8.Kisah Widja Kesuma
mengenai Pertempuran di Karanganyar dan Perjumpaannya dengan Pasukan M
a.
Sore hari sewaktu akan meneruskan
perjalanan menuju Munduk Malang datanglah laporan bahwa ada seregu patroli
tentara Nica datang dan bermukim di sekolah desa Karanganyar. Pak Sugianyar
segera mengirim regu penyelidikannya serta mengatur pasukannya untuk melakukan
penyergapan. Sekitar jam 21:00 malam pasukan mulai memberondong sekolah tempat
Nica itu tinggal.
Sesaat tidak terdengar tembakan balasan dari dalam
sekolah, dan pasukan mulai merayap mendekati tempat tentara musuh itu. Letusan
pertama dari pihak musuh mulai terdengar, dan terjadilah tembak-menembak
sepanjang malam hingga jam 04:00 pagi. Sebuah lomp (jujur dah eug gatau
maksudnya apaan wkwkwk) menyala di atas di belakang penempatan komando kami.
Alam sekitarnya menjadi terang-benderang karena lomp tersebut. Pasukan kami,
karena hari sudah menjelang pagi, perlahan-lahan mundur menuju ke utara ke arah
Munduk Malang. Konsolidasi pasukan diadakan di desa Kesiut. Dari sini akhirnya
kami menuju ke Munduk Malang. Pak Rai tampak sangat senang. Beliau datang
menyalami saya sambil tersenyum dan berkata, “Mengasolah dengan tenang, Jok.”
b.
Beberapa hari kemudian Pak Pancer dari Uma
Seka yang ditugaskan sebagai pos tetap pemantau pendaratan TKR Laut di Jembrana
datang melapor kepada Pak Rai, saya tidak tahu apa yang dilaporkan, tetapi Pak
Rai mengatakan kepada saya sepasukan TKR Laut sudah berhasil lewat ke timur,
dan dalam beberapa hari akan sampai di Munduk Malang.
Itu Benar semua, dan dua hari
kemudian saya melihat pasukan Pak Markadi berbaris dalam syaf dua lewat di
depan kubu kami, dan memberikan laporan kepada Pak Rai. Saya melihat dan kagum
menyaksikan disiplin anak buah Pak Markadi itu. Sudah jelas mereka semua itu,
yang juga terdiri dari beberapa orang putra Bali, melakukan perjuangan itu
tanpa memperhitungkan untung-rugi bagi dirinya sendiri.
Mereka sepenuhnya dengan
ikhlas mempertaruhkan nyawanya demi kemerdekaan tanah air dan bangsanya.
Pakaian dinasnya adalah pakaian dinas angkatan laut biru tua berkerah lebar ke
belakang dengan dua strip putih. Masing-masing memikul senapan. Ada dua orang
memikul senapan mesin. Mereka semua bermukim di Munduk Malang dan tidak ada
keluhan apa-apa baik mengenai akomodasi maupun makanannya. Situasi serupa ini
menumbuhkan rasa kesatuan yang kompak, ringan sama dijinjing, berat sama
dipikul.
Selanjutnya dalam sejarah perjalanan
pasukan Ngurah Rai dan Markadi menuju ke daerah timur, kesukaran makanan,
kelaparan, pencegatan, penggrebekan dialami bersama-sama. Tidak terdengar suara
iri hati, percekokan apalagi pertengkaran. Antara pasukan TKR Laut dengan
pejuang Bali sudah terjalin satu ikatan persaudaraan yang kekal, lebih daripada
saudara kandung sendiri.
9.Kisah Markadi Menyusup ke
Pulau Jawa
Sesudah beristirahat dua hari di Munduk Blatung, di mana saya bertemu
dengan Mangara Simamora, Dugel Djoko
Imam Subekti, Marwoto dan Samekto, dan setelah menjelaskan misi kami,
saya dan I Gusti Ngurah Mataram berangkat menuju ke desa Pulukan, Kabupaten
Jembrana. Berkat petunjuk Kayadi, peuda Pulukan, kami sampai di desa itu larut
malam, dan tidur di gubuk orang berkebun. Keeseokan harinya kami bertemu Pak
Suratmin, pegawai Pekerjaan Umum yang berkerja pada pemerintahan Belanda hanya
sebagai kedok agar dapat membantu para pejuang. Ia menasehatkan untuk tidak
menghubungi siapapun tanpa perantaraannya. Ia mengatur seluruh perjalanan kami
ke Negara. Di kota itu kami menginap di suatu rumah di Lolohan dan tidur di
langit-langit. Selama dua hari kami di rumah itu tanpa berbicara dengan
siapapun.
Pada hari kedua, pada malam
hari, datang dua orang pemuda, yaitu Nastra dan Jakfar. Mereka menjemput kami
berdua, dan membawa kami ke suatu kebun yang kurang-lebih 4 km jauhnya dari
desa Cupel. Hari berikutnya kami berempat tetap bersembunyi di kebun sambil
menunggu Amin, pemuda kampung setempat yang ditugaskan oleh Jakfar untuk
mencari sampan yang bisa dicuri. Waktu itu semua sampan telah dinaikkan ke
darat dan diikat rantai oleh Belanda. Kami sangat gelisah, lebih-lebih karena
tempat kami bersembunyi hanya beberapa kilometer saja dari pos Belanda. Sekitar
pukul 7 malam, Amin datang dengan berita bahwa ada sebuah sampan yang tidak
begitu jauh dari air dan dalam keadaan cukup baik, tetapi sangat dekat dengan
pos polisi pemerintah Belanda.
Kami segera membuat rencana
untuk menyergap pos polisi itu, dan merampas sampan tersebut. Yang menjaga pos
itu adalah seorang polisi (pribumi) yang bersenjata karaben dan seorang
pembantunya yang bersenjata klewang. Waktu malam sudah agak larut, kami secara
diam-diam menyusup ke pos polisi itu. Sergapan yang sangat mendadak dengan dua
pistol membuat dua polisi itu sangat terkejut sehingga tidak memberi perlawanan
samasekali. Karabennya saya rampas dan saya kosongkan pelurunya. Dengan
kata-kata yang agak manis, saya minta kesadaran dua orang itu sebagai sesama
bangsa Indonesia untuk membantu kami. Mereka segera ikut mengangkat sampan,
yang sudah dilengkapi dengan tali-temali dan beberapa dayung, dari darat sampai
ke air. Setelah sampai di air, karabennya saya buang ke tempat gelap, dan saya
berpesan kepada dua polisi itu untuk tidak melapor ke pos tentara Belanda
selama kira-kira dua jam. Tetapi belum sampai kami mendayung 300 meter,
terdengar tembakan-tembakan dari pos polisi tadi. Sudah pasti dua orang polisi
itu melapor ke pos Belanda di Cupel.
Kira-kira satu jam sesudah
tembakan-tembakan tadi, dari arah Cupel terlihat zoeklicht (lampu sorot besar) yang disorot-sorotkan ke laut. Tidak
lama kemudian terdengar bunyi mesin kapal yang melaju cepat ke arah kami.
Untung, laut sangat tinggi ombaknya sehingga ketika kapal melewati sampan kami,
sampan kebetulan sedang ada di bagian gelombang yang rendah (lembah) sehingga
kami tidak terlihat oleh musuh, dan selamat. Sesudah melawan gelombang yang
ganas hampir semalam suntuk, tibalah kami sekitar jam 6 pagi di samping tanjung
Sembulungan di hadapan desa Muncar. Namun hati masih was-was, jangan-jangan
Banyuwangi sudah diduduki Belanda. Tidak lama kemudian kami berpapasan dengan
beberapa perahu nelayan, dan dari mereka kami baru tahu bahwa Banyuwangi masih
daerah RI.
Surat-surat yang saya bawa untuk
Pemerintah Pusat saya serahkan kepada Kolonel Munadji, Kolonel Sutopo dan
Kolonel Suyono, sedangkan I Gusti Ngurah Mataram menyampaikan surat-surat yang
dibawanya kepada Perwakilan Resimen Ngurah Rai di Banyuwangi.
Tanggal pemberangkatan saya dari
Bangli (Bali Timur) saya tidak ingat, tetapi setelah mendarat di Muncar saya
baru tahu bahwa peringatan 17 Agustus 1946 berlangsung 10 hari yang lewat.
10.Kisah Mengenai supono
(anonim)
Dalam pencegatan dini hari oleh tentara Belanda di jalan setapak pinggir
hutan sebelah barat Pulukan, Kabupaten Jembrana, jari tengah kanan Supono
terkena peluru dan hampir putus. Yang terkena tepatnya adalah persendian kedua
(di tengah-tengah jari), tetapi bagian jari yang hampir lepas itu masih
menggantung di tangan karena masih ada sedikit tulang dan daging pada luka
tersebut.
Berhari-hari Supono harus
membawa-serta jarinya yang hampir putus itu, dan harus menderita rasa nyeri
yang luar-biasa. Karena sudah tidak tahan lagi, ia mengambil keputusan untuk
memotong jarinya tersebut. Lagipula infeksi sudah mulai menyerang lukanya itu.
Gunting tua berkarat kemudian dapat dipinjam dari penduduk suatu kampung.
Apa boleh buat, amputasi akan dilaksanakan dengan alat itu.
Gunting diasah seperlunya,
dibersihkan, lalu disterilkan dengan dibakar. Amputasi siap dilaksanakan. Dua
orang teman menyekap badan Supono erat-erat, dua orang lainnya memegang
tangannya erat-erat pula, sedangkan satu orang teamn lainnya bertugas sebagai
‘dokter bedah’ (atau ‘algojo’ karena tidak menggunakan anestesi). Krresss!
Putuslah jari Supono. Dapat dibayangkan betapa sakitnya rasa yang harus
diderita Supono. Ia langsung pingsan.
Selesai amputasi itu, luka
dibalut dengan kain seadanya, dan diberi obat tradisional berupa kunyit.
Syukurlah tidak timbul infeksi, dan luka dapat sembuh dalam waktu tidak terlalu
lama.
Sekarang ini Supono adalah Mayor
Purnawirawan TNI-AL.
11.Kisah Samekto tentang HUT RI yang
Pertama 17 Agustus 1946
Awal Agustus 1946, lepas tengah
hari, satu pasukan berkekuatan setengah peleton (± 20 orang) di bawah pimpinan
Dugel mencegat patroli Belanda di luar desa Penataran, sebelah barat laut
Tabanan. Dua serdadu musuh yang tewas ditinggal di tempat, sedangkan yang
sepuluh lainnya, termasuk kontrolir Tabanan, dibawa lari. Di pihak kita, dua
pemuda cedera berat. Seorang di antaranya, Kurawa, dadanya tertembus peluru dan
mengerang kesakitan sepanjang malam untuk akhirnya gugur pagi harinya.
Tidak lama setelah kawan kita
itu menutup mata untuk selamanya, terdengar raungan pesawat pemburu ‘cocor
merah’ (Mustang), pertanda musuh datang menyerang. Pengawal-pengawal yang
ditempatkan di sekitar desa tidak ada satu pun yang datang melapor, yang
berarti mereka tidak sempat lagi, yang berarti pula bahwa musuh sudah dekat dan
datang dari semua jurusan dalam jumlah besar. Pasukan kita yang sudah stelling siap melawan, tetapi terpaksa
diperintahkan untuk masuk hutan, karena melawan berarti konyol. Belum sampai
satu menit pasukan masuk hutan, terdengar serentetan tembakan. Kemudian
diketahui bahwa musuh melakukan eksekusi terhadap Katibin dan Kardiono,
anggota-anggota Pas M yang tersesat di sekitar desa.
Karena gagal menemukan pasukan
kita, musuh rupa-rupanya penasaran, dan berhari-hari terus mengubek-ubek daerah
sekitaran Penataran dan Munduk Blatung. Sementara itu, hari sudah menjelang 17
Agustus. Pasukan mulai melakukan persiapan-persiapan untuk memperingati HUT
pertama Republik Indonesia. Upacara diputuskan untuk dilakukan di tengah hutan
mengingat gencarnya patroli Belanda. Maka dibuatlah ‘tiang bendera’, yaitu
pohon kecil tegak lurus yang dihilangi dahan-dahan, ranting-ranting serta
daun-daunnya, tanpa ditebang.
Tanggal 17 Agustus 1946, pagi
hari, seluruh pasukan yang berkekuatan satu peleton (± 40 orang), yang terdiri
dari anggota-anggota TKR Laut dan sejumlah pemuda setempat, berbaris
serapi-rapinya, menghadap tiiang bendera hidup tadi. ‘Serapi-rapinya’, yang
berarti tidak rapi benar karena memang tidak mungkin berbaris rapi di sela-sela
pepohonan hutan lebat. Pun seragam yang sudah kumal dan compang-camping tidak
mungkin memberikan pemandangan yang rapi. Hutan masih basah karena hujan
semalam, dan pagi itu masih mendung sehingga hutan yang selalu redup bertambah
redup.
Merah-putih dinaikkan dibarengi
Indonesia Raya, yang dinyanyikan oleh anggota-anggota pasukan. Ketika
mengheningkan cipta, dada terasa sesak. Yang dikenang adalah arwah para
pahlawan, arwah teman-teman sendiri yang mati muda, yang gugur dalam beberapa
bulan sejak mereka mendarat di Bali bulan April dan bulan Juli 1946. Nanti atau
besok mungkin giliran mereka untuk menyusul kawan-kawan ke akhirat. Upacara
tidak disudahi dengan pidato-pidato apapun karena tidak ada yang mampu
mengeluarkan sepatah kata pun. Dada terasa penuh, dan leher terasa tercekik,
oleh luapan perasaan. Tetapi masing-masing sadar bahwa segala kesengsaraan yang
dialami, dan segala pengorbanan yang telah dan akan diberikan dengan ikhlas,
adalah demi kemerdekaan bangsa, demi tegaknya Republik Indonesia untuk
selama-lamanya.
12.Kisah Tamsir mengenai
Pertempuran Margarana
a Nama saya Tamsir, anggota Pas
M/TKR Laut yang ikut dalam Operasi Lintas Laut Banyuwangi-Bali pada bulan April
1946. Saya dan Bung Slamet (Jepang) sangat beruntung bisa selalu dekat
mendampingi Komandan Pak Markadi dalam gerak kilat Pas M di seluruh Pulau Bali
dengan rentetan pertempuran-pertempurannya yang dahsyat di Pulukan, Tabanan,
Kintamani, Karangasem, Danau Batur, Tanah Aron-Gunung Agung, menyergap-disergap
musuh, menyerang-diserang, menghadang-dihadang, bersama-sama dengan pasukan
yang lebih besar dari tentara AD dan pemuda Bali, di bawah pimpinan Pak Ngurah
Rai.
b Beberapa hari berjalan, sampailah
Pasukan M di tempat yang dituju, dan kami sempat diinspeksi oleh Bapak I Gusti
Ngurah Rai. Pasukan kamu diperintahkan menempati sisi barat medan, karena
bersenjata berat. Kami mulai mengatur posisi untuk siap menyongsong usuh.
Selang beberapa hari, datanglah serbuan musuh yang amat besar jumlahnya,
terdiri atas suku Ambon, Manado, Jawa dan Belanda sendiri, yang menghujani kami
dengan mortir, senjata otomatis yang tak terkira dahsyatnya. Selama tiga hari
dua malam kami bertempur, sedangkan pesawat meraung-raung rendah menghujani bom
dan granat. Di waktu malam mereka menerangi medan dengan peluru-peluru lom.
Belanda mengobral peluru luar biasa banyaknya yang belum pernah saya alami.
Seperti biasa kami membidik musuh yang
terlihat baik-baik, dan banyaknya yang kami lihat bergelimpangan terkena
tembakan pasukan kami.
Dapat dibayangkan bahwa dari
pihak pejuang pun banyak korbaan berjatuhan. Lama-lama saking asyiknya, baru
saya sadari bahwa dari arah kawan-kawan lainnya di seluruh medan tembakan
praktis terhenti. Tinggal kubu kami yang terus menembak dengan memilih sasaran
yang tepat. Tembakan musuh seolah-olh dipusatkan ke pertahanan Pas M. Musuh
berangsur mendekat dan tembakannya semakin gencar. Saya tetap membalas,
sehingga akhirnya pada jam 13:30 Bung Slamet gugur terkena tembakan di
kepalanyaa. Senapan mesin segera saya ambil alih, dan peluru yang tinggal 3 cm
saja saya tembakkan sampai habis. Senapan mesin saya buang, dan bedil saya
sendiri saya ambil. Peluru tinggal 17 butir.
Saya tinggalkan kawan-kawan yang
gugur, dan saya lari menuju arah selatan, dengan diikuti berondongan dari
segala macam senjata musuh. Tetapi tidak seorang musuh pun yang mengejar saya.
Dengan setengah berlari saya terus menuju selatan, saya tidak berjumpa kawan
satu pun. Setelah hampir petang, sampailah saya di kampung kecil di lereng
perbukitan yang menurut kata mereka masih termasuk kawasan Tabanan.
13.Kisah Soebagio mengenai
Obe Nauf
Berulang kali Pas M mengadakan serangan umum gabungan bersama dengan
pasukan-pasukan lain di seputar Wlingi-Kesamben. Serangan umum itu biasanya
dilakukan pada malam hari. Tujuannya ialah untuk menunjukkan kepada musuh bahwa
tentara RI masih kuat dan juga agar musuh tidak pernah sempat istirahat.
Pada salah satu penyerbuan ke
Wlingi, satu regu Pas M berhasil menyusup sampai ke jembatan kereta api yang
hanya beberapa meter jaraknya dari markas Belanda. Pratu Obe Nauf, anggota Pas
M asal Timor, ada di bawah jembatan itu dan menembak seorang serdadu Belanda
yang langsung jatuh di dekat Obe. Sayang, senjata serdadu itu tersangkut di
atas sehingga Obe tidak dapat meraihnya. Daripada mundur dengan tangan hampa,
Obe merampas jam tangan serdadu Belanda tersebut yang berkilauan karena radium.
14.Kisah Soebagio tentang
Gugurnya Sersan Haniwan
Pada bulan April 1949, pos
Belanda di Talun, dekat Blitar, dikosongkan oleh Belanda. Kesempatan ini hendak
digunakan oleh Pelda Suntoro untuk membongkar jembatan kereta api di dekat
Talun dengan mengerahkan 80 rakyat. Pengawalan dilakukan oleh regu Haniwan yang
bersenjatakan antara lain senapan mesin berat 12,7
Rencana tersebut mulai
dilaksanakan pada malam hari, tetapi tanpa diduga-duga terlihat gerakan
kira-kira satu peleton tentara Belanda yang menuju ke jembatan yang akan
dibongkar itu. Pasti rencana Letda Suntoro sudah bocor. Kalau tidak, tentu
tentara Belanda tidak akan keluar malam hari. Ini belum pernah mereka lakukan
sebelumnya. Segera rakyat diperintahkan untuk bubar, dan Sersan Haniwan
diperintahkan untuk mundur.
Rupa-rupanya Haniwan tidak
yakin, dan terus saja ia berjalan ke jembatan. Ia sudah kedahuluan musuh,
tetapi ia tidak tahu. Kurang-lebih 50 meter dari jembatan, senapan mesin 12,7
diperintahkannya stelling di tepi
jalan, sedangkan ia sendiri menuju ke jembatan dengan membawa lentera minyak
tanah guna menyelidiki keadaan. Ia memergoki dua serdadu Belanda tiarap di
dekatnya, dan serta-merta ia berteriak, “Tembak!” Terjadilah tembak-menembak
seru. Dalam pertempuran itu Sersan Haniwan gugur, dan tiga anak-buahnya
menderita luka-luka.
15.Kisah Soebagio mengenai
Nasib Brencarrier Belanda
Pada awal gencatan senjata tahun 1949, terjadi sengketa yang agak serius
antara Pasukan TRIP dan tentara Belanda mengenai garis demarkasi. Masing-masing
pihak menetapkan deadline dan saling
memberi ultimatum.
Pada malam deadline itu Pas M memprediksi bahwa pos Belanda di Siraman akan
diperkuat untuk menghadapi kemungkinan diserang. Maka diputuskan untuk
menyanggong (memasang binderlaag) di
sebelah barat pos tersebut.
Pada malam itu Lettu Soebagio
dan Peltu Samekto, dengan dikawal Regu Suryadi, berangkat ke posisi yang akan
dilalui konvoi Belanda. Mereka membawa satu trekbom karet high explosive (bahasa Jepangnya futong) lengkap dengan detonator dan kawat penariknya. Bom dipasang
pada gorong-gorong suatu jembatan kecil.
Pada kira-kira jm 03:00 dini
hari terdengar bunyi kendaraan bermotor yang bergerak dari barat. Kendaraan
tersebut adalah brencarrier (tank
kecil yang dipersenjatai bren). Setelah dapat dipastikan bahwa brencarrier tersebut tepat ada di atas
jembatan, bom ditarik dan terdengar ledakan dahsyat dengan disertai semburan
api setinggi pohon kelapa. “Op een mijn gelopen!” (Kena ranjau!) begitu
terdengar teriakan serdadu Belanda totok, diikuti tembakan senjata otomatis yang
tersendat-sendat.
And naw the last
part for the story of Pasukan M. Gimana kawan ? seru ga seru kita kudu tau
sejarah negara kita apapun alasan lu juga dan masih ada satu part terakhir jadi
tungguin yak
---Last PART 6---