Saturday, January 7, 2017

FLASHBACK DIKIT : PASUKAN M TKR LAUT BERMAIN DENGAN MAUT DEMI NUSA DAN BANGSA Part 5

Bab 3
Kisah Para Pelaku
                
          Dalam bab ini disajikan pengalaman-pengalaman para pelaku perjuangan di Pulau Bali dan Pulau Jawa. Mengingat ruang yang tersedia, sangat disayangkan bahwa tidak semua kisah yang dikirimkan dapat dimuat. Bahkan kisah yang dipilih pun tidak seluruhnya dapat diumat, dan hanya diambil episode-episode yang menarik dan dapat memberi ilustrasi betapa beratnya perjuangan waktu itu. Selanjutnya dimuat pula petikan kisah Pak Widja Kesuma yang antara lain menunjukkan betapa erat hubungan waktu itu antara para pemuda pejuang di Bali dengan pasukan-pasukan yang didaratkan dari Jawa.

1.Kisah Kandeg mengenai Pertempuran di Selat Bali

                Kurang-lebih pukul 7 agi motorbot Belanda semakin mendekati perahu kami dari arah kiri. Sebelum motorbot Belanda itu mendekat, pasukan sudah dipersiapkan, ada yang tiarap di dalam perahu, ada yang jongkok, ada yang menyamar sebagai nelayan. Tetapi senjata siap tembak.
                Dari jarak kurang-lebih 30-40 meter, tentara Belanda sudah berteriak-teriak dalam bahasa Belanda yang maksudnya agar tali perahu dilemparkan ke atas motorbotnya, dan perahu akan ditarik ke pelabuhan Gilimanuk.
                Kemudian Pak Markadi berdiri di ujung depan perahu sambil memegang tali perahu, lalu diputar-putarkan di atas kepala seakan-akan mau melemparkannya ke motorboat Belanda. Namun ini hanya permainan belaka agar tidak diketahui bahwa kami adalah tentara.
                Belanda tetap berteriak terus agar tali perahu cepat-cepat dilemparkan ke atas motorbot. Karena jarak terlalu dekat dan situasi tidak mungkin dihindarkan, maka Pak Markadi memberi aba-aba, “Siap… tembaaaaak!” Maka serentak tembakan salvo diarahkan ke motorbot Belanda. Terjadilah pertempuran sengit dalam jarak dekat. Belanda membalas dengan senapan mesin yang gencar sekali. Yang menjadi sasaran utama adalah perahu yang saya tumpangi.
                Di dalam pertempuran sengit waktu itu, saya masih sempat menyebut nama kedua orang tua saya, “Bapak, Ibu, minta doa rerstumu, hari ini habislah riwayatku di tengah laut ini.”
                Karena dekatnya jarak pertempuran, maka bermacam-macam granat yang ada dilemparkan ke atas motorbot Belanda, namun banyak yang tidak meledak. Maklum granat sisa-sisa Perang Dunia Kedua dan granat bikinan sendiri. Kurang-lebih seperempat jam pertempuran, motorbot Belanda itu melarikan diri ke arah pelabuhan Gilimanuk. Selang beberapa waktu kemudian terdengarlah ledakan dan asap mengepul dari arah motorbot Belanda yang melarikan diri tadi. Kemungkinan granat-granat yang dilemparkan tadi baru meledak setelah terjadi goncangan obak pada motorbot saat melarikan diri.
                Langkah Pak Markadi selanjutnya adalah memerintahkan agra perahu memutar haluan kembali ke Banyuwangi. Dalam perjalanan kembali semua anggota dan tukang perahu bekerja keras untuk menguras air laut yang ada di dalam perahu. Akibat terkena tembakan maka perahu bocor, dan tiang layar patah, sehingga si tukang perahu terpaksa mendayung dengan keras.
                Tuhan Yang Maha Essa melindungi kita semua. Sebagai bekal, setiap anggota pasukan diberi bekal sangu kue moci satu besek kecil yang berisikan empat biji. Kue tersebut terbuat dari beras ketan. Inilah satu-satunya bahan yang ada untuk menambal lubang-lubang dinding perahu yang bocor terkena tembakan.
                Maka kue moci pun ikut berjasa di dalam pertempuran membela kemerdekaan karena telah menyelamatkan anggota-anggota pasukan.

2.Kisah Tertangkapnya Sayin (anonim)

                Di desa Candikesuma patroli kita melihat sebuah truk tentara Nica Meluncur di jalan raya Negara-Melaya. Tidak dapat menguasai emosi semangat tempurnya, Reso melemparkan granat yang digenggamnya ke arah truk dan jatuhlah granat tersebut tepat di bak truk yang berisi beberapa orang serdadu Nica. Sayang seribu sayang, granat tidak meledak (granat buatan sendiri). Reaksi serdadu Nica mudah diterka, yaitu seketika menghambur-hamburkan peluru Sten dan Owengunnya ke Sayin cs. Seorang prajurit kita tewas. Sayin juga terkena peluru-peluru tetapi tidak dapat menembus badannya. Dia ditawan, sedangkan Reso dan seorang pemuda asal Melaya dapat lolos dan selamat.
                Sayin diikat tangannya, dipukuli bertubi-tubi memakai popor senapan, kemudian dibawa ke kota Negara. Di ota Negara Sayin diikat di belakang sebuah truk dan diseret melalui jalan-jalan di kota Negara. Serdadu-serdadu di ats truk berterikk terus-menerus, “Iniliah extremis pemuda Jawa!”
                Di muka pasar di kota Negara, truk dihentikan. Serdadu-serdadu Nica sambil memukuli Sayin terus-menerus berteriak, “Inilah extremis pemuda Jawa!”, yang kemudian disambut dengan berteriak pula oleh Sayin, “Saya prajurit RI yang membela kemerdekaan Indonesia.!”
                Sayin terus-menerus dipukuli dan akhirnya dibawa ke tangsi Nica di Negara. Keesokan harinya Sayin dengan tetap diborgol dikirim ke kota Denpasar, dan dimasukkan ke penjara Denpasar. Ia dimasukkan ke suatu sel besar yang dihuni oleh Mr. I Ketut Pudja (almarhum), gubernur RI untuk propinsi Sunda Kecil, bersama teman-teman pembela Negara RI.
                Sebagai akibat dari granatnya yang tidak mau meledak, hingga kini Reso agak terganggu jiwanya, sedangkan pada permulaan tahun 50-an, Sayin menyambung hidupnya dengan mencari nafkah sebagai tukang becak!.

3.Kisah Pertempuran di Gelar (anonim)

                Sekitar jam 10.00 siang diterima laporan dari petugas jaga pos bahwa tentara Nica bergerak menuju Gelar dari jurusan Palungan Batu, Batu agung. Kekuatan tentara Nica itu tidak diketahui dengan pasti. Tetapi jelas persenjataan mereka lengkap dan model mutakhir.
                Tidak lama kemudian tentara Nica itu telah menduduki daerah ketinggian di selatan ujung jalan Palungan Batu dan segera melakukan serangan yang ditujukan ke markas kami.
                Letnan Muhadji, setelah menerima laporan tersebut memerintahkan pasukan untuk menyongsong musuh dan mengambil stelling di ketinggian sebelah utara kelokan sungai yang mengalir ke barat.
                Tembakan-tembakan serangan tentara Nica dengan senjata berat dan montir menghujani markas. Pasukan kami juga membalas dengan tembakan senapan. Tembakan-tembakan terjadi sangat sengit. Bunyi tembakan senapan mesin diselingi bunyi mortar bergema di sekitar lembah dengan dahsyatnya. Namun jelas dapat dibedakan mana bunyi tembakan tentara Nica dan mana bunyi tembakan pasukan kita. Dilihat dari persenjataan yang kita miliki, jelas pertempuran ini tidak seimbang. Pertempuran tersebut berlangsung kurang-lebih dua jam. Kemudian tentara Nica mengundurkan diri kembali ke Negara.

4.Kisah Samuli mengenai Gugurnya Ngatmo

                Satu saat regu saya mendapat giliran jaga. Adalah giliran saya untuk menempati Pos I, sedangkan Ngatmo menempati Pos II dengan senjata Tommygun. Saya bersenjata karaben pendek Steyer. Baru 30 menit saya menempati pos, datanglah Ngatmo yang meminta tukar pos. Ia mengatakan bahwa menempati Pos II hatinya merasa tidak enak. Saya kabulkan permintaannya, dan saya pindah ke Pos II. Selang beberapa menit saya menempati Pos II, terdengar tembakan-tembakan gencar di Pos I. Selanjutnya terjadilah kontak senjata dengan patroli Gajah Merah di hutan Pulukan itu. Tentara Gajah Merah, sambil melepaskan tembakan-tembakan, melarikan diri ke arah kampung Jawa.
                Kerugian kita: Ngatmo gugur, kerugian musuh: tidak diketahui.
                Selesai penguburan jenazah Ngatmo, pasukan tetap mengadakan penjagaan dengan lebih berhati-hati.

5.Kisah Markadi dan Samekto tentang suatu ‘Keanehan’
a.Kisah Markadi

                Dalam serangan ke pos tentara Belanda di Pulukan tidak jatuh korban di pihak kita, walaupun saya nyaris tewas terkena granat. Proyektil itu dilemparkan ke arah musuh oleh salah seorang pemuda pejuang, tetapi tersangkut di cabang pohon tepat di depan saya. Walaupun granat itu meledak hanya kira-kira dua meter di depan saya, saya samasekali tidak terluka.
                Cerita lain mengenai keanehan seperti itu dialami oleh Supardan, anggota Pas M dari Probolinggo. Ia dan seorang pemuda dari Pulukan saya perintahkan untuk memutuskan jembatan Yeh Embang dengan ranjau. Maksud pemutusan jembatan itu adalah untuk menghambat lalu-lintas musuh dari Tabanan ke barat. Ranjau dipasang oleh Supardan dan dicoba untuk diledakkan. Ranjau tidak mau meledak. Segala upaya dilakukan oleh Supardan untuk meledakkannya. Akhirnya ia jengkel. Ranjau itu diinjak-injak sekuat tenaga, tetapi... tidak juga mau meledak. Seandainya meledak, misinya terlaksana, tetapi ia sendiri hancur-lebur!

b.Cerita Samekto

                Sekitar pertengahan bulan Juli 1946, pasukan kami berjalan dari Tegalcangkring pada malam hari dengan maksud menyeberang jalan besar esok harinya. Kami berjalan di pinggir hutan satu per satu. Sepanjang jalan, setiap seratus meter ada anjing menyalak. Tahu-tahu kira-kira jam 4.00 pagi, ketika bulan purnama sudah hampir di kaki langit, tepat di depan saya, tak lebih dari dua meter, meledak berondongan nyala api dahsyat. Saya menengok ke belakang, dan melihat Daud jatuh ke belakang. Baru saya sadar, api di depan saya itu tembakan bren atau watermantel. Mungkin karena sangat dekat, bunyi tembakan seakan-akan tidak terdengar. Langsung saya menyusup ke jurang sebelah kiri, dan selamat. Dini hari itu yang berjalan paling depan adalah (sesuai urutan) Syahdan, saya, Daud, Supono, K. Subagio. Hanya Daud yang gugur, Supono terluka jari tangan kanannya. Lain-lainnya selamat, tergores pun tidak. Suatu keanehan!

6.Kisah Bambang Sakri mengenai Pertempuran di Klatakan

                Penyergapan mendadak pagi itu membuat pasukan kehilangan konsentrasi, terkejut dan berlarian mencari perlindungan. Peluru berdesingan di atas kepala, dan sambil bertiarap saya mengamati arah asal tembakan. Dengan ditemukannya titik sasaran, saya membalas untuk mengimbangi tembakan. Pertempuran semakin seru, pagi itu dibisingkan bunyi peluru yang mencari mangsanya.
                Seorang teman yang sedang enak-enaknya bersandar di pohon menjadi sasaran peluru, dan seketika mengaduh-aduh kesakitan, kemudian gugur. Dari sektor utara dan selatan tembakan masih santer terdengar diselingi tembakan metraliyur dan tembakan otomatis dari stengun. Di sela-sela ramainya tembakan itu, Pak Sur dengan gagah berani memberi aba-aba: “Serbuuu..., serbuuu...!” Kemudian disusul teriakan serentak teman-teman: “Serbuuu..., serbuuu...!”
                Sebentar tembakan mereda. Dari dekat dengan jelas terdengar aba-aba: “Zeg jongens, allemaal achteruit!”
                Di depan terlihat jalan membentang, maka saya mendekati dengan merangkak sambil melihat ke kanan dan kiri. Satu per satu kami lari menyeberang. Di sebelah kanan terlihat jembatan kecil tidak dijaga. Penyeberangan dapat dilakukan dengan selamat sampai ke tempat yang strategis. Kami mengaso sambil menata pernapasan. Dari sektor selatan masih terdengar tembakan-tembakan yang jarang dari kedua pihak. Penyeberangan dapat sukses, lalu timbul pertanyaan: “Kemanakah sekarang tujuannya?”
                Pasukan sudah terpecah-pecah, terpisah dari induk pasukannya, masing-masing berinisiatif sendiri-sendiri. Salah satunya yang ditempuh adalah berjalan terus ke timur mencari pasukan Pak Markadi. Konon mereka ada di sekitar daerah Tabanan. Dengan berpedoman matahari dan bintang, siang-malam kami terus berjalan dengan lemah-lunglai tetapi semangat juang tetap menyala. Tidak seorang pun berkeluh-kesah walaupun perut keroncongan pagi dan sore. Dalam perjalanan di hutan itu, kami sering bertemu dengan teman-teman yang kondisi badannya sama.
                Kelompok makin membengkak, dan ini mendorong semangat untuk terus berjalan ke timur. Lasiman kambuh malarianya, dan tidak kuat meneruskan perjalanannya. Ia minta ditinggal dan dititipkan pada salah seorang penduduk di daerah Brambang. Menyusul Tugiman Memberitahu bahwa ia sakit perut, dan berjalan sambil memegangi perutnya. Mengingat posisi kami yang dikejar-kejar musuh, dan di jalan selalu dimata-matai, maka ia kami paksa untuk berjalan terus sekuatnya.

7.Kisah mengenai Pi’i (anonim)

                Pada pertempuran di daerah hutan Klatakan dekat Gilimanuk, dahi Pi’i terserempet peluru serdadu Nica, lawan kita. Ia terpisah dari pasukan induknya, dan pada suatu saat mencari minum di dekat daerah pertempuran. Ia menemukan suatu telaga, orang menyebutkan Penginuman.
                Sedang enak-enaknya meneguk air, tiba-tiba muncullah seorang serdadu Jepang yang diikuti dua orang serdadu Belanda. Sama-sama terperanjat, serdadu Jepang menghunus pedangnya dan diayunkan ke Pi’i yang menangkisnya dengan tangan kirinya. Seketika itu juga Pi’i menghantam serdadu Jepang tersebut dengan popor senapannya. Orang Jepang itu terjatuh dan dua serdadu Nica lari. Pi’i lari masuk hutan dengan luka parah karena ibu jari tangan kirinya hampir putus.
                Karena lukanya tersebut, dia kemudian pingsan. Entah berapa lama ia tergeletak. Pada suatu waktu ia terbangun, dan merasa badannya demam, sedangkan luka pada tangan kirinya dirasanyaa amat nyeri. Sambil dalam posisi tiduran, tangannya digerakkanya ke wajahnya dan dilihatnya bahwa tangannya tersebut penuh belatung. Tidak mampu berbuat apa-apa, dia tetap berbaring saja, serta melihat ke arah langit. Ia melihat seekor lutung (kera hitam) duduk di atas dahan beberapa meter di atasnya.
                Binatang tersebut sedang makan buah kepundung, semacam buah duku, sambil memperhatikan Pi’i. Pada suatu saat buah-buahan yang dipegang oleh binatang itu terjaatuh atau dijatuhkan di dekat Pi’i berbaring.
                Kejadian itu oleh Pi’i dianggap suatu hal yang kebetulan saja. Buah-buahannya itu diambilnya dan dimakannya. Binatang tadi terus memperhatikannya, dan pada suatu saat meloncat jauh, menghilang.
                Pi’i menghabiskan buah-buahan yang dilemparkan oleh lutung itu. Tidak terlalu lama kemudian binatang tersebut datang lagi di atas Pi’i sambil membawa buah-buahan seperti yang tadi. Buah-buahan itu dilemparkannya lagi, dan jatuh di dekat Pi’i. Kini Pi’i baru insyaf bahwa binatang itu memang sengaja memberikan buah-buahan kepadanya. Tidak lama kemudian lutung tersebut menghilang lagi, sekarang agak lama, tetapi ia kelihatan kembali membawa buah-buahan kepundung. Kini Pi’i yakin betul-betul bahwa binatang itu sengaja memberikan bahan makanan kepadanya. Lutung tersebut kemudian menghilang untuk tidak kembali lagi.
                Ketika kekuatan badan Pi’i sudah agak pulih kembali, ia berdiri dan berjalan mencari pemukiman di pinggir hutan. Pada suatu gubuk yang terletak di pinggir hutan ia menemukan api unggun. Tanpa pikir panjang dia memasukkan tangan kirinya yang luka ke dalam nyapa api tersebut. Seluruh belatung di lukanya mati terbakar. Bebaslah penderitaannya dari gangguan binatang-binatang kecil itu.


mohon bersabar,ini ujian wkwkwk wait for part 6 nya kawan

No comments:

Post a Comment