Wlingi tinggal bagian Persenjataan dan sejumlah kecil pasukan di bawah Letda Sutedjo.

Clash 2

                Sebulan Sebelum pecahnya Aksi Militer Belanda II atau Clash II pada bulan Desember 1948, sekelompok anggota Pas M yang tertangkap dan ditawan Belanda di Bali sebagai tawanan perang dilepaskan di Malang Selatan dalam rangka pertukaran tawanan antara RI dan Belanda. Jumlah kelompok itu 97 orang. Setiba mereka di daerah RI, mereka langsung menggabung kembali dengan Pasukan M, dan merasa bahagia karena mereka masih ‘kebagian’ revolusi.
                Pada bulan-bulan akhir tahun 1948 itu, Angkatan Perang RI sedang giat-giatnya direkonstruksi dan dirasionalisasi, tak terkecuali Pas M/TLRI Kesatuan VII. Tetapi belum sampai Rekonstruksi itu tuntas, Belanda sudah mulai melancarkan serangan besar-besaran pada tanggal 19 Desember 1948, yang dikenal sebagai Aksi Militer Belanda II.
                Pas M yang waktu itu bertugas di Nganjuk segera bergerak kembali ke basisnya di Wlingi, dengan menggunakan kereta api ke Kediri, kemudian ke Blitar, selanjutnya ke Wlingi dengan lokomotif di belakang, menyongsong musuh yang bergerak dari Malang menuju Wlingi. Kedatngan Pas M di Wlingi hampir bersamaan waktunya dengan kedatangan satuan-satuan militer Belanda yang sangat besar jumlahnya di tempat itu. Untuk menghindari clash yang tidak seimbang, Pas M naik ke lereng-lereng Gunung Kawi Selatan, dan di sana mengadakan konsolidasi.
                Suatu peristiwa yang cukup penting bagi Pas M/TLRI Kesatuan VII ialah bahwa sesuai dengan rekonstruksi dan rasionalisasi oleh Pemerintah, Pas M dialihkan dari AL ke AD, dan menjadi Batalion Expeditie Troep Sunda Kecil (ETSK) Korps Reserve Umum (KRU) X Brigade XVI. Namun apapun perubahan formal yang dialaminya, nama dan jiwa Pas M tetap melekat pada pasukan itu. Pas M/ETSK diserahi penguasaan atas wilayah luas dari Gunung Kawi Utara yang bergunung-gunung sampai ke tanah datar di selatan yang berbatasan Kali Brantas
               
                Perang kemerdekaan kini memasuki tahap baru, karena semua kota di Jawa dan Sumatra telah diduduki musuh. Dengan demikian tentara RI hanya menguasai kantong-kantong wilayah yang digunakan sebagai pangkalan-pangkalan perang gerilya. Di wilayah kekuasaannya, Pas M mempersiapkan rakyat, terutama pemudanya, untuk berjuang bahu-membahu dengan pasukan. Juga lumbung-lumbung pangan rahasia didirikan di tempat-tempat strategis. Letda Soemartono menangani segi logistik ini.
                Selama clash 2 jalan besar yang membelah Sektor Pas M antara Wlingi dan Kesamben dikuasai Pas M, sehingga pasukan Belanda yang di Wlingi logistiknya terpaksa dipasok lewat udara (didrop dari pesawat Dakota) atau lewat darat dari Blitar dengan Kawalan panser yang kuat.
                Pada bulan Januari 1949, Mayor Markadi memerintahkan Lettu K. Soebagio, dengan dibantu oleh Bung Hasyim dan Bung Harsono (kedua-duanya ex perwira Jepang), untuk menghancurkan semua jembatan di daerah Wlingi.
                Serangan-serangan terhadap posisi-posisi musuh dilakukan siang dan malam, sehingga musuh selalu merasa tidak aman dan was-was. Berulang kali musuh melakukan operasi-operasi yang cukup besar, dengan menyusup ke daerah Pas M lebih dalam, dan selalu terjadi perlawanan sengit dengan disertai pergeseran kilat ke posisi-posisi lain yang sulit diduga oleh musuh.
                Dengan tersebarnya kantong-kantong gerilya di mana-mana, Belanda kekurangan personel guna menghadapinya. Inisiatif selalu ada di pihak gerilyawan, yang dapat melakukan serangan hit and run kapan pun dan di mana pun. Keadaan ini, dan lebih-lebih setelah operasi besar-besaran yang menggunakan segala  macam senjata, termasuk pesawat-pesawat Mustang, tidak mampu menghancurkan Pas M, Belanda begitu jengkel dan frustasi sehingga dalam surartnya kepada komandan Pas M, Komandan tentara Belanda di Wlingi menulis: “Meen niet dat U daar in de Kawie zo veilig zit.’ (Jangan kira, Anda di Kawi begitu aman).
                Pada bulan Agustus 1949, sebagai tindak-lanjut Perjanjian Renville, diperintahkan penghentian tembak-menembak di semua medan. Tak terkecuali di Kawi Selatan diadakan gencatan senjata, dan penentuan garis demarkasi.

Pas M Bubar

                Pada rekonstruksi TNI tahun 1949/1950, Pas M/ETSK Brig XVI menjadi Kompi D28 TNI AD Jawa Timur, dan kemudian menjadi Kompi 49, TNI Divisi I berkedudukan di Paiton, Jawa Timur (dinamakan ‘kompi’ meskipun kenyataannya terdiri atas dua kompi).
                Tahun 1951 dapat disebut tahun berakhirnya Pas M sebagai pasukan karena anggota-anggotanya disebar, ada yang menjadi satu kompi dalam Batalion 509 Resimen 19 Divisi I Brawijaya, satu kompi dalam Batalion 527 Resimen 18 Divisi I Brawijaya, sebagian kembali ke AL dan AU, ada yang kembali ke bangku sekolah, dan selebihnya ditampung dalam Corps Tjadangan Nasional (CTN).

                Meskipun secara fisik Pas M telah bubar, jiwa korps masih tetap terpelihara hingga saat ini, seperti yang dimanifestasikan dalam ‘Yayasan Lembah Merdeka Sakti’ dan pertempuran tahunan semua ex-anggota Pasukan M di Monumen Operasi Lintas Laut Jawa-Bali di Cekik, Bali Barat, setiap tanggal 4 April, yaitu  tanggal terjadinya pertempuran laut pertama dalam sejarah Republik Indonesia. Pelaku Pertempuran laut itu ialah Pasukan M.

gimana nih part 4 nya ? semoga makin seru sih and mohon kesabaran nya untuk part 5

FLASHBACK DIKIT : PASUKAN M TKR LAUT BERMAIN DENGAN MAUT DEMI NUSA DAN BANGSA Part 3

Gerakan Pasukan M di Bali Tengah

Dalam perjalanannya ke timur untuk bergabung dengan Resimen Ngurah Rai, Markadi dan pasukan ekspedisinya sampai di Pulukan Kampung Jawa. Mereka disambut oleh para pemuda pejuang setempat yang dipimpin oleh Tukio. Para pemuda itu mengusulkan kepada Markadi untuk melakukan serangan ke pos tentara Belanda di perkebunan Pulukan, antara lain guna membangkitkan semangat pemuda-pemuda wilayah itu. Serangan dilakukan pada malam hari kira-kira jam 23:00. Kontak senjata berlangsung sekitar setengah jam. Dalam serangan itu tidak jatuh korban di pihak kita, walaupun Markadi nyaris tewas terkena granat. Granat itu dilemparkan kea rah musuh oleh salah seorang pemuda pejuang, tetapi tersangkut di cabang pohon tepat di depan Markadi. Walaupun granat itu meledak hanya beberapa meter di hadapannya, Markadi samasekali tidak terluka.
Dua hari sesudah Gelar diserang musuh, Mangara Simamora dan sisa peletonnya sampai di desa Yeh Embang, dekat Pulukan, untuk menemui Markadi. Oleh Markadi, Mangara diperintahkan untuk tetap di Pulukan mendampingi pemuda-pemuda pejuang setempat memelihara basis perjuangan dan mengusahakan agar hubungan dengan pulau Jawa tidak terputus. Tetapi sebulan kemudian, karena gencarnya serangan-serangan musuh, pasukan Mangara Simamora terpaksa meninggalkan Pulukan bersama-sama dengan pemuda-pemuda pejuang setempat dan sejumlah rakyat, termasuk lurahnya. Mereka menuju ke timur laut ke Munduk Blatung, yaitu daerah yang semula ditentukan untuk menjadi basis operasi.
Sehari sesudah pertemuan dengan Mangara Simamora, Markadi didatangi oleh seorang kurir utusan Ngurah Rai. Kurir itu memberitahu Markadi bahwa Resimen Ngurah Rai sedang bergerak di sekitar Pupuan, dan Pas M diharapkan untuk menuju ke daerah tersebut. Esok harinya Pas M bergerak menuju Pupuan.
Setelah berjalan sehari, sampailah Pas M di lokasi Resimen Ngurah Raid an Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia Sunda Kecil (DPRI-SK) Bali. Ngurah Rai, Markadi dan para anggota DPRI mengadakan rapat dan memutuskan bahwa Pas M secara resmi dibawah-perintahkan Resimen Ngurah Rai sesuai dengan yang sudah direncanakan seaktu di Jawa. Esoknya seluruh pasukan kembali ke basis Resimen dan Markas Besar Umum (MBU) di Munduk Malang, wilayah Tabanan.
Di Munduk Malang, Markadi diperkenalkan dengan para komandan tempur Resimen, antara lain Sugianyar, Sardja, I Gusi Ngurah Pinda, Gerdeg dan Tiaga; staf Resimen, antara lain Haryo Mataram (putra Ki Hajar Dewantara) dan I Gusti Ngurah Wisnu; ketua DPRI-SK Bali, yaitu Wijakusuma; dan komandan Polisi (RI) Mahadewa.
Selama di basis Munduk Malang, Pas M ikut melakukan patrol-patroli pengamanan ke arah selatan basis, antara lain ke Penebel, Marga, Wangaya Gede.
Suatu hari sampai di Munduk Malang sepucuk surat yang dikirimkan oleh Overste (Letkol) Termeulen, komandan tentara Belanda di Bali waktu itu. Surat itu ditujukan kepada Letkol I gusti Ngurah Rai yang isinya meminta agar ia menghentikan perlawanannya. Permintaan tesebut ditolak mentah-mentah. Implikasi surat dari komandan tentara Belanda tersebut ialah bahwa Belanda sudah mengetahui lokasi basis Markas Besar Umum (MBU) perjuangan rakyat Bali dan tempat kedudukan para pemimpinnya di Munduk Malang.
Mereka memutuskan untuk segera meninggalkan Munduk Malang dan memulai apa yang disebut Wingate, yaitu gerakan tempur dengan mobilitas pasukan yang tinggi. Wingate ini selain untuk menghindar dari kemungkinan serangan besar-besar oleh musuh, juga dimaksudkan untuk mempertinggi semangat juang para pemuda pejuang yang tersebar di berbagai daerah seluruh Bali. Maksud lain ialah agar Belanda mengurangi konsentrasi pasukannya di Bali Barat, sehingga meringankan beban pasukan-pasukan kita dari Jawa yang menurut rencana akan segera tiba didaratkan di Bali.

Gerakan Pasukan M di bali Timur

Seperti telah dikemukakan, Pas M pilihan yang langsung dipimpin oleh Markadi dibawah-perintah Resimen Ngurah Rai, dan selama operasi-operasi Wingate ke Bali Timur, Pas M selalu merupakan unsur penting yang berjuang bahu-membahu dengan pasukan-pasukan Resimen Ngurah Rai lainnya.
Operasi Wingate dimulai dengan gerakan ke Singaraja bagian barat, dan melakukan serangan-serangan di tempat itu antara lain dengan maksud agar kesatuan-kesatuan perlawanan rakyat di desa-desa setempat meningkat semangat juangnya. Kemudian pasukan-pasukan bergerak ke timur dan menyerang pos militer musuh di Banjar Lampu. Dalam serangan ini Pas M bertugas menutup kemungkinan pengiriman pasukan bantuan bagi musuh.
Dari Banjar Lampu pasukan-pasukan menuju kea rah desa Gitgit. Di dekat dsesa itu, pasuan Gerdeg melakukan penghadangan terhadap pasukan musuh yang sangat mengagetkan pihak lawan. Dari Gitgit, pasukan-pasukan terus bergerak ke desa Nangka di wilayah Jagaraga Buleleng Timur. Dalam gerakan maju ini, Pas M ditunjuk sebagai pasukan pengaman dengan dibantu oleh regu montir yang dipimpin oleh I gusti Ngurah Pinda (tokoh ini kemudian menjabat sebagai wagub Propinsi Bali dan anggota DPR RI). Mengenai mortar itu perlu dikemukakan bahwa senjata itu buatan sendiri (dalam negeri) yang memakai bahan baju tiang listrik!
Jalan yang akan dilalui pasukan induk ada di bawah rangkaian perbukitan sehingga sangat berbahaya jika musuh mengahadang dari atas bukit. Maka Markadi memerintahkan Pas M untuk menaiki rangkaian bukit dan berjalan di punggung perbukitan di atas jalan yang akan dilalui pasukan induk. Perkiraan Markadi mengenai penghadangan oleh musuh itu ternyata benar.
Prajurit pengintai terdepan melaporkan bahwa pasukan tentara Belanda sedang bersiap-siap mengatur stelling penghadangan di atas bukit di hadapan Pas M. Musuh tidak mengetahui bahwa di sampingnya ada pasukan kita pada ketinggian yang sama. Dengan hati-hati Markadi memerintahkan pasukannya untuk mendekati kedudukan musuh dari arah samping. Sesudah kira-kira 100 meter dari posisi musuh, pasukan diberi isyarat untuk berhenti dan siap tempur.
Sebagai pembuka serangan, Markadi memerintahkan regu mortar Ngurah Pinda untuk menembakan mortirnya. Sayang macet. Maklum mortar bikinan sendiri! Beberapa serdadu Belanda rupa-rupanya mendengar bunyi-bunyi mortar macet yang mencurigakan, dan mereka berdiri memandang ke arah datangnya bunyi-bunyi itu. Untung mereka masih juga tidak menyangka bahwa ada pasukan kita di dekatnya. Saat itulah Markadi member aba, “Tembak!” Seketika Sardi memberondongkan senapan mesinnya sedangkan pemegang-pemegang senapan menembak serentak. Baru musuh menyadari bahwa mereka telah terjebak. Dengan balas menembak yang tidak terarah, karena kaget, musuh lari dengan memanggul atau menyeret kawan-kawannya yang luka  atau mati kea rah bangunan sekolah di dekatnya, yang ternyata mereka jadikan pos. Maka tembakan-tembakan diarahkan ke gedung sekolah tersebut. Musuh makin panik, dan lari berhamburan keluar dari gedung dengan membawa sebisanya yang terluka dan yang mati kea rah lembah di belakang gedung sekolah, dengan meninggalkan ceceran darah, alat-alat masak dan makanan yang belum sempat dimakan.
Hikmah yang kita peroleh dari kemenangan itu ialah bahwa dalam setiap pertempuran kita harus menguasai posisi yang lebih tinggi daripada musuh. Lebih baik berjerih-payah mendaki bukit bermandi keringat daripada mati bersimbah darah!
Sore harinya musuh mengadakan serangan balasan yang tidak menggunakan pasukan ifanteri tetapi langsung menembaki pasukan kita dari udara dengan pesawat-pesawat pemburu Mustang (P-51)

Markas Gabungan Gerakan Sunda Kecil (MGGSK)

Setelah Pas M diserang musuh di Gelar pada bulan Mei 1946, sebagian dari anggota-anggotanya mundur ke Bali utara, termasuk kelompok Combat Intelligence Section (CIS) yang dipimpin oleh Saestuhadi dan Abdul Madjid (kakek gue vroh…). Mereka kemudian berhasil menyeberang ke Jawa. Sementara itu di pulau Jawa telah terbentuk suatu gabungan badan-badan perjuangan yang disebut Markas Gabungan Gerakan Sunda Kecil (MGGSK).
MGGSK adalah hasil jerih-payah Munadji untuk memperkuat pasukan-pasukan kita yang berjuang di Bali. Seperti tampak dari namanya, dalam badan perjuangan ini tergabung berbagai kesatuan, yaitu sebagian Pasukan M (antara lain CIS yang kembali dari Bali), pasukan MBAL dari yogya, pasukan Penataran Angkatan Laut (PAL), pasukan Pesindo dari Batu, dan Pasukan Berani Mati BPRI. Surat keputusan pembentukan MGGSK ditandatangani pada tanggal 20 Februari 1946 oleh Panglima Besar Sudirman dan Menteri Pertahanan Amir Syarifudin.
Bung Karno sendiri menyetujui upaya memperkuat pasukan-pasukan kita di Bali, terlebih-lebih setelah mendengarkan laporan lisan yang diberikan Abdul Madjid (anggota CIS). Sesudah laporan selesai, ada percakapan singkat antara Bung Karno dan Abdul Madjid sebagai berikut:
BK           :               “Wat hebben jullie nodig?” (Kalian memerlukan apa?)
AM          :               “Wapens.” (Senjata.)
BK           :               “Goed.” (Baik.)
Maka dikirimlah sepasukan dari MBAL Yogyakarta di bawah pimpinan Kapten Suradi. Selain personel dikirim pula senapan-senapan mesin (yang dicopot dari pesawat-pesawat tempur) beserta amunisinya. Granat-granat tangan buatan dalam negeri juga diperoleh berkat bantuan Kolonel Zoelkifli Loebis.
Pertengahan Mei 1946, pasukan-pasukan ang tergabuung dalam MGGSK yang berjumlah 200 orang sudah berkumpul semuanya di Sukowidi. Sementara menunggu perintah pendaratan, mereka sehari-harinya mengadakan latihan-latihan.
Sementara itu Abdul Madjid dan Ahmad Nudio, kedua-duanya dari CIS, berupaya memperoleh partisipasi kaum nelayan di Muncar dalam operasi pendaratan yang direncanakan itu. Akhirnya mereka bersedia menyediakan perahu-perahunya, dan mereka bahkan ikut-serta sebagai tukang-tukang perahu. Karena mau ikut berjuang, mereka tidak menuntut imbalan apapun. Namun sebagai tanda terima kasih, Madjid dan Nudio memberikan berslof-slof rokok putih Siraho kepada mereka.
Renacana-rencana pendaratan dan operasi-operasi di darat sudah mulai disusun oleh Munadji sebagai komandan MGGSK bersama-sama Sriaman sebagai komandan TKR Laut Banyuwangi, komandan-komandan pasukan, dan Tomegoro Yoshizumi (Bung Arief). Pasukan-pasukan akan diberangkatkan dari pelabuhan Banyuwangi tanggal 1 Juli 1946 mulai kira-kira jam 20:00 dengan menggunakan perahu mayang dan jukung. Pendaratan akan dilakukan antara Gilimanuk dan Tukadaya. Titik-kumpul semua pasukan adalah di daerah Melaya Tengah. Sesudah itu semua pasukan menuju Tabanan untuk bergabung dengan Markadi. Munadji menunjuk Suryadi sebagai piminan pendaratan, dibantu oleh Sugiarto (Pesindo), Saestuhadi sebagai perwira operasi, dan Drijopangarso.

Pelaksanaan Operasi MGGSK

                Hari H yang direncanakan tanggl 1 Juli 1946 terpaksa ditunda 1 hari karena arus dan pasang-surut lut tidak memungkinkan penyebrangan. Tnaggal 2 Jui 1946 malam pemberangkatan jadi dilakukan. Malam gelap-gulita, laut cukup tenang dan angina bertiup lemah. Perahu-perahu mayang ditarik motorboat sampai tengah laut, sedangkan jukung-jukung brlayar dengan kekuatan sendiri.
                Sementara itu, keadaan di Bali sudah sangat berbeda dari informasi terakhir yang diterma MGGSK dua bulan sebelumnya. Selama 2 bulan itu Belanda berhasil menakuti-nakuti rakyat dengan ancaman hukuman berat bagi siapapun yang membantu tentara kita. Bahkan banyak di antara rakyat yang ditangkap Belanda. Jadi MGGSK menggunakan informasi kadaluwarsa untuk merenvanakan operasi-operasinya, dan ini akan membawa konsekuensi fatal.
                Karena kondisi perahu satu sama lainnya berbeda-beda, begitu pula ketrampilan awak perahunya, maka pendaratan tidak mungkin dilakukan di satu temat pada waktu yang bersamaan. Pendaratan dilakukan di Klatakan, Penginuman dan Batukarung, antara jam 02:00 dini hari sampai fajar.
                Pasukan induk yang dipimpin Suryadi dan berjumlah lebih dari 100 orang mendarat di Klatakan pada dini hari sampai fajar tanggal 3 Juli 1946. Ini adalah kali  pertama Suryadi mendarat di Bali, dan ia boleh dikatakan buta geografi tempat di mana ia kebetulan mendarat, pun buta situsiasi masyarakat Bali Barat yang mutakhir. Berbeda dari pendaratan-pendaratan sebelunya, tidak ada pemuda-pemuda setempat yang menjemput dan menjadi penunjuk jalan dan pemberi informasi mengenai keadaan.
                Perintah pertama yang diberikan Suryadi ialah supaya sebagian pasukan menguasai jembatan sungai Klatakan yang menghubungkan Gilimanuk dengan Negara, dan melindungi anggota-anggota lain yang ada di pantai atau yang sedang mendarat. Sampai matahari terbiit pasukan yang mendarat di Klatakan masih ada di pantai. Ini berakibat fatal. Seharusnya begitu pasukan mendarat, mereka harus cepat-cepat bergerak menyebrang jalan raya Gilimanuk-Negara dan masuk hutan. Inilah yang dilakukan kelompok-kelompok kecil yang mendarat di Penginuman dan Batukarung, yang kebanyakan adalah anggota CIS.
                Sejak pendaratan ini, semua pasukan yang tergabung dalam MGGSK secara organic dimasukkan ke Pas M TKR Laut.
                Karena banyak mata-mata yang gentanyangan di Bali Barat, Belanda segera mengetahui adanya pendaratan itu. Mereka mengirimkan tentaranya dalam jumlah besar dan stelling di jalan raya. Dengan demikian pasukan MGGSK yang masih ada di pantai terjepit. Di depan musuh, di belakang laut. Tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali maju sambil bertempur. Mereka menjadi sasaran empuk bagi berondongan metraliyur-metraliyur Belanda. Maka banyak yang gugur, sebagian tertangkap, dan sebagian lagi berhasil lolos menyebrang jalan menerobos ‘pagar betis’ tentara musuh, Pertempuran demikian hebatnya sampai-sampai terdengar di Banyuwangi.
                Sejak pertempuran di Klatakan itu, pasukan MGGSK tercerai-berai, tanpa piminan dan tanpa pengarahan. Suryadi sendiri termasuk yang berhasil lolos dari kepungan Belnada, walaupun betisnya tembus tertebak. Ia diselamatkan oleh empat anak buahnya, dan waktu berjalan ke utara bertemu lagi dengan sepuluh anak buahnya. Tetapi dalam tembak-menembak dengan musuh ia gugur di Bali Utara. Di mana ia dikubur, sampai sekarang tak seorang pun yang mengetahuinya. Nasib serupa bahkan lebih buruk dialami Sugiarto, wakil komandan pendaratan. Sesudah pertempuran di Klatakan tersebut, ia tidak tampak lagi, Seandainya pun gugur, tidak ada orang yang tahu kuburnya.
                Kelompok-kelompok yang mendarat di Penginuman dan Batukarung agak lebih baik nasibnya karena mereka langsung menyeberang jalan raya sesudah mendarat. Secara tidak sengaja, mereka terbagi menjadi dua kelompok. Dalam kelompok yang satu terdapat beberapa anggota CIS, termasuk pimpinannya sendiri, yaitu Saestuhadi. Dalam kelompok lainnya juga terdapat beberapa anggota CIS, antara lain Dugel Djoko Imam Subekti, Soebagio dan Samekto. Kelompok Saestuhadi berpapasan dengan patrol musuh di dekat Blimbingsari, dan sesudah pertempuran singkat Saestuhadi gugur. Jenazahnya diambil oleh masyarakat kampong, dan dimakamkan sebagi seorang yang mati syahid di desa Tukadaya.
                Kelompok Dugel bergerak ke timur dengan tujuan Tabanan. Dalam perjalanan, mereka berjumpa dengan pecahan-pecahan pasukan induk sehingga jumlah kelompok menjadi kira-kira 40 orang. Pun dalam perjalanan, mereka terpaksa menyusuri hutan dan makan apa saja yang bias dimakan. Akhirnya sebagian berhasil sampai di Penataran. Sebagian lagi gugur, dan jenazah-jenazah mereka berserakah di hutan.
                Di antara mereka yang berhasil sampai di Penataran, daerah Tabanan, ialah Dugel Djoko Imam Subekti, Samekto dan Armanus, pemegang senapan mesin berlaras ganda. Di Penataran ini mereka bertemu dengan peleton Mangara Simangora dari Pasukan M. Beberapa hari setelah Dugel sampai di tempat itu, ada laporan bahwa patrol Belanda sedang menuju ke desa itu. Dugel segera mengumpulkan anggota-anggota yang bersenjata. Senapan mesin berlaras ganda dan karaben-karaben menewaskan dan melukai serdadu-serdadu Belanda itu. Dua mayat serdadu ditinggalkan. Lain-lainnya lari kocar-kacir. Menurut laporan penduduk mereka membawa kawan-kawannya yang mati dan luka-luka. Salah satu yang tewas adalah seoraang kontrolir (pejabat pangreh praja) Belanda. Mereka meninggalkan bekal makanan dan alat-alat memasak. Seperti kata Jayusman (Almarhum, wakil simamora), bagaimanapun keadaannya, Pasukan M terbukti masih kuat berperang.
                Karena kekalahan ini, Belanda memngamuk dan esok harinya mengirimkan pasukan-pasukan ke Penataran dan sekitarnya yang tidak tanggung-tanggung besarnya, termasuk dau pesawat pemburu yang menembaki setiap gerumbul. Pasukan M mengadakan stelling untuk melawan. Tetapi kemudian diketahui bahwa melawan berarti bukan bunuh diri. Serdadu-serdadu Belanda menyerbu dari segala jurusan, dan sudah ada di mana-mana. Pasukan M akhirnya masuk hutan. Sisa-sisa Pasukan M/MGGSK yang tidak ada yang memimpin lagi akhirnya terpecah-pecah, ada yang ke barat, ada yang ke utara, ada yang ke timur. Sebagian tidak pernah dijumpai lagi, sebagian bertemu dengan kawan-kawan seperjuangan di kamp tawanan Belanda, sebagian lagi dapat berkumpul dengan kawan-kawan sepasukannya di pulau Jawa beberapa tahun kemudian.

Mukzijat Gunung Agung

                Akhir bulan Juni sampai awal bulan Juli 1946, gerakan Wingate Resimen Ngurah Rai, yang di dalamnya termasuk Pas M, menuju ke daerah Karangasem melalui lereng selatan Gunung Agung (gunung berapi tertinggi di Bali) dan daerah Selat.  Gerakan yang sungguh nekad ini bertepatan waktu dengan pendaratan MGGSK di bagian barat pulau Bali, sehingga seolah-olah ada koordinasi antara dua operasi itu.
                Karena harus menghadapi pasukan-pasukan kita di barat dan timur, Belanda mendatangkan bala bantuan dari daerah-daerah lain dan memperkuat angkatan udaranya dengan pesawat-pesawat Mustang (P-51) dan B-25. Maka dalam pertempuran-pertempuran selanjutnya selalu muncul dua jenis pesawat itu untuk menembaki dengan senapan mesin berat, meroket dan membom sasaran-sasaran yang mereka kira merupakan tempat-tempat pemusatan pasukan-pasukan kita.
                Resimen Ngurah Rai, yang tidak tahu telah terjadi pendaratan pasukan MGGSK di barat, terus bergerak ke timur, ke daerah Rendang (bkn makanan ya coeg wkwkwk), di mana terjadi pertempuran yang hampir menghancurkan seluruh pasukan Resimen Ngurah Rai.
                Belanda mengetahui bahwa pasukan besar yang ada di lereng Gunung Agung itu adalah pasukan induk, maka mereka bertekad untuk menghancurkannya dengan menggunakan segala macam senjata, termasuk mortar 12 cm, dua pesawat pemburu Mustang dan satu pembom B-25.
                Setelah dua hari kontak senjata dan penembakan dan pemboman kubu-kubu pertahanan kita oleh Mustang dan B-25, pasukan-pasukan kita mempersempit daaerah pertahanan di lereng Gunung Agung. Jalannya pertempuran pada hari ketiga adalah sebagai berikut :
                Dengan ancaman serangan musuh dari arah kiri dan arah kanan dan dari depan. Pasukan kita bertahan dalam bentuk setengah lingkaran, dengan lereng Gunung Agung sebagai latar belakang. Pertempuran berlangsung satu hari penuh, dan tembak-menembak baru mereda menjelang gelap tatkala daerah pertempuran masih diselimuti kabut. B-25 yang hari itu terus-menerus menembaki pasukan kita sore itu menghilang, dan hanya mortar musuh melakukan tembakan-tembakan ke pertahanan kita walaupun tidak mengenai sasaran.
                Hari sudah beranjak malam di lereng Gunung Agung. Pasukan sudah letih dan mesiu sudah menipis. Tentara musuh ada di kanan-kiri-depan, siap memberikn pukulan maut terakhir esok harinya. Untuk menghindari kehancuran total, tidak ada jalan lain bagi pasukan-pasukan Wingate Ngurah Rai, kecuali naik ke puncak Gunung Agung yang ada di belakang daerah pertahanan, dengan menerobos hutan belukar yang tanpa jalan, dan lolos di lereng seberang puncak. Beberapa komandan mengusulkan untuk malam itu juga menerobos pertahanan musuh di sebelah timur dan terus ke daerah Karangasem. Namun pimpinan berpikir bahwa penerobosan itu akan memakan lebih banyak korban karena tidak diketahui secara tepat posisi-posisi musuh di sektor itu. Keputusan naik Gunung Agung lewat hutan yang tidak ada jalannya itu pasti tidak diperkirakan musuh karena pendakian itu memang tidak mungkin menurut akal sehat, dan oleh sebab itu merupakan satu-satunya jalan yang aman untuk dapat lolos dari kepungan maut yang sangat ketat.
                Malam itu juga pendakian Gunung Agung dimulai. Pendakian tidak dapat dilakukan siang hari karena pasti akan dihabisi oleh pesawat-pesawat terbang. Jadi di bawah lindungan kegelapan malam, seluruh pasukan Wingate yang hamper tidak makan dan minum selama tiga hari, menerobos hutan tanpa jalan, dan sungguh suatu mukzizat pasukan mencapai puncak, dan langsung menuruni lereng ke daerah Klandis. Di desa itu rakyat menyambut pasukan dengan hangat dan menyediakan makanan berupa hasil lading setempat seperti singkong, ubi jalar dan keladi, yang diterima oleh pasukan yang kecapaian dan kelaparan itu dengan gembira dan rasa terima kasih.

Babak Baru

                Tatkala pasukan di Klandis, terbetik berita mengenai perjanjian Linggarjati yang sangat mengejutkan para pejuang di Bali. Sebagaimana diketahui, Perjanjian Linggarjati tersebut hanya mengakui Jawa dan Sumatra sebagai wilayah RI, sedangkan Bali tidak termasuk.
                Meskipun sangat kecewa, para pejuang di Bali tidak patah semangat, malahan bertekad untuk tetap melanjutkan perang gerilya dengan intensitas dan efisiensi yang lebih tinggi. Maka para pejuang dibagi dalam dua front yang terpisah tetapi satu komando. Front pertama diisi oleh pasukan tempur, sedangkan yang kedua oleh unsur teritorial yang bertugas membina rakyat untuk melakukan perlawanan yang disesuaikan dengan kondisi setempat dan untuk mendukung pasukan tempur. Anggota-anggota unsur teritorial ini diwajibkan kembali ke wilayah masing-masing dan menyatu dengan rakyat. Dengan demikian beban logistik desa-desa dapat diringankan karena mereka selanjutnya hanya wajib menyiapkan suplai bagi pasukan-pasukan tempur yang mobil.
                Selain itu, I Gusti Ngurah Rai sebagai pimpinan Markas Besar Umum pejuang di Bali memutuskan untuk mengirim surat ke Pemerintah Pusat RI di Yogyakarta.
Yang diutus untuk membawa surat itu adalah Mahadewa dan Haryo Mataram. Tetapi misi ini gagal karena tidak berhasil menembus blockade Belanda di seluruh pantai Bali yang dijaga dnegan sangat ketat. Maka terpaksa diangkat misi kedua yang terdiri dari Markadi, komandan Pas M, dan I Gusti Ngurah Mataram, seorang pejabat MBU. Komandan Pas M Ekspedisi diserahkan kepada I Gusti Ngurah Dwinda, dan berangkatlah Markadi dan Mataram dari daerah utara Bangli menuju ke barat.
                Dalam perjalanannya ke barat, Markadi dan Mataram singgah di Munduk Blatung, basis perjuangan yang dijaga oleh Pas M yang dipimpin oleh Mangara Simamora. Pun di tempat itu mereka bertemu dengan sejumlah pasukan yang mendarat pada bulan Juli, antara lain Dugel Djoko Imam Sukbekti, Martowo dan Samekto.
                Perjalanan misi Markadi ke Jawa penuh dengan bahaya yang hampir-hampir merenggut nyawa mereka, tetapi lagi-lagi suatu mukzizat misi itu berhasil sampai di pulau Jawa.

Pasukan M Pecah di Munduk Blatung

                Munduk Blatung terletak di daerah berbukit-bukit di sebelah barat laut Tabanan. Di bukit-bukit itu terdapat perkebunan kopi yang sudah tua dan hutan belantara. Pasukan pimpinan Mangara Simamora sudah beberapa bulan mangkal di tempat itu, menjaga daerah sekitarnya dan membimbing rakyat agar semangat perjuangan mereka tidak padam. Awal bulan Agustus 1946, sampai pula di tempat itu sejumlah pasukan yang merupakan bagian pasukan yang cukup besar yang didaratkan di Bali pada awal bulan Juli. Pasukan ini membawa senjata, termasuk metraliyur laras ganda yang oleh Dugel dan anak buahnya dimanfaatkan untuk menghancurkan patroli musuh yang mendekati desa Penataran.
                Setelah memperingati Hari Ulang Tahun pertama Republik Indonesia, yang dilakukan di tengah hutan, pasukan memutuskan untuk pecah menjadi tiga kelompok.
                Kelompok pertama di bawah Nurhadi menuju ke barat dengan maksud menyeberang ke Jawa, kalau mungkin. Sebagian besar kelompok ini tertangkap musuh dan sebagian lagi gugur, termasuk Nurhadi.
Kelompok kedua, yang terdiri antara lain dari Dugel, Marwoto dan Bambang Sakri, menuju utara dan melanjutkan perjuangan sebagai unsur territorial. Dugel, misalnya, menjadi ketua markas cabang DPRI Anjasmara yang terletak di perbukitan barat daya Buleleng. Ia bertugas membimbing rakyat agar semangat juang mereka tetap menyala, dan mengorganisir perjuangan rakyat. Kelompok kedua ini akhirnya terjebak bersama-sama para pejuang di Bali lainnya, gara-gara seorang tokoh yang mengaku diutus pemerintah pusat RI. Maka pada bulan Mei 1948, Dugel dan beberapa anggota Pas M yang bersamanya, tertangkap Belanda. Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) mereka semua dikembalikan ke Jawa.
                Kelompok ketiga, yang terdiri dari antara lain Tamsir, Ngadisan, Bung Slamet (Jepang) menuju ke timur, dan kemudian ikut bertempur pada puputan Margarana. Pertempuran habis-habisan itu menelan korban 96 pahlawan, termasuk I Gusti Ngurah Rai. Tamsir dan Ngadisan berhasil selamat. Bung Slamet gugur.
                Mangara Simamora tidak termasuk dalam salah satu tokoh kelompok di atas. Ia menyatu dengan para pejuang di Singaraja sampai tertangkap pada awal 1948.


Duh… makin seru aja ya di part 3 ini, dan gak kalah penting yaitu semangat para pejuang jaman dulu tuh bener-bener hebat ya. Eh iya part 4 menyusul

FLASHBACK DIKIT : PASUKAN M TKR LAUT BERMAIN DENGAN MAUT DEMI NUSA DAN BANGSA Part 2

         Kegagalan tahap pertama ini tidak membuat Prabowo dan Munadji menghentikan upayanya. Meraka segarea menguhubungi Shibata, yang kemudian menunjuk tiga orang Jepang untuk mendampingi Satgas Prabowo. Mereka adalah Tomegoro Yoshizumi (Arief), Kashioki Mike. Yang sudah disebut di atas, dan Takaachi. Dalam pelaksanaan tugas tahap kedua inilah Markadi diikutsertakan.
        Pada tahap kedua ini, mula-mula Satgas mengalam kesulitan karena komandan Kaigun di Denpasar tetap menolak untuk berunding karena telah terikat dengan perintah sekutu. Tetapi berkat bujukan tiga orang Jepang Satgas tadi, sikap komandan itu akhirnya melunak.
       Sesudah dua kali pertemuan, komandan Kaigun itu mengajukan usul. Karena Kaigun di Bali sudah terikat dengan perintah Sekutu, maka harus ditempuh jalan agar penyerahan senjata kepada pihak Indonesia tidak membahayakan posisi Kaigun di Bali di mata Sekutu. Maka cara yang ditempuh adalah seolah-olah terjadi ‘perebutan’ senjata Kaigun oleh pihak Indonesia. Untuk itu perlu didaratkan pasukan dari Jawa yang berjumlah antara 50 sampai 100 orang di Gilimanuk, dan seakan-akan ‘bertempur’ dengan pihak Kaigun. Seluruh personel Kaigun kemudian diamankan sesuai rencana, dan senjata-senjatanya disita. Dengan pertempuran pura-pura ini dapat diciptakan kesan bahwa senjata Kaigun di Bali bukan diserahkan begitu saja , melainkan direbut pihak Indonesia. Usul komandan Kaigun ini dapat disetujui Satgas, dan disepakati bahwa pelaksanaannya 3 sampai 4 minggu sesudsah persetujuan itu dicapai.
      Keputusan pertemuan tersebut disampaikan kepada Gubernur Sunda Kecil, Ketut Pudja, di Singaraja, dan kepada para pemimpin pemuda di Bali, antara lain Widja Kesuma dan Anak Agung Sutedja.
     Satgas Prabowo segera melapor kepada Markas Besar TKR Laut di Lawang. Pimpinan TKR Laut menyambut baik hasil pelaksanaan tugas Satgas Prabowo itu, dan memutuskan untuk mengirimkan pasukan ke Bali sesuai dengan persetujuan Denpasar. Markadi diperintahkan untuk memimpin pasukan itu.

Pasukan M Melaksanakan Hasil Satgas

     Untuk menindak-lanjuti hasil Satgas Prabowo, Pasukan M perlu memperkuat diri dari segi baik personel maupun persenjataan. Saestuhadi, wakil komandan Pasukan M, tetapi juga siswa Sekolah Pertanian Menengah Tinggi (SPMT, sekarang disebut SPMA atau udah berubah lagi coeg) mulai menghubungi kawan-kawannya di Malang. Dalam waktu singkat terbentuklah pasukan berkekuatan 50 orang yang terdiri dari para siswa SPMT, termasuk satu gurunya, yaiu Pak Umar Drijopangarso, dan Sekolah Menengah Tinggi, sekarang SMA), Malng.
     Persenjataan berupa karaben kavaleri dan pistol metraliyur diperoleh dengan ikut merampas seluruh persenjataan Jepang di tangsi Rampal, Malang. Mereka semua sdudah mengikuti latihan militer di sekolah menengah zaman Jepang, di mana latihan militer adalah wajib. Bahkan ada yang sudah berpengalaman di front Surabaya.
    Awal Desember 1945 pasukan khusus ini diberangkatkan ke Banyuwangi. Sambil menunggu perintah pendaratan, mereka diberi tugas-tugas penjagaan sepanjang pantai dari Wongsorejo sampai Muncar.
    Sementara itu keadaan di Bali sudah samasekali berubah. Pada awal Desember 1945, utusan Sekutu mendarat di Benoa dalam jumlah yang sebetulnya tidak besar, dan hanya bermaksud mengawasi pelaksanaan perintah Sekutu kepada Jepang untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Kehadiran Sekutu ini membuat sikap Kaigun menjadi keras dan agresif. Bahkan atas perintah Sekutu, mereka merencanakan untuk menangkap semua pimpinan pemuda di Bali. Para pemuda menanggapi sikap dan rencana Jepang ini dengan cara yang keras pula. Tetapi kaena tidak memiliki senjata, rencana-rencana mereka tidak berhasil.
   Karena situasi yang sudah demikian berubah, kesepakatan antara Satgas Prabowo dan Komandan Kaigun di Denpasar pasti tidak dapat dilaksanakan. Maka pasukan khusus yang sudah siap diberangkatkan itu terpaksa ditarik kembali ke Malang.

Surat Perintah Kepala Staf Umum TKR Laut

   Sesudah persetujuan Denpasar tidak mungkin dilaksanakan, Prabowo,Munadji dan Markadi bersama-sama pergi ke Yogya untuk menemui Kepala Stad Umum TKR Laut, M. Pardi.
   Dalam pertemuan yang berlangsung di Markas Besar TKR laut itu, Prabowo melaporkan usaha-usaha Satgasnya untuk membuat Kaigun di Bali bersedia menyerahkan senjatanya kepada RI, juga perubahan sikap komandan Kaigun yang mengagalkan usahah-usaha itu. Menurut KSU, laporan Prabowo itu cocok dengan apa yang dilaporkan Ngurah Rai. Perlu dijelaskan bahwa komandan Resimen TKR Sunda Kecil itu pergi ke Jawa sesudah kegagalan konfrontasi dengan Jepang pada pertengahan Desember 1945 itu, dengan tujuan menjumpai para pemimpin Pemerintahan dan Angkatan guna mendapatkan senjata dan amunisi.
   Berdasarkan laporan-laporan yang telah diterima, Markas Besar TKR Laut memutuskan untuk memberikan bantuan kepada Ngurah Rai. Munadji diperintahkan untuk menyiapkan bantuan itu. Untuk pelaksanaan bantuan itu, Prabowo mengatur agar kepada Munadji diberikan Surat Keputusan. SK ini keluar pada tanggal 28 Januari 1946, dan untuk Munadji merupakan legalisasi pertama oleh Pemerintah Pusat bagi daya-upayanya membantu perjuangan di Bali. SK M. Pardi tersebut kemudian disusul dengan Surat Perintah yang berisi petunjuk pelaksanaan terperinci mengenai apa yang tercantum dalam SK tersebut.
  Dalam rangka melaksanakan tugas-tugas seperti yang diuraikan di atas Munadji dan Ngurah Rai sering mengadakan pertemuan. Sesungguhnya sejak meninggalkan Bali, Ngurah Rai sudah menggariskan bahwa bantuan yang diharapkan dari Jawa hanylah berupa senjata dan amunisi, bukan personel. Tetapi para pemimpin yang ditemuinya, termasuk yang ada di Pemerintah Pusat di Yogyakarta, memberitahukan bahwa member bantuan senjata dan amunisi saja tidak mungkin karena semuanya ada di tangan pasukan-pasukan yang tersebar di garis depan. Yang mungkin adalah member bantuan senjata beserta pasukan yang memegang senjata itu. Dalam situasi seperti itulah Ngurah Rai dapat menerima bantuan yang disediakan TKR Laut berupa pasukan dengan senjatanya, Selain pasukan TKR Laut Banyuwangi di bawah pimpinan Kapten Waroka, Bntuan tersebut akan berupa Pasukan M yang dipimpin Kapten Markadi.

Pasukan M Mempersiapkan Diri

    Tugas pokok Pasukan M adalah membantu TKR Resimen Sunda Kecil, dan membentuk basis perjuangan yang akan menjamin terpeliharanya hubungan anatra Resimen TKR Sunda Kecil dengan Jawa. Melalui basis perjuangan ini arus informasi timbale-balik dapat terpelihara, begitu pula pengiriman senjatya dan pasukan. Basis ini direncanakan berlokasi di Pekutata yang dekat dengan Medewei, yaitu yang menurut rencana merupakan titik-temu psukan Ngurah Rai dengan Pasukan M.
    Untuk melaksanakan tugas tersebut, Markadi harus mempersiapkan pasukan tempur. Dan untuk dapat membentuki basis perjuangan, ia jugaharus membawa pasukan yang, selain dapat bertempur, juga dapat membina masyarakat setempat.
    Sesungguhnya Markadi masih mempunyai pasukan yang utuh terutama untuk melaksanakan tugas ganda, yaitu bertempur dan membentuk basis perjuangan. Pasukan itu adalah yang semula direncanakan untuk didaratkan di Bali sehubungan dengan persetujuan Satgas Prabowo dengan komandan Kaigun di Denpasar. Sebagaimana kita ketahui, pendaratan itu tidak jadi dilakukan karena peristiwa di Bali pada pertengahan Desember 1945. Sekembalipasukan khusus itu di Malang, sebagian pindah ke kesatuan-kesatuan lain, tetapi yang tersisa masih 30 orang. Mereka menjadi inti Pasukan M dan disebut Combat Intelligence Section (CIS).
     Sebagai komandan Polisi Tentara Laut Resimen II TKR Laut MALANG, Markadi juga masih mempunyaipasukan tempur yang anggota-anggiotanya terdiri dari mantan Seinendan, Peta dan Kaigun Heiho.
    Persenjataan Pasukan M relatif lengkjap, antara lain karena didukumg oleh Markas Besar TKR Laut di Lawang dan di Yogya. Selain itu diperoleh senjata dari Front Surabaya dan Penataran Angkatan Laut (PAL) Surabaya. Juga senjata-senjata yang dirampas dari tangsi Jepang di Rampal oleh anggota-anggota CIS masih utuh. Persediaan granat dan amunisi cukup. Seragam diperoleh dengan merampas gudang Kaigun di Batu. Pasukan tempur itu dibagi menjadi empat seksi (peleton), yaitu Seksi 1 dipimpin Muhadji, Seksi 2 dipimpin Nurhadi, Seksi 3 dipimpin Mochtar dan Seksi 4 dipimpin Mangara Simamora.
    Pasukan M kemudian juga diperkuat oleh sekelompok dari TKR Laut Probolinggo di bawah pimpinan Gatot Suprapto Suwondo, dan Kompi Nazir dari TKR Laut Banyuwangi.
    Ketika persiapan di Malang sudah selesai, Pasukan M diberangkatkan ke Banyuwangi untuk mendekati sasaran. Akomodasi sudah dipersiapkan oleh TKR Laut Banyuwangi, yaitu suatu komplek perumahan luas milik pabrik gula yang sudah lama tutup, berlokasi di Sukowidi, sebelah utara Banyuwangi.
    Sambil menunggu operasi pendaratan, pasukan tempur mengadakan latihan-latihan ketrampilan tempur, termasuk latihan pendaratan. Sementara itu CIS sudah mulai dengan operasi-operasinya, Bulan Maret 1946, tiga tim dikirimkan ke Bali untuk mengumpulkan informasi terutama mengenai kekuatan dan lokasi musuh, mencari tempat0tempat pendaratan yang aman. Dan mengusahakan dukungan masyarakat untuk menerima Pasukan M di daerahnya. Dua tim mengadakan penyelidikan di Bali Selatan, dan satu tim di Bali Utara. Seminggu kemudian, ketiga tim itu sudah kembali ke Banyuwangi. Mereka mengkonfirmasikan bahwa pada bulan Maret seluruh Bali sudah diduduki tentara Belanda.
    Laporan CIS itu dicocokan dengan laporan yang diperoleh TKR Laut Banyuwangi dari informan-informannya. Berdasarkan laporan-laporan tersebut, disusun rencana operasi pendaratan: Waroka ke utara, Markadi ke selatan. Kemudian ditetapkan waktu dan tempat pemberangkatan. BAGI pasukan M tanggal pemberangkatan ditetapkan tanggal 3 April 1946 pada malam hari. Tempat pendaratan ditetapkan di pantai Bali Barat antara Cupel dan Candikesuma. Sesudah mendarat, seluruh pasukan menuju titik temu di desa Peh, di sebelah utara Jembrana
    Sementaraitu, sarana pendaratan berupa sejumlah jukung dan perahu mayang milik nelayan-nelayan di Muncar (sebelah selatan Banyuwangi) dipersiapkan. Juga bekal bagi pasukan pendarat, berupa kue moci dan dendeng banteng, sudah siap pula. Semua persipakan ini dilakukan oleh TKR Laut Banyuwangi. Mereka juga menyediakan dua motorboat untuk menarik perahu-perahu mayang sampai ke ten gah Selat Bali. Jam pemberangkatan ditentukan oleh pasang-surut dan arus. Saat yang paling tepat untuk menyebrang ialah bila arus Selat Bali menuju selatan, ke Samudra Hindia. Sesudah dilepas oleh motorboat, perahu-perahu pendarta akan dapat memanfaatkan arus tersebut.

Pertempuran Laut Pertama dalam Sejarah RI

      Operasi pendartan Pasukan M ditetapkan tanggal 3 April 1946, hamper bersamaan dengan pemberangkatan Pasukan Waroka dan Pasukan Ngurah Rai. Maka tatkala malam tiba pada tanggal itu Pasukan M mulai bergerak.
     Untuk mengelabuhi mata-mata musuh yang diperkirakan masih gentatyangan (dah kek setan) di sekitar Banyuwangi itu, sebagian pasukan bergerak lewat pantai dan sebagian lagi lewat jalan besar sambil berpura-pura mengadakan latihan perang-perangan menuju tempat embarkasi di pelabuhan Banyuwangi, di mana telah menunggu ‘armada semut’ yang terdiri atas 13 jukung dan 3 perahu mayang yang relative besar.
     Segera sesudah air mulai pasang, pasukan diperintahkan naik perahu. Peleton Nurhadi naik jukung, sedangkan Peleton Muhadji, Peleton Mochtar dan Peleton Mangara Simamora masing-masing naik satu perahu mayang. Harisudah menjelang tengah malam tatkala armada semut itu mulai bergerak, jukung-jukung berlayar dengan kekuatan sendiri sedangkan ketiga perahu mayang itu ditarik motorboat Baluran dari TKR Laut Banyuwangi.
     Kira-kira pukul 23.00 motorbot penarik itu mengalami kerusakan mesin sehingga perahu-perahu mayang itu dilepas dan terpaksa melanjutkan pelayaran dengan kekuatan sendiri menuju lokasi pendaratan di sekitar Candikesuma. Jukung-jukung dan satu perahu mayang berhasil sampai lebih dahulu di pantai Bali dan mendratkan Peleton Nurhadi dan Peleton Mangara Simamora
     Dua perahu mayang lainnya, termasuk yang ditumpangi Kapten Markadi, masih terkatung-katung di tengah laut karena angin tiba-tiba mati. Para anggota pasukan berusaha sekuat tenaga untukmenjalankan perahu-perahu itu dengan mendayung, namun semuanya sia-sia karena derasnya arus Selat Bali . Cuaca yang semula cukup baik berubah menjadi buruk dan hujan pun turun.
     Fajar menyingsingh pada 4 April itu, jarum menunjukkan jam 6:00, dan pantai Bali sudah Nampak samar-samar bagi pasukan yang ada di kedua perahu mayang itu. Namun perahu-perahu tersebut seolah-olah enggan bergerak. Kedua perahu yang ditumpangi Peleton Mochtar dan Peleton Muhadji itu bergerak perlahan-han secara beriringan yang tidak terlalu jauh, dengan haluan mengarah ke timur. Hari semakin siang, sudah lewat jam 6:30.
     Tiba-tiba dari arah tenggara muncul kapal yang cukup besar dari balik kabut pagi, yang dengan kecepatan penuh menuju ke arah perahu-perahu Pasukan M sambil melepaskan tembakan-tembakan otomatis. Peluru berjatuhan di depan haluan perahu. Kapal itu adalah salah satu dari kapal-kapal patrol Belanda yang tatkala itu sering Nampak menyusuri lautan pantai Bali.
     Kapten Markadi selaku komandan operasi ada di perahu depan. Menyadari gawatnya situasi, ia segera memerintahkan pasukannya untuk membuka seragam dan menyembunyikannya bersama senjata di lantai perahu. Namun ia juga memerintahkan kepada pasukannya untuk mengambil posisi, dan siap menembak setiap saat.
     Kapal patrol Belanda sudah semakin dekat, dan sekonyong-konyong memutar dan dengan kecepatan penuh menabrak lambung kanan perahu Kapten Markadi dengan maksud menenggelamkannya. Ini dicoba beberapa kali, namun perahu itu tidak juga mau tenggelam. Maka komandan kapal itu bicara dengan Kapten Markadi yang mengaku dan menyaru sebagai nelayan. Komandan itu kemudian memerintahkan ‘nelayan’ Markadi untuk ‘kasih tali’ supaya perahunya bisa ditarik ke pangkalan. Kapten markadi berpura-pura mematuhi perintah itu, tetapi ia memutar-mutar gulungan tali di atas kepalanya untuk member waktu. Maksudnya ialah untuk member waktu kepada pasukan untuk mempersiapkan diri.
    Jarak perahu Kapten Markadi dengan kapal patrol Belanda sudah sangat dekat, bahkan percakapan di dalam kapal pun terdengar. Waktu itulah terdengar seorang Belanda berteriak. “God, ze hebben spuiten!” (Mereka punya bedil!). Jadi Belanda sudah tahu bahwa yang dihadapinya bukanlah nelayan melainkan pasukan bersenjata.
    Pada saat Kapten Markadi mendegar teriakan orang Belanda itu, ia serta-merta melemparkan tali sambil member komando: “Tembak!” Ia menjatuhkan diri ke kiri, terjun ke laut, untuk muncul sesaat kemudian di lambung kanan perahu.
    Terjadilah pertempuran hebat dengan tembakan-tembakan dari jarak dekat. Perahu menempel pada kapal patrol, dengan posisi yang sangat rendah dibandingkan dengan posisi kapal tersebut. Keadaan ini ternyata sangat menguntungkan Peleton Mochtar yang ada di dalam perahu itu. Kapal Belanda tidak dapat mengarahkan dengan tepat senapan mesin berat yuang dipasang di geladak depan karena mengalami sudut mati, dan hanya dapat menembak layar perahu saja. Sebaliknya Pasukan M dengan leluasa dapat menembak ke atas dan melemparkan granat-granat tangan, termasuk granat bakar, yang berjatuhan di geladak, juga di dekat senapan mesin
    Sementara pertempuran sedang ramai-ramainya, dari arah utara (Gilimanuk) datang kapal patroli Belanda  yang lain untuk membantu rekannya. Kapal patrol Belanda kedua ini dihadang oleh Peleton Muhadji yang ada di perahu lainnya dan yang dipersenjatai dengan senapan mesin caliber 12,7 . Tembakan-tembakan gencar dari peleton ini berhasil menahan kapal itu sehingga tidak masuk ke daerah pertempuran.
   Kapal patrol musuh yang ‘ditempeli’ perahu Kapten Markadi mulai terbakar dan berusaha menjauh, kemudian melarikan diri dengan diselimuti asap tebal. Kapal patrol lainnya tidak mampu bertahan lagi, dan cepat-cepat ikut lari ke utara dengan diiringi sorak-sorai Pasukan M. Sebelum mencapai Gilimanuk, kapal patrol yang pertama tadi terlihat tenggelam.
    Kapten Markadi segera memerintahkan kedua perahu untuk berputar haluan, kembali ke Banyuwangi, karena dapat diduga bahwa Belanda akan ‘mengamuk’ dan mendatangkan peswat-pesawatnya. Tidak ada angimbertiup, namun arus laut sangat deras. Perahu-perahu bocor karena dindingnya banyak berlubang terkena peluru. Lubang-lubang itu kemudian ditutup dengan kue moci (onde-onde Jepang sebesar kepalan tangan) yang dibawa pasukan sebagi bekal.
    Dengan mula-mula menghanyutkan diri ke selatan, perahu-perahu yang habis bertempur itu akhirnya selamat sampai di Banyuwangi, Malam harinya, Kapten Markadi beserta Peleton Mochtar dan Peleton Muhadji naik perahu lagi, dan kali ini berhasil mendarat di pantai Bali, yaitu di Klatakan, Melaya dan Candikesuma. Sesudah mendarat, pasukan langsung menyeberang jalan besar menuju ke desa Peh (Manistutu) sesuai dengan rencana, untuk mengadakan konsolidasi dan mengatur penggabungan dengan para pemuda dan rakyat pulai Bali yang sudah dihubungi dan dipersiapkan terlebih dahulu oleh Combat Intelligence Section.
    Demikianlah kisah pertempuran laut pertama dalam sejarah Republik Indonesia, yang terjadi pada tanggal 4 April 1946 di Selat Bali. Pertempuran itu berlangsung hanya singkat, kira-kira 15 menit, namun sudah cukup untuk berhasil mengalahkan musuh.
    Kerugian di pihak TKR Laut ialah dua orang gugur, yaitu Sumeh Darsono dan Sidik, yang kedua-keduanya tertyembak pada tembakan pertama. Prajurit lainnya, Tamali, luka-luka tertembus peluru di bahunya. Kerugian di pihak musuh ialah satu kapal patroli terkabar dan tampak tenggelam. Jurumudi dan penembak senapan mesin kena tembak.

Gerakan Pasukan M di Bali Barat

     Sebagaimana telah disepakati, desa Peh adalah titik-temu unit-unit Pasukan M yang mendarat pada waktu dan tempat yang berbeda-berbeda. Tempat-tempat pendaratan adalah Klatakan, Penginuman dan Candikesuma, dan baru tanggal 10 April seluruh Pasukan M dapat berkumpul di Peh. Semuanya ini dapat terlaksana berkat bantuan masyarakat Bali – terutama para pemudanya – yang menyambut Pasukan M dengan hangat dan member bantuan berupa informasi maupun suplai makanan.
    Tugas Pasukan M – seperti telah dinyatakan – adalah membantu perjuangan Resimen TKR Sunda Kecil dan membentuk basis perjuangan.
    Dalam kerangka mini diputuskan oleh Markadi bahwa Pasukan M harus mengadakan gerakan-gerakan di Bali Barat untuk mengacaukan pihak Belanda sehingga dengan demikian perhatian musuh lebih tertuju ke barat dan bukannya ke timur di mana Ngurah Rai sedang mendaratkan pasukan-pasukannya dan mengkonsolidasikannya di Munduk Malang (Tabanan).
    Selama enam hari pada bulan April itu Pasukan M langsung dipimpin Markadi dan mengadakan raids atau serangan-serangan mendadak terhadap tentara Belanda. Yang perlu dicatat adalah pencegatan-pencegatan di Banyubiru, jembatan Candikesuma dan Klatakan. Musuh kemudian bermaksud membalas dengan mengerahkan sekurang-kurangnya dua peleton. Mereka mengejar Markadi dan Pasukannya sampai ke pinggir hutan, dan baru kembali ke jalan raya kira-kira jam 22:00.
     Atas usul Lettu Gusti Ngurah Dwinda, Pas M dipindahkan dari desa Peh ke desa Gelar, berdasarkan pertimbangan bahwa Gelar lebih dekat dengan Negara dan dekat pula dengan  basis perjuangan pemuda Jembrana. Sesudah seluruh Pas M pindah ke Gelar, Markadi mulai melaksanakan strateginya, baik yang menyangkut penguasaan territorial maupun yang berkaitan dengan tugas tempur
    Dengan para pejuang di Jembrana diadakan pertemuan-pertemuan yang kemudian menghasilkan terbentuknya Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia Sunda Kecil (DPRI-SK) Jembrana yang dipimpin oleh Ida Bagus Doster sebagai ketua dibantu oleh Gusti Ngurah Djendra. Combat Intelligence Section (CIS) di bawah pimpinan Saestuhadi dan Drijopangarso ditugaskan untuk tetap di Gelar, dan bersama-sama dengan DPRI melaksanakan pembinaan territorial dan memelihara hubungan dengan basis di Jawa (Sukowidi). Sebagai basis perjuangan, Gelar kemudian dikenal dengan sebutan ‘Lembah Merdeka’
    Sementara itu telah datang di Gelar Sdr. Soegeng, Kepala Polisi (RI) Nunukan yang memberitahukan bahwa pasukan Ngurah Rai sedang bergerak kea rah Tabanan Barat. Ia minta agar Pas M segera bergerak ke timur dan bergabung
    Untuk dapat secara lebih efektif membantu Resimen Ngurah Rai, Markadi memutuskan untuk melaksanakan seleksi di antara 4 peleton yang ia bawa dari Jawa. Ia memilih 36 prajurit yang paling tangguh yang bersenjata lengkap sebagai Pas M Ekspedisi khusus untuk tugas tempur. Pasukan kecil ini akan dipimpin sendiri oleh Markadi dengan Gusti Ngurah Dwinda sebagai wakilnya. Mangara Simamora dengan sisa peletonnya diperintahkan untuk tetap di Gelar guna membantu CIS dalam pembinaan territorial, sedangkan dua peleton lainnya diperintahkan kembali ke Jawa untuk menerima persenjataan tambahan yang telah dijanjikan oleh Kolonel Munadji.
     Selesai pembagian tugas ini, diadakan upacara perpisahan bagi kawan-kawan seperjuangan yang akan meninggalkan basis Gelar dengan mengibarkan Sang Saka Merah-Putih diiringi tiupan Sangkakala. Pas M Ekspedisi serta-merta berangkat dari Gelar menuju kea rah timur.
     Beberapa hari kemudian Gelar diserbu musuh dari darat dan udara. Karena sebagian besar senjata laras panjang sudah dibawa ke timur, maka serbuan Belanda itu sulit dilawan. CIS mundur ke bukit-bukit sebelah utara, dan selanjutnya kembali ke Jawa melalui pantai utara Bali, sedangkan peleton Mangara  Simamora bergerak ke timur menyusul Markadi.


Ini untuk part 2 nya gimana kawan seru gak untuk part 3 nya harap sabar ya….. ^-^