Tuesday, March 7, 2017

FLASHBACK DIKIT : PASUKAN M TKR LAUT BERMAIN DENGAN MAUT DEMI NUSA DAN BANGSA Part 7 THE END

Postscript

                Jumlah anggota Pasukan M/MGGSK yang diketahui telah gugur di Bali berjumlah 95 orang. Yang belum diketahui tentu masih ada walaupun jumlahnya tidak banyak.

                Jumlah yang tertawan musuh di Bali kurang-lebih sama dengan yang gugur. Mereka kebanyakan ditawan di tangsi Negara. Mula-mula mereka diberi status veroordeelden (V) atau ‘hukuman’, tetapi berkat upaya beberapa anggota CIS (Termasuk kakek eug juga yang karna bisa Bahasa Belanda wkwk) yang ikut tertawan, status itu diubah menjadi krijgsgevangenen (KG) atau ‘tawanan perang’.

                Pun anggota CIS itu berhasil menjaga semangat perjuangan semua tawanan, yang tentu tidak dikehendaki Belanda. Keadaan di tawanan kemudian sedemikian rupa sehingga Belanda merasa perlu memisahkan anggota-anggota CIS dari tawanan-tawanan lainnya. Mereka dipindahkan ke tangsi-tangsi Mengwi, Klungkung dan Karangasem.

                Dalam rangka pertukaran tawanan dengan Belanda (sesudah Perjanjian Renville), semua tawanan Pasukan M/MGGSK diangkut ke penjara Kalisosok, Surabaya, dan pada bulan November 1948 mereka dilepaskan di garis demarkasi Pakisaji di sebelah selatan Malang. Mereka selanjutnya kembali ke kesatuan-kesatuan mereka masing-masing untuk mengangkat senjata lagi bulan berikutnya dengan pecahnya Aksi Militer II (Agresi Militer Belanda ke 2) yang dilancarkan Belanda.

                Pada tahun 1985, tatkala semua anggota Pasukan M/MGGSK sudah pensiun, mulai diadakan reuni berkala para anggota tersebut. Dalam salah satu pertemuan diputuskan untuk membentuk yayasan yang bernama Yayasan Lembah Merdeka Sakti yang bertujuan utama melanjutkan perjuangan dengan mendidik generasi muda, dan selain itu juga bertujuan saling membantu demi kesejahteraan masing-masing anggota yang semuanya sudah menginjak usia senja.

                Juga diputuskan untuk membangun Monumen Operasi Lintas Laut Jawa-Bali di Cekik, Bali Barat, untuk menghormati dan memperingati kawan-kawan seperjuangan yang telah gugur dalam perjuangan menegakkan Republik Indonesia khususnya di Bali. Monumen itu juga berfungsi sebagai sarana pendidikan bagi generasi-generasi penerus sehingga mereka tidak lupa bahwa kemerdekaan yang kita nikmati sekarang ini adalah hasil darah dan doa pemuda Angkatan 95, dan bahwa merupakan kewajiban generasi muda sekarang dan hari depan untuk mewarisi semangat juang ini demi pembangunan nusa dan bangsa. Monumen ini juga berfungsi sebagai ‘titik-temu’ para anggota Pasukan M/MGGSK setahun sekali, yaitu setiap tanggal 4 April. Benar bahwa jumlah anggota-nya makin lama makin menyusut karena memang sudah waktunya satu demi satu dipanggil Sang Pencipta untuk menyusul teman-teman seperjuangan yang telah mendahului mereka.


                Monumen Operasi Lintas Laut Jawa-Bali ini diresmikan pada tanggal 4 April 1988 oleh Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Kasenda atas nama Panglima Angkatan Bersenjata.






























































Tuesday, February 21, 2017

hensek luar biasa

Sometimes....

H-7
Dipikiran gue hanyalah fokus fokus dan fokus karena Senin masih Ujian Praktek
H-6
Besok praktek lagi -_-
H-5
After Praktek eug sakit
H-4
cuma bisa istirahat dirumah meski dipulangin wkwk
H-3
ga tau kenapa udah males ngidol
H-2
dadakan simulasi UNBK lagi tapi TO dari Univ Gundar Beasiswa gitu
H-1
sama simulasi juga cuma udah prepare bakal besok
hari H
jam 00:01 WIB sudah prepare segala macem yang harus dibawa, ga lupa juga udah pangkas rambut biar gans saat ketemu osha oshi.

Pokoknya siap-siap otw Bimbel dulu dafi GO (Ganesha Operation) di sekolaan

Gue bangun jam 06:53 WIB dan otw sekolah jam 07:45 WIB. Parahnya sih otak udah fokus HS ae pelajaran Ekonomi dan MTK pun ga konsen.

Selesai lah bimbel gue jam 11:30 WIB dan segera ngejemput Rivaldi harusnya sih bareng cewe tapi gajadi

Dan kita otw venue jam 12:30 WIB dan nyampe venue jam 14:25 WIB diperjalanan sih udah macet banget dah gitu nyasar juga, pokoknya parah dah.

Pas nyampe sih gue dan Rivaldi segera nyisir rambut biar ganteng dan gak lupa snapgram/instagram stories dulu biar kekinian.

Ekspetasi sih pasti bagus cuma agak nge down karena naik eskalator ke venue itu bosenin ampe lantai 7 nya.

Rutinitas pas baru masuk gate entry pasti di cek tas nya ya gue udah prepare akan hal itu dan ga lama gue bertemu sahabat-sahabat lama dan sempet masuk untuk mengetahui ada apa saja di dalam.

Karena dirasa gue butuh udara segar segera lah gue bangun dari duduk gue (perasaan tadi belum bilang duduk dah wkwkwk) dan beranjak pergi ke luar untuk berfikir dan menulis ini story sebentar.

Tapi disaat keluar ada hal yang mengejutkan, karena Aurel mantan gue tiba-tiba ada dan dia kayak kaget tapi sombong ya biarkan lah toh lagi bicara mungkin ama temen ceweknya itu haha.

15.15 WIB rasanya masih terlalu sore untuk segera mengakhiri acara ini dan gue gabut gajelas dan lagi akhirnya masuk keluar dan lagi akan kata dan nya gue ketemu bocah Cilegon.

Sempet juga bertemu Fans jauh dari Bangil (Kabupaten Pasuruan) Jawa Timur. Berbincang-bincang seperti hal nya HS yang lalu-lalu dan target bertemu Fanbase Ngawi sama Pekanbaru cuma target utama ketemu Aurel lah wkwkwk

16:48 WIB sesi 6 sudah berakhir dan mau HS apa kgk nya masih labil, dan kayak biasanya karena pen gabut sendiri jadi si Rivaldi gue titip sama Fanbase Banten dan gue mulai ekpedisi lagi kegabutan gue.

Gue pun mulai mondar mandir ga karuan dari ketemu fanbase Ngawi ampe Cirebon bahkan Lampung juga pokoknya isinya muter-muter doang sampai jam 17:52 WIB ketemu Denika sama Boyol dan otw Warteg bawah.

Sampai di warteg guepun makan 2 porsi, mungkin efek bimbel Ekonomi sama MTK tadi pagi dan Macet nya hiruk pikuk kehidupan di Ibukota Jakarta.

Karena takut bakalan ga HS segera buru-buru lah keatas tapi apa daya takdir. Regis dah ditutup tapi malah ketemu Zipau sama Afif dan Nopal jadinya malah gakaruan ditambah harus jemput cewe dulu dibawah hadeh.....

Yaudah ketemu deh di Ichiban Kuningan Mall bkn Fx ya guys. Dan alhasil dapet sushi gratis. Ga lama abis itu otw dah venue untuk menikmati acara terakhir yak! Mini Concert guys...

hensek festival love trip bandung

perjalanan yg sangat menyiksa ~~~

FLASHBACK DIKIT : PASUKAN M TKR LAUT BERMAIN DENGAN MAUT DEMI NUSA DAN BANGSA Part 6

8.Kisah Widja Kesuma mengenai Pertempuran di Karanganyar dan Perjumpaannya dengan Pasukan M

a.                     Sore hari sewaktu akan meneruskan perjalanan menuju Munduk Malang datanglah laporan bahwa ada seregu patroli tentara Nica datang dan bermukim di sekolah desa Karanganyar. Pak Sugianyar segera mengirim regu penyelidikannya serta mengatur pasukannya untuk melakukan penyergapan. Sekitar jam 21:00 malam pasukan mulai memberondong sekolah tempat Nica itu tinggal.

Sesaat tidak terdengar tembakan balasan dari dalam sekolah, dan pasukan mulai merayap mendekati tempat tentara musuh itu. Letusan pertama dari pihak musuh mulai terdengar, dan terjadilah tembak-menembak sepanjang malam hingga jam 04:00 pagi. Sebuah lomp (jujur dah eug gatau maksudnya apaan wkwkwk) menyala di atas di belakang penempatan komando kami. Alam sekitarnya menjadi terang-benderang karena lomp tersebut. Pasukan kami, karena hari sudah menjelang pagi, perlahan-lahan mundur menuju ke utara ke arah Munduk Malang. Konsolidasi pasukan diadakan di desa Kesiut. Dari sini akhirnya kami menuju ke Munduk Malang. Pak Rai tampak sangat senang. Beliau datang menyalami saya sambil tersenyum dan berkata, “Mengasolah dengan tenang, Jok.”

b.                    Beberapa hari kemudian Pak Pancer dari Uma Seka yang ditugaskan sebagai pos tetap pemantau pendaratan TKR Laut di Jembrana datang melapor kepada Pak Rai, saya tidak tahu apa yang dilaporkan, tetapi Pak Rai mengatakan kepada saya sepasukan TKR Laut sudah berhasil lewat ke timur, dan dalam beberapa hari akan sampai di Munduk Malang.

Itu Benar semua, dan dua hari kemudian saya melihat pasukan Pak Markadi berbaris dalam syaf dua lewat di depan kubu kami, dan memberikan laporan kepada Pak Rai. Saya melihat dan kagum menyaksikan disiplin anak buah Pak Markadi itu. Sudah jelas mereka semua itu, yang juga terdiri dari beberapa orang putra Bali, melakukan perjuangan itu tanpa memperhitungkan untung-rugi bagi dirinya sendiri.

Mereka sepenuhnya dengan ikhlas mempertaruhkan nyawanya demi kemerdekaan tanah air dan bangsanya. Pakaian dinasnya adalah pakaian dinas angkatan laut biru tua berkerah lebar ke belakang dengan dua strip putih. Masing-masing memikul senapan. Ada dua orang memikul senapan mesin. Mereka semua bermukim di Munduk Malang dan tidak ada keluhan apa-apa baik mengenai akomodasi maupun makanannya. Situasi serupa ini menumbuhkan rasa kesatuan yang kompak, ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.

Selanjutnya dalam sejarah perjalanan pasukan Ngurah Rai dan Markadi menuju ke daerah timur, kesukaran makanan, kelaparan, pencegatan, penggrebekan dialami bersama-sama. Tidak terdengar suara iri hati, percekokan apalagi pertengkaran. Antara pasukan TKR Laut dengan pejuang Bali sudah terjalin satu ikatan persaudaraan yang kekal, lebih daripada saudara kandung sendiri.

9.Kisah Markadi Menyusup ke Pulau Jawa

                Sesudah beristirahat dua hari di Munduk Blatung, di mana saya bertemu dengan Mangara Simamora, Dugel Djoko  Imam Subekti, Marwoto dan Samekto, dan setelah menjelaskan misi kami, saya dan I Gusti Ngurah Mataram berangkat menuju ke desa Pulukan, Kabupaten Jembrana. Berkat petunjuk Kayadi, peuda Pulukan, kami sampai di desa itu larut malam, dan tidur di gubuk orang berkebun. Keeseokan harinya kami bertemu Pak Suratmin, pegawai Pekerjaan Umum yang berkerja pada pemerintahan Belanda hanya sebagai kedok agar dapat membantu para pejuang. Ia menasehatkan untuk tidak menghubungi siapapun tanpa perantaraannya. Ia mengatur seluruh perjalanan kami ke Negara. Di kota itu kami menginap di suatu rumah di Lolohan dan tidur di langit-langit. Selama dua hari kami di rumah itu tanpa berbicara dengan siapapun.

                Pada hari kedua, pada malam hari, datang dua orang pemuda, yaitu Nastra dan Jakfar. Mereka menjemput kami berdua, dan membawa kami ke suatu kebun yang kurang-lebih 4 km jauhnya dari desa Cupel. Hari berikutnya kami berempat tetap bersembunyi di kebun sambil menunggu Amin, pemuda kampung setempat yang ditugaskan oleh Jakfar untuk mencari sampan yang bisa dicuri. Waktu itu semua sampan telah dinaikkan ke darat dan diikat rantai oleh Belanda. Kami sangat gelisah, lebih-lebih karena tempat kami bersembunyi hanya beberapa kilometer saja dari pos Belanda. Sekitar pukul 7 malam, Amin datang dengan berita bahwa ada sebuah sampan yang tidak begitu jauh dari air dan dalam keadaan cukup baik, tetapi sangat dekat dengan pos polisi pemerintah Belanda.

                Kami segera membuat rencana untuk menyergap pos polisi itu, dan merampas sampan tersebut. Yang menjaga pos itu adalah seorang polisi (pribumi) yang bersenjata karaben dan seorang pembantunya yang bersenjata klewang. Waktu malam sudah agak larut, kami secara diam-diam menyusup ke pos polisi itu. Sergapan yang sangat mendadak dengan dua pistol membuat dua polisi itu sangat terkejut sehingga tidak memberi perlawanan samasekali. Karabennya saya rampas dan saya kosongkan pelurunya. Dengan kata-kata yang agak manis, saya minta kesadaran dua orang itu sebagai sesama bangsa Indonesia untuk membantu kami. Mereka segera ikut mengangkat sampan, yang sudah dilengkapi dengan tali-temali dan beberapa dayung, dari darat sampai ke air. Setelah sampai di air, karabennya saya buang ke tempat gelap, dan saya berpesan kepada dua polisi itu untuk tidak melapor ke pos tentara Belanda selama kira-kira dua jam. Tetapi belum sampai kami mendayung 300 meter, terdengar tembakan-tembakan dari pos polisi tadi. Sudah pasti dua orang polisi itu melapor ke pos Belanda di Cupel.

                Kira-kira satu jam sesudah tembakan-tembakan tadi, dari arah Cupel terlihat zoeklicht (lampu sorot besar) yang disorot-sorotkan ke laut. Tidak lama kemudian terdengar bunyi mesin kapal yang melaju cepat ke arah kami. Untung, laut sangat tinggi ombaknya sehingga ketika kapal melewati sampan kami, sampan kebetulan sedang ada di bagian gelombang yang rendah (lembah) sehingga kami tidak terlihat oleh musuh, dan selamat. Sesudah melawan gelombang yang ganas hampir semalam suntuk, tibalah kami sekitar jam 6 pagi di samping tanjung Sembulungan di hadapan desa Muncar. Namun hati masih was-was, jangan-jangan Banyuwangi sudah diduduki Belanda. Tidak lama kemudian kami berpapasan dengan beberapa perahu nelayan, dan dari mereka kami baru tahu bahwa Banyuwangi masih daerah RI.

                Surat-surat yang saya bawa untuk Pemerintah Pusat saya serahkan kepada Kolonel Munadji, Kolonel Sutopo dan Kolonel Suyono, sedangkan I Gusti Ngurah Mataram menyampaikan surat-surat yang dibawanya kepada Perwakilan Resimen Ngurah Rai di Banyuwangi.
                Tanggal pemberangkatan saya dari Bangli (Bali Timur) saya tidak ingat, tetapi setelah mendarat di Muncar saya baru tahu bahwa peringatan 17 Agustus 1946 berlangsung 10 hari yang lewat.

10.Kisah Mengenai supono (anonim)

                Dalam pencegatan dini hari oleh tentara Belanda di jalan setapak pinggir hutan sebelah barat Pulukan, Kabupaten Jembrana, jari tengah kanan Supono terkena peluru dan hampir putus. Yang terkena tepatnya adalah persendian kedua (di tengah-tengah jari), tetapi bagian jari yang hampir lepas itu masih menggantung di tangan karena masih ada sedikit tulang dan daging pada luka tersebut.

                Berhari-hari Supono harus membawa-serta jarinya yang hampir putus itu, dan harus menderita rasa nyeri yang luar-biasa. Karena sudah tidak tahan lagi, ia mengambil keputusan untuk memotong jarinya tersebut. Lagipula infeksi sudah mulai menyerang lukanya itu.
Gunting tua berkarat kemudian dapat dipinjam dari penduduk suatu kampung. Apa boleh buat, amputasi akan dilaksanakan dengan alat itu.

                Gunting diasah seperlunya, dibersihkan, lalu disterilkan dengan dibakar. Amputasi siap dilaksanakan. Dua orang teman menyekap badan Supono erat-erat, dua orang lainnya memegang tangannya erat-erat pula, sedangkan satu orang teamn lainnya bertugas sebagai ‘dokter bedah’ (atau ‘algojo’ karena tidak menggunakan anestesi). Krresss! Putuslah jari Supono. Dapat dibayangkan betapa sakitnya rasa yang harus diderita Supono. Ia langsung pingsan.

                Selesai amputasi itu, luka dibalut dengan kain seadanya, dan diberi obat tradisional berupa kunyit. Syukurlah tidak timbul infeksi, dan luka dapat sembuh dalam waktu tidak terlalu lama.
                Sekarang ini Supono adalah Mayor Purnawirawan TNI-AL.

11.Kisah Samekto tentang HUT RI yang Pertama 17 Agustus 1946

                Awal Agustus 1946, lepas tengah hari, satu pasukan berkekuatan setengah peleton (± 20 orang) di bawah pimpinan Dugel mencegat patroli Belanda di luar desa Penataran, sebelah barat laut Tabanan. Dua serdadu musuh yang tewas ditinggal di tempat, sedangkan yang sepuluh lainnya, termasuk kontrolir Tabanan, dibawa lari. Di pihak kita, dua pemuda cedera berat. Seorang di antaranya, Kurawa, dadanya tertembus peluru dan mengerang kesakitan sepanjang malam untuk akhirnya gugur pagi harinya.

                Tidak lama setelah kawan kita itu menutup mata untuk selamanya, terdengar raungan pesawat pemburu ‘cocor merah’ (Mustang), pertanda musuh datang menyerang. Pengawal-pengawal yang ditempatkan di sekitar desa tidak ada satu pun yang datang melapor, yang berarti mereka tidak sempat lagi, yang berarti pula bahwa musuh sudah dekat dan datang dari semua jurusan dalam jumlah besar. Pasukan kita yang sudah stelling siap melawan, tetapi terpaksa diperintahkan untuk masuk hutan, karena melawan berarti konyol. Belum sampai satu menit pasukan masuk hutan, terdengar serentetan tembakan. Kemudian diketahui bahwa musuh melakukan eksekusi terhadap Katibin dan Kardiono, anggota-anggota Pas M yang tersesat di sekitar desa.

                Karena gagal menemukan pasukan kita, musuh rupa-rupanya penasaran, dan berhari-hari terus mengubek-ubek daerah sekitaran Penataran dan Munduk Blatung. Sementara itu, hari sudah menjelang 17 Agustus. Pasukan mulai melakukan persiapan-persiapan untuk memperingati HUT pertama Republik Indonesia. Upacara diputuskan untuk dilakukan di tengah hutan mengingat gencarnya patroli Belanda. Maka dibuatlah ‘tiang bendera’, yaitu pohon kecil tegak lurus yang dihilangi dahan-dahan, ranting-ranting serta daun-daunnya, tanpa ditebang.
                Tanggal 17 Agustus 1946, pagi hari, seluruh pasukan yang berkekuatan satu peleton (± 40 orang), yang terdiri dari anggota-anggota TKR Laut dan sejumlah pemuda setempat, berbaris serapi-rapinya, menghadap tiiang bendera hidup tadi. ‘Serapi-rapinya’, yang berarti tidak rapi benar karena memang tidak mungkin berbaris rapi di sela-sela pepohonan hutan lebat. Pun seragam yang sudah kumal dan compang-camping tidak mungkin memberikan pemandangan yang rapi. Hutan masih basah karena hujan semalam, dan pagi itu masih mendung sehingga hutan yang selalu redup bertambah redup.

                Merah-putih dinaikkan dibarengi Indonesia Raya, yang dinyanyikan oleh anggota-anggota pasukan. Ketika mengheningkan cipta, dada terasa sesak. Yang dikenang adalah arwah para pahlawan, arwah teman-teman sendiri yang mati muda, yang gugur dalam beberapa bulan sejak mereka mendarat di Bali bulan April dan bulan Juli 1946. Nanti atau besok mungkin giliran mereka untuk menyusul kawan-kawan ke akhirat. Upacara tidak disudahi dengan pidato-pidato apapun karena tidak ada yang mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Dada terasa penuh, dan leher terasa tercekik, oleh luapan perasaan. Tetapi masing-masing sadar bahwa segala kesengsaraan yang dialami, dan segala pengorbanan yang telah dan akan diberikan dengan ikhlas, adalah demi kemerdekaan bangsa, demi tegaknya Republik Indonesia untuk selama-lamanya.

12.Kisah Tamsir mengenai Pertempuran Margarana

a              Nama saya Tamsir, anggota Pas M/TKR Laut yang ikut dalam Operasi Lintas Laut Banyuwangi-Bali pada bulan April 1946. Saya dan Bung Slamet (Jepang) sangat beruntung bisa selalu dekat mendampingi Komandan Pak Markadi dalam gerak kilat Pas M di seluruh Pulau Bali dengan rentetan pertempuran-pertempurannya yang dahsyat di Pulukan, Tabanan, Kintamani, Karangasem, Danau Batur, Tanah Aron-Gunung Agung, menyergap-disergap musuh, menyerang-diserang, menghadang-dihadang, bersama-sama dengan pasukan yang lebih besar dari tentara AD dan pemuda Bali, di bawah pimpinan Pak Ngurah Rai.

b             Beberapa hari berjalan, sampailah Pasukan M di tempat yang dituju, dan kami sempat diinspeksi oleh Bapak I Gusti Ngurah Rai. Pasukan kamu diperintahkan menempati sisi barat medan, karena bersenjata berat. Kami mulai mengatur posisi untuk siap menyongsong usuh. Selang beberapa hari, datanglah serbuan musuh yang amat besar jumlahnya, terdiri atas suku Ambon, Manado, Jawa dan Belanda sendiri, yang menghujani kami dengan mortir, senjata otomatis yang tak terkira dahsyatnya. Selama tiga hari dua malam kami bertempur, sedangkan pesawat meraung-raung rendah menghujani bom dan granat. Di waktu malam mereka menerangi medan dengan peluru-peluru lom. Belanda mengobral peluru luar biasa banyaknya yang belum pernah saya alami. Seperti biasa kami membidik musuh yang  terlihat baik-baik, dan banyaknya yang kami lihat bergelimpangan terkena tembakan pasukan kami.

                Dapat dibayangkan bahwa dari pihak pejuang pun banyak korbaan berjatuhan. Lama-lama saking asyiknya, baru saya sadari bahwa dari arah kawan-kawan lainnya di seluruh medan tembakan praktis terhenti. Tinggal kubu kami yang terus menembak dengan memilih sasaran yang tepat. Tembakan musuh seolah-olh dipusatkan ke pertahanan Pas M. Musuh berangsur mendekat dan tembakannya semakin gencar. Saya tetap membalas, sehingga akhirnya pada jam 13:30 Bung Slamet gugur terkena tembakan di kepalanyaa. Senapan mesin segera saya ambil alih, dan peluru yang tinggal 3 cm saja saya tembakkan sampai habis. Senapan mesin saya buang, dan bedil saya sendiri saya ambil. Peluru tinggal 17 butir.

                Saya tinggalkan kawan-kawan yang gugur, dan saya lari menuju arah selatan, dengan diikuti berondongan dari segala macam senjata musuh. Tetapi tidak seorang musuh pun yang mengejar saya. Dengan setengah berlari saya terus menuju selatan, saya tidak berjumpa kawan satu pun. Setelah hampir petang, sampailah saya di kampung kecil di lereng perbukitan yang menurut kata mereka masih termasuk kawasan Tabanan.

13.Kisah Soebagio mengenai Obe Nauf

                Berulang kali Pas M mengadakan serangan umum gabungan bersama dengan pasukan-pasukan lain di seputar Wlingi-Kesamben. Serangan umum itu biasanya dilakukan pada malam hari. Tujuannya ialah untuk menunjukkan kepada musuh bahwa tentara RI masih kuat dan juga agar musuh tidak pernah sempat istirahat.

                Pada salah satu penyerbuan ke Wlingi, satu regu Pas M berhasil menyusup sampai ke jembatan kereta api yang hanya beberapa meter jaraknya dari markas Belanda. Pratu Obe Nauf, anggota Pas M asal Timor, ada di bawah jembatan itu dan menembak seorang serdadu Belanda yang langsung jatuh di dekat Obe. Sayang, senjata serdadu itu tersangkut di atas sehingga Obe tidak dapat meraihnya. Daripada mundur dengan tangan hampa, Obe merampas jam tangan serdadu Belanda tersebut yang berkilauan karena radium.

14.Kisah Soebagio tentang Gugurnya Sersan Haniwan

                Pada bulan April 1949, pos Belanda di Talun, dekat Blitar, dikosongkan oleh Belanda. Kesempatan ini hendak digunakan oleh Pelda Suntoro untuk membongkar jembatan kereta api di dekat Talun dengan mengerahkan 80 rakyat. Pengawalan dilakukan oleh regu Haniwan yang bersenjatakan antara lain senapan mesin berat 12,7
                Rencana tersebut mulai dilaksanakan pada malam hari, tetapi tanpa diduga-duga terlihat gerakan kira-kira satu peleton tentara Belanda yang menuju ke jembatan yang akan dibongkar itu. Pasti rencana Letda Suntoro sudah bocor. Kalau tidak, tentu tentara Belanda tidak akan keluar malam hari. Ini belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Segera rakyat diperintahkan untuk bubar, dan Sersan Haniwan diperintahkan untuk mundur.

                Rupa-rupanya Haniwan tidak yakin, dan terus saja ia berjalan ke jembatan. Ia sudah kedahuluan musuh, tetapi ia tidak tahu. Kurang-lebih 50 meter dari jembatan, senapan mesin 12,7 diperintahkannya stelling di tepi jalan, sedangkan ia sendiri menuju ke jembatan dengan membawa lentera minyak tanah guna menyelidiki keadaan. Ia memergoki dua serdadu Belanda tiarap di dekatnya, dan serta-merta ia berteriak, “Tembak!” Terjadilah tembak-menembak seru. Dalam pertempuran itu Sersan Haniwan gugur, dan tiga anak-buahnya menderita luka-luka.

15.Kisah Soebagio mengenai Nasib Brencarrier Belanda

                Pada awal gencatan senjata tahun 1949, terjadi sengketa yang agak serius antara Pasukan TRIP dan tentara Belanda mengenai garis demarkasi. Masing-masing pihak menetapkan deadline dan saling memberi ultimatum.

                Pada malam deadline itu Pas M memprediksi bahwa pos Belanda di Siraman akan diperkuat untuk menghadapi kemungkinan diserang. Maka diputuskan untuk menyanggong (memasang binderlaag) di sebelah barat pos tersebut.

                Pada malam itu Lettu Soebagio dan Peltu Samekto, dengan dikawal Regu Suryadi, berangkat ke posisi yang akan dilalui konvoi Belanda. Mereka membawa satu trekbom karet high explosive (bahasa Jepangnya futong) lengkap dengan detonator dan kawat penariknya. Bom dipasang pada gorong-gorong suatu jembatan kecil.

                Pada kira-kira jm 03:00 dini hari terdengar bunyi kendaraan bermotor yang bergerak dari barat. Kendaraan tersebut adalah brencarrier (tank kecil yang dipersenjatai bren). Setelah dapat dipastikan bahwa brencarrier tersebut tepat ada di atas jembatan, bom ditarik dan terdengar ledakan dahsyat dengan disertai semburan api setinggi pohon kelapa. “Op een mijn gelopen!” (Kena ranjau!) begitu terdengar teriakan serdadu Belanda totok, diikuti tembakan senjata otomatis yang tersendat-sendat.







And naw the last part for the story of Pasukan M. Gimana kawan ? seru ga seru kita kudu tau sejarah negara kita apapun alasan lu juga dan masih ada satu part terakhir jadi tungguin yak

---Last PART 6---

Saturday, January 7, 2017

FLASHBACK DIKIT : PASUKAN M TKR LAUT BERMAIN DENGAN MAUT DEMI NUSA DAN BANGSA Part 5

Bab 3
Kisah Para Pelaku
                
          Dalam bab ini disajikan pengalaman-pengalaman para pelaku perjuangan di Pulau Bali dan Pulau Jawa. Mengingat ruang yang tersedia, sangat disayangkan bahwa tidak semua kisah yang dikirimkan dapat dimuat. Bahkan kisah yang dipilih pun tidak seluruhnya dapat diumat, dan hanya diambil episode-episode yang menarik dan dapat memberi ilustrasi betapa beratnya perjuangan waktu itu. Selanjutnya dimuat pula petikan kisah Pak Widja Kesuma yang antara lain menunjukkan betapa erat hubungan waktu itu antara para pemuda pejuang di Bali dengan pasukan-pasukan yang didaratkan dari Jawa.

1.Kisah Kandeg mengenai Pertempuran di Selat Bali

                Kurang-lebih pukul 7 agi motorbot Belanda semakin mendekati perahu kami dari arah kiri. Sebelum motorbot Belanda itu mendekat, pasukan sudah dipersiapkan, ada yang tiarap di dalam perahu, ada yang jongkok, ada yang menyamar sebagai nelayan. Tetapi senjata siap tembak.
                Dari jarak kurang-lebih 30-40 meter, tentara Belanda sudah berteriak-teriak dalam bahasa Belanda yang maksudnya agar tali perahu dilemparkan ke atas motorbotnya, dan perahu akan ditarik ke pelabuhan Gilimanuk.
                Kemudian Pak Markadi berdiri di ujung depan perahu sambil memegang tali perahu, lalu diputar-putarkan di atas kepala seakan-akan mau melemparkannya ke motorboat Belanda. Namun ini hanya permainan belaka agar tidak diketahui bahwa kami adalah tentara.
                Belanda tetap berteriak terus agar tali perahu cepat-cepat dilemparkan ke atas motorbot. Karena jarak terlalu dekat dan situasi tidak mungkin dihindarkan, maka Pak Markadi memberi aba-aba, “Siap… tembaaaaak!” Maka serentak tembakan salvo diarahkan ke motorbot Belanda. Terjadilah pertempuran sengit dalam jarak dekat. Belanda membalas dengan senapan mesin yang gencar sekali. Yang menjadi sasaran utama adalah perahu yang saya tumpangi.
                Di dalam pertempuran sengit waktu itu, saya masih sempat menyebut nama kedua orang tua saya, “Bapak, Ibu, minta doa rerstumu, hari ini habislah riwayatku di tengah laut ini.”
                Karena dekatnya jarak pertempuran, maka bermacam-macam granat yang ada dilemparkan ke atas motorbot Belanda, namun banyak yang tidak meledak. Maklum granat sisa-sisa Perang Dunia Kedua dan granat bikinan sendiri. Kurang-lebih seperempat jam pertempuran, motorbot Belanda itu melarikan diri ke arah pelabuhan Gilimanuk. Selang beberapa waktu kemudian terdengarlah ledakan dan asap mengepul dari arah motorbot Belanda yang melarikan diri tadi. Kemungkinan granat-granat yang dilemparkan tadi baru meledak setelah terjadi goncangan obak pada motorbot saat melarikan diri.
                Langkah Pak Markadi selanjutnya adalah memerintahkan agra perahu memutar haluan kembali ke Banyuwangi. Dalam perjalanan kembali semua anggota dan tukang perahu bekerja keras untuk menguras air laut yang ada di dalam perahu. Akibat terkena tembakan maka perahu bocor, dan tiang layar patah, sehingga si tukang perahu terpaksa mendayung dengan keras.
                Tuhan Yang Maha Essa melindungi kita semua. Sebagai bekal, setiap anggota pasukan diberi bekal sangu kue moci satu besek kecil yang berisikan empat biji. Kue tersebut terbuat dari beras ketan. Inilah satu-satunya bahan yang ada untuk menambal lubang-lubang dinding perahu yang bocor terkena tembakan.
                Maka kue moci pun ikut berjasa di dalam pertempuran membela kemerdekaan karena telah menyelamatkan anggota-anggota pasukan.

2.Kisah Tertangkapnya Sayin (anonim)

                Di desa Candikesuma patroli kita melihat sebuah truk tentara Nica Meluncur di jalan raya Negara-Melaya. Tidak dapat menguasai emosi semangat tempurnya, Reso melemparkan granat yang digenggamnya ke arah truk dan jatuhlah granat tersebut tepat di bak truk yang berisi beberapa orang serdadu Nica. Sayang seribu sayang, granat tidak meledak (granat buatan sendiri). Reaksi serdadu Nica mudah diterka, yaitu seketika menghambur-hamburkan peluru Sten dan Owengunnya ke Sayin cs. Seorang prajurit kita tewas. Sayin juga terkena peluru-peluru tetapi tidak dapat menembus badannya. Dia ditawan, sedangkan Reso dan seorang pemuda asal Melaya dapat lolos dan selamat.
                Sayin diikat tangannya, dipukuli bertubi-tubi memakai popor senapan, kemudian dibawa ke kota Negara. Di ota Negara Sayin diikat di belakang sebuah truk dan diseret melalui jalan-jalan di kota Negara. Serdadu-serdadu di ats truk berterikk terus-menerus, “Iniliah extremis pemuda Jawa!”
                Di muka pasar di kota Negara, truk dihentikan. Serdadu-serdadu Nica sambil memukuli Sayin terus-menerus berteriak, “Inilah extremis pemuda Jawa!”, yang kemudian disambut dengan berteriak pula oleh Sayin, “Saya prajurit RI yang membela kemerdekaan Indonesia.!”
                Sayin terus-menerus dipukuli dan akhirnya dibawa ke tangsi Nica di Negara. Keesokan harinya Sayin dengan tetap diborgol dikirim ke kota Denpasar, dan dimasukkan ke penjara Denpasar. Ia dimasukkan ke suatu sel besar yang dihuni oleh Mr. I Ketut Pudja (almarhum), gubernur RI untuk propinsi Sunda Kecil, bersama teman-teman pembela Negara RI.
                Sebagai akibat dari granatnya yang tidak mau meledak, hingga kini Reso agak terganggu jiwanya, sedangkan pada permulaan tahun 50-an, Sayin menyambung hidupnya dengan mencari nafkah sebagai tukang becak!.

3.Kisah Pertempuran di Gelar (anonim)

                Sekitar jam 10.00 siang diterima laporan dari petugas jaga pos bahwa tentara Nica bergerak menuju Gelar dari jurusan Palungan Batu, Batu agung. Kekuatan tentara Nica itu tidak diketahui dengan pasti. Tetapi jelas persenjataan mereka lengkap dan model mutakhir.
                Tidak lama kemudian tentara Nica itu telah menduduki daerah ketinggian di selatan ujung jalan Palungan Batu dan segera melakukan serangan yang ditujukan ke markas kami.
                Letnan Muhadji, setelah menerima laporan tersebut memerintahkan pasukan untuk menyongsong musuh dan mengambil stelling di ketinggian sebelah utara kelokan sungai yang mengalir ke barat.
                Tembakan-tembakan serangan tentara Nica dengan senjata berat dan montir menghujani markas. Pasukan kami juga membalas dengan tembakan senapan. Tembakan-tembakan terjadi sangat sengit. Bunyi tembakan senapan mesin diselingi bunyi mortar bergema di sekitar lembah dengan dahsyatnya. Namun jelas dapat dibedakan mana bunyi tembakan tentara Nica dan mana bunyi tembakan pasukan kita. Dilihat dari persenjataan yang kita miliki, jelas pertempuran ini tidak seimbang. Pertempuran tersebut berlangsung kurang-lebih dua jam. Kemudian tentara Nica mengundurkan diri kembali ke Negara.

4.Kisah Samuli mengenai Gugurnya Ngatmo

                Satu saat regu saya mendapat giliran jaga. Adalah giliran saya untuk menempati Pos I, sedangkan Ngatmo menempati Pos II dengan senjata Tommygun. Saya bersenjata karaben pendek Steyer. Baru 30 menit saya menempati pos, datanglah Ngatmo yang meminta tukar pos. Ia mengatakan bahwa menempati Pos II hatinya merasa tidak enak. Saya kabulkan permintaannya, dan saya pindah ke Pos II. Selang beberapa menit saya menempati Pos II, terdengar tembakan-tembakan gencar di Pos I. Selanjutnya terjadilah kontak senjata dengan patroli Gajah Merah di hutan Pulukan itu. Tentara Gajah Merah, sambil melepaskan tembakan-tembakan, melarikan diri ke arah kampung Jawa.
                Kerugian kita: Ngatmo gugur, kerugian musuh: tidak diketahui.
                Selesai penguburan jenazah Ngatmo, pasukan tetap mengadakan penjagaan dengan lebih berhati-hati.

5.Kisah Markadi dan Samekto tentang suatu ‘Keanehan’
a.Kisah Markadi

                Dalam serangan ke pos tentara Belanda di Pulukan tidak jatuh korban di pihak kita, walaupun saya nyaris tewas terkena granat. Proyektil itu dilemparkan ke arah musuh oleh salah seorang pemuda pejuang, tetapi tersangkut di cabang pohon tepat di depan saya. Walaupun granat itu meledak hanya kira-kira dua meter di depan saya, saya samasekali tidak terluka.
                Cerita lain mengenai keanehan seperti itu dialami oleh Supardan, anggota Pas M dari Probolinggo. Ia dan seorang pemuda dari Pulukan saya perintahkan untuk memutuskan jembatan Yeh Embang dengan ranjau. Maksud pemutusan jembatan itu adalah untuk menghambat lalu-lintas musuh dari Tabanan ke barat. Ranjau dipasang oleh Supardan dan dicoba untuk diledakkan. Ranjau tidak mau meledak. Segala upaya dilakukan oleh Supardan untuk meledakkannya. Akhirnya ia jengkel. Ranjau itu diinjak-injak sekuat tenaga, tetapi... tidak juga mau meledak. Seandainya meledak, misinya terlaksana, tetapi ia sendiri hancur-lebur!

b.Cerita Samekto

                Sekitar pertengahan bulan Juli 1946, pasukan kami berjalan dari Tegalcangkring pada malam hari dengan maksud menyeberang jalan besar esok harinya. Kami berjalan di pinggir hutan satu per satu. Sepanjang jalan, setiap seratus meter ada anjing menyalak. Tahu-tahu kira-kira jam 4.00 pagi, ketika bulan purnama sudah hampir di kaki langit, tepat di depan saya, tak lebih dari dua meter, meledak berondongan nyala api dahsyat. Saya menengok ke belakang, dan melihat Daud jatuh ke belakang. Baru saya sadar, api di depan saya itu tembakan bren atau watermantel. Mungkin karena sangat dekat, bunyi tembakan seakan-akan tidak terdengar. Langsung saya menyusup ke jurang sebelah kiri, dan selamat. Dini hari itu yang berjalan paling depan adalah (sesuai urutan) Syahdan, saya, Daud, Supono, K. Subagio. Hanya Daud yang gugur, Supono terluka jari tangan kanannya. Lain-lainnya selamat, tergores pun tidak. Suatu keanehan!

6.Kisah Bambang Sakri mengenai Pertempuran di Klatakan

                Penyergapan mendadak pagi itu membuat pasukan kehilangan konsentrasi, terkejut dan berlarian mencari perlindungan. Peluru berdesingan di atas kepala, dan sambil bertiarap saya mengamati arah asal tembakan. Dengan ditemukannya titik sasaran, saya membalas untuk mengimbangi tembakan. Pertempuran semakin seru, pagi itu dibisingkan bunyi peluru yang mencari mangsanya.
                Seorang teman yang sedang enak-enaknya bersandar di pohon menjadi sasaran peluru, dan seketika mengaduh-aduh kesakitan, kemudian gugur. Dari sektor utara dan selatan tembakan masih santer terdengar diselingi tembakan metraliyur dan tembakan otomatis dari stengun. Di sela-sela ramainya tembakan itu, Pak Sur dengan gagah berani memberi aba-aba: “Serbuuu..., serbuuu...!” Kemudian disusul teriakan serentak teman-teman: “Serbuuu..., serbuuu...!”
                Sebentar tembakan mereda. Dari dekat dengan jelas terdengar aba-aba: “Zeg jongens, allemaal achteruit!”
                Di depan terlihat jalan membentang, maka saya mendekati dengan merangkak sambil melihat ke kanan dan kiri. Satu per satu kami lari menyeberang. Di sebelah kanan terlihat jembatan kecil tidak dijaga. Penyeberangan dapat dilakukan dengan selamat sampai ke tempat yang strategis. Kami mengaso sambil menata pernapasan. Dari sektor selatan masih terdengar tembakan-tembakan yang jarang dari kedua pihak. Penyeberangan dapat sukses, lalu timbul pertanyaan: “Kemanakah sekarang tujuannya?”
                Pasukan sudah terpecah-pecah, terpisah dari induk pasukannya, masing-masing berinisiatif sendiri-sendiri. Salah satunya yang ditempuh adalah berjalan terus ke timur mencari pasukan Pak Markadi. Konon mereka ada di sekitar daerah Tabanan. Dengan berpedoman matahari dan bintang, siang-malam kami terus berjalan dengan lemah-lunglai tetapi semangat juang tetap menyala. Tidak seorang pun berkeluh-kesah walaupun perut keroncongan pagi dan sore. Dalam perjalanan di hutan itu, kami sering bertemu dengan teman-teman yang kondisi badannya sama.
                Kelompok makin membengkak, dan ini mendorong semangat untuk terus berjalan ke timur. Lasiman kambuh malarianya, dan tidak kuat meneruskan perjalanannya. Ia minta ditinggal dan dititipkan pada salah seorang penduduk di daerah Brambang. Menyusul Tugiman Memberitahu bahwa ia sakit perut, dan berjalan sambil memegangi perutnya. Mengingat posisi kami yang dikejar-kejar musuh, dan di jalan selalu dimata-matai, maka ia kami paksa untuk berjalan terus sekuatnya.

7.Kisah mengenai Pi’i (anonim)

                Pada pertempuran di daerah hutan Klatakan dekat Gilimanuk, dahi Pi’i terserempet peluru serdadu Nica, lawan kita. Ia terpisah dari pasukan induknya, dan pada suatu saat mencari minum di dekat daerah pertempuran. Ia menemukan suatu telaga, orang menyebutkan Penginuman.
                Sedang enak-enaknya meneguk air, tiba-tiba muncullah seorang serdadu Jepang yang diikuti dua orang serdadu Belanda. Sama-sama terperanjat, serdadu Jepang menghunus pedangnya dan diayunkan ke Pi’i yang menangkisnya dengan tangan kirinya. Seketika itu juga Pi’i menghantam serdadu Jepang tersebut dengan popor senapannya. Orang Jepang itu terjatuh dan dua serdadu Nica lari. Pi’i lari masuk hutan dengan luka parah karena ibu jari tangan kirinya hampir putus.
                Karena lukanya tersebut, dia kemudian pingsan. Entah berapa lama ia tergeletak. Pada suatu waktu ia terbangun, dan merasa badannya demam, sedangkan luka pada tangan kirinya dirasanyaa amat nyeri. Sambil dalam posisi tiduran, tangannya digerakkanya ke wajahnya dan dilihatnya bahwa tangannya tersebut penuh belatung. Tidak mampu berbuat apa-apa, dia tetap berbaring saja, serta melihat ke arah langit. Ia melihat seekor lutung (kera hitam) duduk di atas dahan beberapa meter di atasnya.
                Binatang tersebut sedang makan buah kepundung, semacam buah duku, sambil memperhatikan Pi’i. Pada suatu saat buah-buahan yang dipegang oleh binatang itu terjaatuh atau dijatuhkan di dekat Pi’i berbaring.
                Kejadian itu oleh Pi’i dianggap suatu hal yang kebetulan saja. Buah-buahannya itu diambilnya dan dimakannya. Binatang tadi terus memperhatikannya, dan pada suatu saat meloncat jauh, menghilang.
                Pi’i menghabiskan buah-buahan yang dilemparkan oleh lutung itu. Tidak terlalu lama kemudian binatang tersebut datang lagi di atas Pi’i sambil membawa buah-buahan seperti yang tadi. Buah-buahan itu dilemparkannya lagi, dan jatuh di dekat Pi’i. Kini Pi’i baru insyaf bahwa binatang itu memang sengaja memberikan buah-buahan kepadanya. Tidak lama kemudian lutung tersebut menghilang lagi, sekarang agak lama, tetapi ia kelihatan kembali membawa buah-buahan kepundung. Kini Pi’i yakin betul-betul bahwa binatang itu sengaja memberikan bahan makanan kepadanya. Lutung tersebut kemudian menghilang untuk tidak kembali lagi.
                Ketika kekuatan badan Pi’i sudah agak pulih kembali, ia berdiri dan berjalan mencari pemukiman di pinggir hutan. Pada suatu gubuk yang terletak di pinggir hutan ia menemukan api unggun. Tanpa pikir panjang dia memasukkan tangan kirinya yang luka ke dalam nyapa api tersebut. Seluruh belatung di lukanya mati terbakar. Bebaslah penderitaannya dari gangguan binatang-binatang kecil itu.


mohon bersabar,ini ujian wkwkwk wait for part 6 nya kawan