Bab 3
Kisah
Para Pelaku
Dalam bab
ini disajikan pengalaman-pengalaman para pelaku perjuangan di Pulau Bali dan
Pulau Jawa. Mengingat ruang yang
tersedia, sangat disayangkan bahwa tidak semua kisah yang dikirimkan dapat
dimuat. Bahkan kisah yang dipilih pun tidak seluruhnya dapat diumat, dan hanya
diambil episode-episode yang menarik dan dapat memberi ilustrasi betapa
beratnya perjuangan waktu itu. Selanjutnya dimuat pula petikan kisah Pak Widja
Kesuma yang antara lain menunjukkan betapa erat hubungan waktu itu antara para
pemuda pejuang di Bali dengan pasukan-pasukan yang didaratkan dari Jawa.
1.Kisah Kandeg mengenai
Pertempuran di Selat Bali
Kurang-lebih pukul 7 agi motorbot Belanda semakin mendekati perahu kami
dari arah kiri. Sebelum motorbot Belanda itu mendekat, pasukan sudah
dipersiapkan, ada yang tiarap di dalam perahu, ada yang jongkok, ada yang
menyamar sebagai nelayan. Tetapi senjata siap tembak.
Dari jarak kurang-lebih 30-40
meter, tentara Belanda sudah berteriak-teriak dalam bahasa Belanda yang
maksudnya agar tali perahu dilemparkan ke atas motorbotnya, dan perahu akan
ditarik ke pelabuhan Gilimanuk.
Kemudian Pak Markadi
berdiri di ujung depan perahu sambil memegang tali perahu, lalu diputar-putarkan
di atas kepala seakan-akan mau melemparkannya ke motorboat Belanda. Namun ini
hanya permainan belaka agar tidak diketahui bahwa kami adalah tentara.
Belanda
tetap berteriak terus agar tali perahu cepat-cepat dilemparkan ke atas
motorbot. Karena jarak terlalu dekat dan situasi tidak mungkin dihindarkan,
maka Pak Markadi memberi aba-aba, “Siap… tembaaaaak!” Maka serentak tembakan
salvo diarahkan ke motorbot Belanda. Terjadilah pertempuran sengit dalam jarak
dekat. Belanda membalas dengan senapan mesin yang gencar sekali. Yang menjadi
sasaran utama adalah perahu yang saya tumpangi.
Di
dalam pertempuran sengit waktu itu, saya masih sempat menyebut nama kedua orang
tua saya, “Bapak, Ibu, minta doa rerstumu, hari ini habislah riwayatku di
tengah laut ini.”
Karena
dekatnya jarak pertempuran, maka bermacam-macam granat yang ada dilemparkan ke
atas motorbot Belanda, namun banyak yang tidak meledak. Maklum granat sisa-sisa
Perang Dunia Kedua dan granat bikinan sendiri. Kurang-lebih seperempat jam
pertempuran, motorbot Belanda itu
melarikan diri ke arah pelabuhan Gilimanuk. Selang beberapa waktu kemudian
terdengarlah ledakan dan asap mengepul dari arah motorbot Belanda yang
melarikan diri tadi. Kemungkinan granat-granat yang dilemparkan tadi baru
meledak setelah terjadi goncangan obak pada motorbot saat melarikan diri.
Langkah Pak Markadi selanjutnya
adalah memerintahkan agra perahu memutar haluan kembali ke Banyuwangi. Dalam
perjalanan kembali semua anggota dan tukang perahu bekerja keras untuk menguras
air laut yang ada di dalam perahu. Akibat terkena tembakan maka perahu bocor,
dan tiang layar patah, sehingga si tukang perahu terpaksa mendayung dengan
keras.
Tuhan Yang Maha Essa melindungi
kita semua. Sebagai bekal, setiap anggota pasukan diberi bekal sangu kue moci satu besek kecil yang berisikan
empat biji. Kue tersebut terbuat dari beras ketan. Inilah satu-satunya bahan
yang ada untuk menambal lubang-lubang dinding perahu yang bocor terkena
tembakan.
Maka kue moci pun ikut berjasa
di dalam pertempuran membela kemerdekaan karena telah menyelamatkan
anggota-anggota pasukan.
2.Kisah Tertangkapnya Sayin
(anonim)
Di desa Candikesuma patroli kita melihat sebuah truk tentara Nica Meluncur
di jalan raya Negara-Melaya. Tidak dapat menguasai emosi semangat tempurnya,
Reso melemparkan granat yang digenggamnya ke arah truk dan jatuhlah granat
tersebut tepat di bak truk yang berisi beberapa orang serdadu Nica. Sayang
seribu sayang, granat tidak meledak (granat buatan sendiri). Reaksi serdadu
Nica mudah diterka, yaitu seketika menghambur-hamburkan peluru Sten dan
Owengunnya ke Sayin cs. Seorang prajurit kita tewas. Sayin juga terkena
peluru-peluru tetapi tidak dapat menembus badannya. Dia ditawan, sedangkan Reso
dan seorang pemuda asal Melaya dapat lolos dan selamat.
Sayin
diikat tangannya, dipukuli bertubi-tubi memakai popor senapan, kemudian dibawa
ke kota Negara. Di ota Negara Sayin diikat di belakang sebuah truk dan diseret
melalui jalan-jalan di kota Negara. Serdadu-serdadu di ats truk berterikk
terus-menerus, “Iniliah extremis pemuda Jawa!”
Di muka
pasar di kota Negara, truk dihentikan. Serdadu-serdadu Nica sambil memukuli
Sayin terus-menerus berteriak, “Inilah extremis pemuda Jawa!”, yang kemudian
disambut dengan berteriak pula oleh Sayin, “Saya prajurit RI yang membela
kemerdekaan Indonesia.!”
Sayin
terus-menerus dipukuli dan akhirnya dibawa ke tangsi Nica di Negara. Keesokan
harinya Sayin dengan tetap diborgol dikirim ke kota Denpasar, dan dimasukkan ke
penjara Denpasar. Ia dimasukkan ke suatu sel besar yang dihuni oleh Mr. I Ketut
Pudja (almarhum), gubernur RI untuk propinsi Sunda Kecil, bersama teman-teman
pembela Negara RI.
Sebagai
akibat dari granatnya yang tidak mau meledak, hingga kini Reso agak terganggu
jiwanya, sedangkan pada permulaan tahun 50-an, Sayin menyambung hidupnya dengan
mencari nafkah sebagai tukang becak!.
3.Kisah Pertempuran di Gelar (anonim)
Sekitar
jam 10.00 siang diterima laporan dari petugas jaga pos bahwa tentara Nica
bergerak menuju Gelar dari jurusan Palungan Batu, Batu agung. Kekuatan tentara
Nica itu tidak diketahui dengan pasti. Tetapi jelas persenjataan mereka lengkap
dan model mutakhir.
Tidak
lama kemudian tentara Nica itu telah menduduki daerah ketinggian di selatan
ujung jalan Palungan Batu dan segera melakukan serangan yang ditujukan ke
markas kami.
Letnan
Muhadji, setelah menerima laporan tersebut memerintahkan pasukan untuk
menyongsong musuh dan mengambil stelling di
ketinggian sebelah utara kelokan sungai yang mengalir ke barat.
Tembakan-tembakan
serangan tentara Nica dengan senjata berat dan montir menghujani markas.
Pasukan kami juga membalas dengan tembakan senapan. Tembakan-tembakan terjadi
sangat sengit. Bunyi tembakan senapan mesin diselingi bunyi mortar bergema di
sekitar lembah dengan dahsyatnya. Namun jelas dapat dibedakan mana bunyi
tembakan tentara Nica dan mana bunyi tembakan pasukan kita. Dilihat dari
persenjataan yang kita miliki, jelas pertempuran ini tidak seimbang.
Pertempuran tersebut berlangsung kurang-lebih dua jam. Kemudian tentara Nica
mengundurkan diri kembali ke Negara.
4.Kisah Samuli mengenai Gugurnya Ngatmo
Satu saat
regu saya mendapat giliran jaga. Adalah giliran saya untuk menempati Pos I,
sedangkan Ngatmo menempati Pos II dengan senjata Tommygun. Saya bersenjata
karaben pendek Steyer. Baru 30 menit saya menempati pos, datanglah Ngatmo yang
meminta tukar pos. Ia mengatakan bahwa menempati Pos II hatinya merasa tidak
enak. Saya kabulkan permintaannya, dan saya pindah ke Pos II. Selang beberapa
menit saya menempati Pos II, terdengar tembakan-tembakan gencar di Pos I.
Selanjutnya terjadilah kontak senjata dengan patroli Gajah Merah di hutan
Pulukan itu. Tentara Gajah Merah, sambil melepaskan tembakan-tembakan,
melarikan diri ke arah kampung Jawa.
Kerugian
kita: Ngatmo gugur, kerugian musuh: tidak diketahui.
Selesai
penguburan jenazah Ngatmo, pasukan tetap mengadakan penjagaan dengan lebih
berhati-hati.
5.Kisah Markadi dan Samekto tentang suatu ‘Keanehan’
a.Kisah Markadi
Dalam serangan ke pos tentara Belanda di
Pulukan tidak jatuh korban di pihak kita, walaupun saya nyaris tewas terkena
granat. Proyektil itu dilemparkan ke arah musuh oleh salah seorang pemuda
pejuang, tetapi tersangkut di cabang pohon tepat di depan saya. Walaupun granat
itu meledak hanya kira-kira dua meter di depan saya, saya samasekali tidak
terluka.
Cerita lain mengenai keanehan
seperti itu dialami oleh Supardan, anggota Pas M dari Probolinggo. Ia dan
seorang pemuda dari Pulukan saya perintahkan untuk memutuskan jembatan Yeh
Embang dengan ranjau. Maksud pemutusan jembatan itu adalah untuk menghambat
lalu-lintas musuh dari Tabanan ke barat. Ranjau dipasang oleh Supardan dan
dicoba untuk diledakkan. Ranjau tidak mau meledak. Segala upaya dilakukan oleh
Supardan untuk meledakkannya. Akhirnya ia jengkel. Ranjau itu diinjak-injak
sekuat tenaga, tetapi... tidak juga mau meledak. Seandainya meledak, misinya
terlaksana, tetapi ia sendiri hancur-lebur!
b.Cerita Samekto
Sekitar pertengahan bulan Juli 1946, pasukan kami berjalan dari
Tegalcangkring pada malam hari dengan maksud menyeberang jalan besar esok
harinya. Kami berjalan di pinggir hutan satu per satu. Sepanjang jalan, setiap
seratus meter ada anjing menyalak. Tahu-tahu kira-kira jam 4.00 pagi, ketika
bulan purnama sudah hampir di kaki langit, tepat di depan saya, tak lebih dari
dua meter, meledak berondongan nyala api dahsyat. Saya menengok ke belakang,
dan melihat Daud jatuh ke belakang. Baru saya sadar, api di depan saya itu
tembakan bren atau watermantel. Mungkin karena sangat dekat, bunyi tembakan
seakan-akan tidak terdengar. Langsung saya menyusup ke jurang sebelah kiri, dan
selamat. Dini hari itu yang berjalan paling depan adalah (sesuai urutan)
Syahdan, saya, Daud, Supono, K. Subagio. Hanya Daud yang gugur, Supono terluka
jari tangan kanannya. Lain-lainnya selamat, tergores pun tidak. Suatu keanehan!
6.Kisah Bambang Sakri
mengenai Pertempuran di Klatakan
Penyergapan mendadak pagi itu membuat pasukan kehilangan konsentrasi,
terkejut dan berlarian mencari perlindungan. Peluru berdesingan di atas kepala,
dan sambil bertiarap saya mengamati arah asal tembakan. Dengan ditemukannya
titik sasaran, saya membalas untuk mengimbangi tembakan. Pertempuran semakin
seru, pagi itu dibisingkan bunyi peluru yang mencari mangsanya.
Seorang teman yang sedang
enak-enaknya bersandar di pohon menjadi sasaran peluru, dan seketika
mengaduh-aduh kesakitan, kemudian gugur. Dari sektor utara dan selatan tembakan
masih santer terdengar diselingi tembakan metraliyur dan tembakan otomatis dari
stengun. Di sela-sela ramainya tembakan itu, Pak Sur dengan gagah berani
memberi aba-aba: “Serbuuu..., serbuuu...!” Kemudian disusul teriakan serentak
teman-teman: “Serbuuu..., serbuuu...!”
Sebentar tembakan mereda. Dari
dekat dengan jelas terdengar aba-aba: “Zeg jongens, allemaal achteruit!”
Di depan terlihat jalan
membentang, maka saya mendekati dengan merangkak sambil melihat ke kanan dan
kiri. Satu per satu kami lari menyeberang. Di sebelah kanan terlihat jembatan
kecil tidak dijaga. Penyeberangan dapat dilakukan dengan selamat sampai ke
tempat yang strategis. Kami mengaso sambil menata pernapasan. Dari sektor
selatan masih terdengar tembakan-tembakan yang jarang dari kedua pihak.
Penyeberangan dapat sukses, lalu timbul pertanyaan: “Kemanakah sekarang
tujuannya?”
Pasukan sudah terpecah-pecah,
terpisah dari induk pasukannya, masing-masing berinisiatif sendiri-sendiri.
Salah satunya yang ditempuh adalah berjalan terus ke timur mencari pasukan Pak
Markadi. Konon mereka ada di sekitar daerah Tabanan. Dengan berpedoman matahari
dan bintang, siang-malam kami terus berjalan dengan lemah-lunglai tetapi
semangat juang tetap menyala. Tidak seorang pun berkeluh-kesah walaupun perut
keroncongan pagi dan sore. Dalam perjalanan di hutan itu, kami sering bertemu
dengan teman-teman yang kondisi badannya sama.
Kelompok makin membengkak, dan
ini mendorong semangat untuk terus berjalan ke timur. Lasiman kambuh
malarianya, dan tidak kuat meneruskan perjalanannya. Ia minta ditinggal dan
dititipkan pada salah seorang penduduk di daerah Brambang. Menyusul Tugiman
Memberitahu bahwa ia sakit perut, dan berjalan sambil memegangi perutnya.
Mengingat posisi kami yang dikejar-kejar musuh, dan di jalan selalu
dimata-matai, maka ia kami paksa untuk berjalan terus sekuatnya.
7.Kisah mengenai Pi’i
(anonim)
Pada pertempuran di daerah hutan Klatakan dekat Gilimanuk, dahi Pi’i
terserempet peluru serdadu Nica, lawan kita. Ia terpisah dari pasukan induknya,
dan pada suatu saat mencari minum di dekat daerah pertempuran. Ia menemukan
suatu telaga, orang menyebutkan Penginuman.
Sedang enak-enaknya meneguk air,
tiba-tiba muncullah seorang serdadu Jepang yang diikuti dua orang serdadu
Belanda. Sama-sama terperanjat, serdadu Jepang menghunus pedangnya dan
diayunkan ke Pi’i yang menangkisnya dengan tangan kirinya. Seketika itu juga
Pi’i menghantam serdadu Jepang tersebut dengan popor senapannya. Orang Jepang
itu terjatuh dan dua serdadu Nica lari. Pi’i lari masuk hutan dengan luka parah
karena ibu jari tangan kirinya hampir putus.
Karena lukanya tersebut, dia
kemudian pingsan. Entah berapa lama ia tergeletak. Pada suatu waktu ia
terbangun, dan merasa badannya demam, sedangkan luka pada tangan kirinya dirasanyaa
amat nyeri. Sambil dalam posisi tiduran, tangannya digerakkanya ke wajahnya dan
dilihatnya bahwa tangannya tersebut penuh belatung. Tidak mampu berbuat
apa-apa, dia tetap berbaring saja, serta melihat ke arah langit. Ia melihat
seekor lutung (kera hitam) duduk di atas dahan beberapa meter di atasnya.
Binatang tersebut sedang makan
buah kepundung, semacam buah duku, sambil memperhatikan Pi’i. Pada suatu saat
buah-buahan yang dipegang oleh binatang itu terjaatuh atau dijatuhkan di dekat
Pi’i berbaring.
Kejadian itu oleh Pi’i dianggap
suatu hal yang kebetulan saja. Buah-buahannya itu diambilnya dan dimakannya.
Binatang tadi terus memperhatikannya, dan pada suatu saat meloncat jauh,
menghilang.
Pi’i menghabiskan buah-buahan
yang dilemparkan oleh lutung itu. Tidak terlalu lama kemudian binatang tersebut
datang lagi di atas Pi’i sambil membawa buah-buahan seperti yang tadi.
Buah-buahan itu dilemparkannya lagi, dan jatuh di dekat Pi’i. Kini Pi’i baru
insyaf bahwa binatang itu memang sengaja memberikan buah-buahan kepadanya.
Tidak lama kemudian lutung tersebut menghilang lagi, sekarang agak lama, tetapi
ia kelihatan kembali membawa buah-buahan kepundung. Kini Pi’i yakin betul-betul
bahwa binatang itu sengaja memberikan bahan makanan kepadanya. Lutung tersebut
kemudian menghilang untuk tidak kembali lagi.
Ketika kekuatan badan Pi’i sudah
agak pulih kembali, ia berdiri dan berjalan mencari pemukiman di pinggir hutan.
Pada suatu gubuk yang terletak di pinggir hutan ia menemukan api unggun. Tanpa
pikir panjang dia memasukkan tangan kirinya yang luka ke dalam nyapa api
tersebut. Seluruh belatung di lukanya mati terbakar. Bebaslah penderitaannya
dari gangguan binatang-binatang kecil itu.
mohon bersabar,ini ujian wkwkwk wait for part 6 nya kawan