Wednesday, May 13, 2015

FLASHBACK DIKIT : PASUKAN M TKR LAUT BERMAIN DENGAN MAUT DEMI NUSA DAN BANGSA Part 1

KATA PENGANTAR

Buku ini adalah suatu upaya untuk melaporkan kepada bangsa apa yang telah dilakukan oleh sekolompok pemuda pada masa Revolusi Fisik untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Kelompok pemuda itu tak gentar menghadapi lawan, bahkan maut, dan bersedia menahan penderitaan seberat apapun, demi tercapainya misi mereka. Untuk memberi gambaran yang lebih realistis, dalam buku ini juga dimuat pengalaman individual sehumlah anggota kelompok tersebut
Maka setelah membaca buku ini, kita diingatkan betapa berat perjuangan yang harus dilakukan untuk membuat nyata slogan 'Sekali Merdeka, Tetap Merdeka!', sehingga kita tidak akan mudah melakukan tindakan-tindakan yang dapat dianggap tidak menghargai, bahkan mengkhianati, pengorbanan para pejuang kemerdekaan.

Dengan menundukkan kepala, marilah kita panjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar arwah para pejyang yang gugur diterima di sisiNya.

Jakarta, 4 April 2001

Tim Penyusun

Samekto

H. Abdul Madjid

KATA SAMBUTAN

Pasukan M TKR Laut, yang saya pimpin selama Revolusi Fisik, telah terlibat dalam pertempuran-pertempuran dengan pihak lawan di berbagai medan, dari pertempuran laut di Selat Bali, sampai pertempuran dahsyat di lereng Gunung Agung, Bali. Di Jawa pasukan juga terlibat dalam pertempuran-pertempuran yang tidak kalah dahsyatnya, terutama di sekitar Gunung Kawi.
Saya bangga dapat memimpin teman-teman seperjuangan yang dengan ikhlas, rela dan sadar siap mengorbankan jiwa dan raga demi kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasukan M telah bubar pada tahun 1951, namun jiwa korps pasukan masih tetap hidup dan terpelihara hingga saat ini. Tetapi jumlah ex anggota Pasukan M terus menyusut karena perjuangan dan proses alami. Jumlahnya sekarang tidak lebih dari beberapa puluh orang, dan usianya rata-rata sudah tiga-perempat abad. Maka sebelum seluruh ex anggota Pasukan M 'Punah', ditulislah buku ini untuk diwariskan kepada generasi-generasi yang akan datang.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan perlindungan dan rahmatNya kepada Tanah Air dan Bangsa kita.

Sekali Merdeka, Tetap Merdeka!

Jakarta, 4 April 2001

Komandan Pasukan M TKR Laut

Markadi

BAB 1
Pasukan M dan Perjuangan di Bali

Awal mula Pasukan M

           Spontanitas kaum muda untuk mempertahankan kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 terungkap dengan berbagai cara, bentuk dan corak dari Badan Keamanan Rakyat sampai berbagai macam badan perjuangan.  Salah satu dari sekian banyak kelompok pemuda pejuang itu kemudian menjelma menjadi Pasukan M yang merupakan unsur tempur mobil Tentara Kemanan Rakyat (TKR) Laut Republik Indonesia.
            Pada bulan Oktober 1945 di suatu rumah di Jalan Ijen, Malang, berkumpul sekelompok pemuda yang berjumlah kurang-lebih 10 orang. Mereka berkumpul di rumah itu setiap kali mereka kembali dari front untuk merencanakan siasat perjuangan selanjutnya. Pemuda-pemuda itu berumur belasan tahun, dan hampir semuanya masih berstatus pelajar sekolah menengah atas (SMA vroh). Pemimpin mereka adalah Markadi, yang waktu itu masih berumur 19 tahun, yang telah mengikuti berbagai latihan militer dan politik di zaman Jepang. Wakilnya adalah Saestuhadi, yang juga berumur 19 tahun, pelajar Sekolah Pertanian Menengah Tinggi (sekarang disebut SPMA).
         Kelompok pemuda pejuang itu resminya adalah Polisi Tentara Laut, Resimen 2, TKR Laut, Malang, dan markas mereka di Jalan Ijen itu dikenal dengan sebutan Markas 2. Setelah jumlah anggotanya bertambah, satuan Polisi Tentara Laut tersebut lebih dikenal sebagai Pasukan M disingkat Pas M (M adalah Markadi, komandannya).

Awal Keterlibatan Pasukan M dalam Perjuangan di Bali

         Dalam Perang Dunia II, Bali dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang (Kaigun). Jadi Bali berbeda dengan Jawa yang waktu itu di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang (Rikugun).
          Segera sesudah Proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, di Bali dibentuk BKR yang kemudian menjadi TKR Resimen Sunda Kecil di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai. Berbeda pula dengan di Jawa, Kaigun di Bali tidak bersedia menyerahkan senjata-senjata mereka kepada para pejuang,  bahkan mereka tampak mencurigai, kalau bukan memusuhi,  para pejuang itu.
        Melihat keadaan di atas, Markas Besar TKR Laut yang berkedudukan di Lawang dan Yogya, tidak dapat tinggal diam,  dan berupaya menyelesaikan masalah Kaigun di Bali itu. Maka pada bulan November 1945 dibentuklah Satuan Tugas Kecil yang terdiri dari Kolonel (AL) Prabowo, Kolonel (AL) Munadji dan Kapten (AL) Markadi yang, sebagaimana kita ketahui,  adalah komandan Markas II di Malang. Sejak saat itulah pasukan yang dipimpin Markadi terlibat secara langsung dengan perjuangan menegakkan Republik Indonesia di Pulau Bali.
       Satgas itu mendapat tugas pokok berunding dengan Kaigun di Bali tentang penyerahan senjata mereka kepada RI. Tugas ini sesungguhnya adalah prakarsa Prabowo dan Munadji, dengan didampingi Tomegoro Yoshizumi (kemudian bernama Arief), perwira tinggi Kaigun yang menjabat sebagai kepala Daisanka atau bagian kontra-spionase,  menemui Laksamana Muda T. Maeda, kepala perwakilan Kaigun di Jakarta.  Pertemuan itu menetapkan bahwa Kaigun tidak akan menghalang-halangin gerakan pemuda,  walaupun Angkatan Perang Jepang terikat dengan ketentuan status quo yang diwajibkan oleh sekutu.
        Kemudian Prabowo kembali ke Surabaya untuk menemui Laksamana Muda Shibata Yaichiro, Panglima Kaigun Armada Selatan Kedua. Dalam pembicaraan itu Prabowo  menyampaikan hasil pembicaraannya dengan Maeda di Jakarta.  Karena Bali merupakan daerah Kaigun yang ada di bawah Shibata, maka Prabowo minta agar kekuasaan Kaigun di bali beserta semua senjatanya diserahkan kepada pemuda. Shibata berjanji untuk membantu gerakan pemuda,  dan menunjuk dua orang Jepang, yaitu Letkol Kashioki Mike, anggota intel Kaigun, dan Haneda, untuk mewakilinya dalam Satgas Prabowo.
       Pelaksanaan tugas Satgas Prabowo itu terbagi dalam dua tahap.  Pada tahap pertama yang berangkat ke Bali adalah Prabowo, Munadji, Mike dan Haneda. Tahap pertama ini gagal karena komandan Kaigun di Denpasar tidak bersedia bertemu dengan Satgas Prabowo,  bahkan ia memberi ultimatum agar dalam waktu 24 jam Satgas Prabowo meninggalkan Bali. Sikap komandan Kaigun ini ternyata adalah akibat tibanya utusan sekutu dari Komando Asia Tenggara sehari sebelumnya yang memerintahkan Komandan Kaigun di Bali untuk tidak menyerahkan senjata kepada pemuda,  dan menjaga kamtib sampai sekutu mendarat di Bali.
           Kegagalan tahap pertama ini tidak membuat Prabowo dan Munadji menghentikan upayanya. Meraka segarea menguhubungi Shibata, yang kemudian menunjuk tiga orang Jepang untuk mendampingi Satgas Prabowo. Mereka adalah Tomegoro Yoshizumi (Arief), Kashioki Mike. Yang sudah disebut di atas, dan Takaachi. Dalam pelaksanaan tugas tahap kedua inilah Markadi diikutsertakan.
        Pada tahap kedua ini, mula-mula Satgas mengalam kesulitan karena komandan Kaigun di Denpasar tetap menolak untuk berunding karena telah terikat dengan perintah sekutu. Tetapi berkat bujukan tiga orang Jepang Satgas tadi, sikap komandan itu akhirnya melunak.
       Sesudah dua kali pertemuan, komandan Kaigun itu mengajukan usul. Karena Kaigun di Bali sudah terikat dengan perintah Sekutu, maka harus ditempuh jalan agar penyerahan senjata kepada pihak Indonesia tidak membahayakan posisi Kaigun di Bali di mata Sekutu. Maka cara yang ditempuh adalah seolah-olah terjadi ‘perebutan’ senjata Kaigun oleh pihak Indonesia. Untuk itu perlu didaratkan pasukan dari Jawa yang berjumlah antara 50 sampai 100 orang di Gilimanuk, dan seakan-akan ‘bertempur’ dengan pihak Kaigun. Seluruh personel Kaigun kemudian diamankan sesuai rencana, dan senjata-senjatanya disita. Dengan pertempuran pura-pura ini dapat diciptakan kesan bahwa senjata Kaigun di Bali bukan diserahkan begitu saja , melainkan direbut pihak Indonesia. Usul komandan Kaigun ini dapat disetujui Satgas, dan disepakati bahwa pelaksanaannya 3 sampai 4 minggu sesudsah persetujuan itu dicapai.
      Keputusan pertemuan tersebut disampaikan kepada Gubernur Sunda Kecil, Ketut Pudja, di Singaraja, dan kepada para pemimpin pemuda di Bali, antara lain Widja Kesuma dan Anak Agung Sutedja.
     Satgas Prabowo segera melapor kepada Markas Besar TKR Laut di Lawang. Pimpinan TKR Laut menyambut baik hasil pelaksanaan tugas Satgas Prabowo itu, dan memutuskan untuk mengirimkan pasukan ke Bali sesuai dengan persetujuan Denpasar. Markadi diperintahkan untuk memimpin pasukan itu.
Pasukan M Melaksanakan Hasil Satgas
     Untuk menindak-lanjuti hasil Satgas Prabowo, Pasukan M perlu memperkuat diri dari segi baik personel maupun persenjataan. Saestuhadi, wakil komandan Pasukan M, tetapi juga siswa Sekolah Pertanian Menengah Tinggi (SPMT, sekarang disebut SPMA atau udah berubah lagi coeg) mulai menghubungi kawan-kawannya di Malang. Dalam waktu singkat terbentuklah pasukan berkekuatan 50 orang yang terdiri dari para siswa SPMT, termasuk satu gurunya, yaiu Pak Umar Drijopangarso, dan Sekolah Menengah Tinggi, sekarang SMA), Malng.
     Persenjataan berupa karaben kavaleri dan pistol metraliyur diperoleh dengan ikut merampas seluruh persenjataan Jepang di tangsi Rampal, Malang. Mereka semua sdudah mengikuti latihan militer di sekolah menengah zaman Jepang, di mana latihan militer adalah wajib. Bahkan ada yang sudah berpengalaman di front Surabaya.
    Awal Desember 1945 pasukan khusus ini diberangkatkan ke Banyuwangi. Sambil menunggu perintah pendaratan, mereka diberi tugas-tugas penjagaan sepanjang pantai dari Wongsorejo sampai Muncar.
    Sementara itu keadaan di Bali sudah samasekali berubah. Pada awal Desember 1945, utusan Sekutu mendarat di Benoa dalam jumlah yang sebetulnya tidak besar, dan hanya bermaksud mengawasi pelaksanaan perintah Sekutu kepada Jepang untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Kehadiran Sekutu ini membuat sikap Kaigun menjadi keras dan agresif. Bahkan atas perintah Sekutu, mereka merencanakan untuk menangkap semua pimpinan pemuda di Bali. Para pemuda menanggapi sikap dan rencana Jepang ini dengan cara yang keras pula. Tetapi kaena tidak memiliki senjata, rencana-rencana mereka tidak berhasil.
   Karena situasi yang sudah demikian berubah, kesepakatan antara Satgas Prabowo dan Komandan Kaigun di Denpasar pasti tidak dapat dilaksanakan. Maka pasukan khusus yang sudah siap diberangkatkan itu terpaksa ditarik kembali ke Malang.
Surat Perintah Kepala Staf Umum TKR Laut
   Sesudah persetujuan Denpasar tidak mungkin dilaksanakan, Prabowo,Munadji dan Markadi bersama-sama pergi ke Yogya untuk menemui Kepala Stad Umum TKR Laut, M. Pardi.
   Dalam pertemuan yang berlangsung di Markas Besar TKR laut itu, Prabowo melaporkan usaha-usaha Satgasnya untuk membuat Kaigun di Bali bersedia menyerahkan senjatanya kepada RI, juga perubahan sikap komandan Kaigun yang mengagalkan usahah-usaha itu. Menurut KSU, laporan Prabowo itu cocok dengan apa yang dilaporkan Ngurah Rai. Perlu dijelaskan bahwa komandan Resimen TKR Sunda Kecil itu pergi ke Jawa sesudah kegagalan konfrontasi dengan Jepang pada pertengahan Desember 1945 itu, dengan tujuan menjumpai para pemimpin Pemerintahan dan Angkatan guna mendapatkan senjata dan amunisi.
   Berdasarkan laporan-laporan yang telah diterima, Markas Besar TKR Laut memutuskan untuk memberikan bantuan kepada Ngurah Rai. Munadji diperintahkan untuk menyiapkan bantuan itu. Untuk pelaksanaan bantuan itu, Prabowo mengatur agar kepada Munadji diberikan Surat Keputusan. SK ini keluar pada tanggal 28 Januari 1946, dan untuk Munadji merupakan legalisasi pertama oleh Pemerintah Pusat bagi daya-upayanya membantu perjuangan di Bali. SK M. Pardi tersebut kemudian disusul dengan Surat Perintah yang berisi petunjuk pelaksanaan terperinci mengenai apa yang tercantum dalam SK tersebut.
  Dalam rangka melaksanakan tugas-tugas seperti yang diuraikan di atas Munadji dan Ngurah Rai sering mengadakan pertemuan. Sesungguhnya sejak meninggalkan Bali, Ngurah Rai sudah menggariskan bahwa bantuan yang diharapkan dari Jawa hanylah berupa senjata dan amunisi, bukan personel. Tetapi para pemimpin yang ditemuinya, termasuk yang ada di Pemerintah Pusat di Yogyakarta, memberitahukan bahwa member bantuan senjata dan amunisi saja tidak mungkin karena semuanya ada di tangan pasukan-pasukan yang tersebar di garis depan. Yang mungkin adalah member bantuan senjata beserta pasukan yang memegang senjata itu. Dalam situasi seperti itulah Ngurah Rai dapat menerima bantuan yang disediakan TKR Laut berupa pasukan dengan senjatanya, Selain pasukan TKR Laut Banyuwangi di bawah pimpinan Kapten Waroka, Bntuan tersebut akan berupa Pasukan M yang dipimpin Kapten Markadi.
Pasukan M Mempersiapkan Diri
    Tugas pokok Pasukan M adalah membantu TKR Resimen Sunda Kecil, dan membentuk basis perjuangan yang akan menjamin terpeliharanya hubungan anatra Resimen TKR Sunda Kecil dengan Jawa. Melalui basis perjuangan ini arus informasi timbale-balik dapat terpelihara, begitu pula pengiriman senjatya dan pasukan. Basis ini direncanakan berlokasi di Pekutata yang dekat dengan Medewei, yaitu yang menurut rencana merupakan titik-temu psukan Ngurah Rai dengan Pasukan M.
    Untuk melaksanakan tugas tersebut, Markadi harus mempersiapkan pasukan tempur. Dan untuk dapat membentuki basis perjuangan, ia jugaharus membawa pasukan yang, selain dapat bertempur, juga dapat membina masyarakat setempat.
    Sesungguhnya Markadi masih mempunyai pasukan yang utuh terutama untuk melaksanakan tugas ganda, yaitu bertempur dan membentuk basis perjuangan. Pasukan itu adalah yang semula direncanakan untuk didaratkan di Bali sehubungan dengan persetujuan Satgas Prabowo dengan komandan Kaigun di Denpasar. Sebagaimana kita ketahui, pendaratan itu tidak jadi dilakukan karena peristiwa di Bali pada pertengahan Desember 1945. Sekembalipasukan khusus itu di Malang, sebagian pindah ke kesatuan-kesatuan lain, tetapi yang tersisa masih 30 orang. Mereka menjadi inti Pasukan M dan disebut Combat Intelligence Section (CIS).
     Sebagai komandan Polisi Tentara Laut Resimen II TKR Laut MALANG, Markadi juga masih mempunyaipasukan tempur yang anggota-anggiotanya terdiri dari mantan Seinendan, Peta dan Kaigun Heiho.
    Persenjataan Pasukan M relatif lengkjap, antara lain karena didukumg oleh Markas Besar TKR Laut di Lawang dan di Yogya. Selain itu diperoleh senjata dari Front Surabaya dan Penataran Angkatan Laut (PAL) Surabaya. Juga senjata-senjata yang dirampas dari tangsi Jepang di Rampal oleh anggota-anggota CIS masih utuh. Persediaan granat dan amunisi cukup. Seragam diperoleh dengan merampas gudang Kaigun di Batu. Pasukan tempur itu dibagi menjadi empat seksi (peleton), yaitu Seksi 1 dipimpin Muhadji, Seksi 2 dipimpin Nurhadi, Seksi 3 dipimpin Mochtar dan Seksi 4 dipimpin Mangara Simamora.
    Pasukan M kemudian juga diperkuat oleh sekelompok dari TKR Laut Probolinggo di bawah pimpinan Gatot Suprapto Suwondo, dan Kompi Nazir dari TKR Laut Banyuwangi.
    Ketika persiapan di Malang sudah selesai, Pasukan M diberangkatkan ke Banyuwangi untuk mendekati sasaran. Akomodasi sudah dipersiapkan oleh TKR Laut Banyuwangi, yaitu suatu komplek perumahan luas milik pabrik gula yang sudah lama tutup, berlokasi di Sukowidi, sebelah utara Banyuwangi.
    Sambil menunggu operasi pendaratan, pasukan tempur mengadakan latihan-latihan ketrampilan tempur, termasuk latihan pendaratan. Sementara itu CIS sudah mulai dengan operasi-operasinya, Bulan Maret 1946, tiga tim dikirimkan ke Bali untuk mengumpulkan informasi terutama mengenai kekuatan dan lokasi musuh, mencari tempat0tempat pendaratan yang aman. Dan mengusahakan dukungan masyarakat untuk menerima Pasukan M di daerahnya. Dua tim mengadakan penyelidikan di Bali Selatan, dan satu tim di Bali Utara. Seminggu kemudian, ketiga tim itu sudah kembali ke Banyuwangi. Mereka mengkonfirmasikan bahwa pada bulan Maret seluruh Bali sudah diduduki tentara Belanda.
    Laporan CIS itu dicocokan dengan laporan yang diperoleh TKR Laut Banyuwangi dari informan-informannya. Berdasarkan laporan-laporan tersebut, disusun rencana operasi pendaratan: Waroka ke utara, Markadi ke selatan. Kemudian ditetapkan waktu dan tempat pemberangkatan. BAGI pasukan M tanggal pemberangkatan ditetapkan tanggal 3 April 1946 pada malam hari. Tempat pendaratan ditetapkan di pantai Bali Barat antara Cupel dan Candikesuma. Sesudah mendarat, seluruh pasukan menuju titik temu di desa Peh, di sebelah utara Jembrana
    Sementaraitu, sarana pendaratan berupa sejumlah jukung dan perahu mayang milik nelayan-nelayan di Muncar (sebelah selatan Banyuwangi) dipersiapkan. Juga bekal bagi pasukan pendarat, berupa kue moci dan dendeng banteng, sudah siap pula. Semua persipakan ini dilakukan oleh TKR Laut Banyuwangi. Mereka juga menyediakan dua motorboat untuk menarik perahu-perahu mayang sampai ke ten gah Selat Bali. Jam pemberangkatan ditentukan oleh pasang-surut dan arus. Saat yang paling tepat untuk menyebrang ialah bila arus Selat Bali menuju selatan, ke Samudra Hindia. Sesudah dilepas oleh motorboat, perahu-perahu pendarta akan dapat memanfaatkan arus tersebut.
Pertempuran Laut Pertama dalam Sejarah RI
      Operasi pendartan Pasukan M ditetapkan tanggal 3 April 1946, hamper bersamaan dengan pemberangkatan Pasukan Waroka dan Pasukan Ngurah Rai. Maka tatkala malam tiba pada tanggal itu Pasukan M mulai bergerak.
     Untuk mengelabuhi mata-mata musuh yang diperkirakan masih gentatyangan (dah kek setan) di sekitar Banyuwangi itu, sebagian pasukan bergerak lewat pantai dan sebagian lagi lewat jalan besar sambil berpura-pura mengadakan latihan perang-perangan menuju tempat embarkasi di pelabuhan Banyuwangi, di mana telah menunggu ‘armada semut’ yang terdiri atas 13 jukung dan 3 perahu mayang yang relative besar.
     Segera sesudah air mulai pasang, pasukan diperintahkan naik perahu. Peleton Nurhadi naik jukung, sedangkan Peleton Muhadji, Peleton Mochtar dan Peleton Mangara Simamora masing-masing naik satu perahu mayang. Harisudah menjelang tengah malam tatkala armada semut itu mulai bergerak, jukung-jukung berlayar dengan kekuatan sendiri sedangkan ketiga perahu mayang itu ditarik motorboat Baluran dari TKR Laut Banyuwangi.
     Kira-kira pukul 23.00 motorbot penarik itu mengalami kerusakan mesin sehingga perahu-perahu mayang itu dilepas dan terpaksa melanjutkan pelayaran dengan kekuatan sendiri menuju lokasi pendaratan di sekitar Candikesuma. Jukung-jukung dan satu perahu mayang berhasil sampai lebih dahulu di pantai Bali dan mendratkan Peleton Nurhadi dan Peleton Mangara Simamora
     Dua perahu mayang lainnya, termasuk yang ditumpangi Kapten Markadi, masih terkatung-katung di tengah laut karena angin tiba-tiba mati. Para anggota pasukan berusaha sekuat tenaga untukmenjalankan perahu-perahu itu dengan mendayung, namun semuanya sia-sia karena derasnya arus Selat Bali . Cuaca yang semula cukup baik berubah menjadi buruk dan hujan pun turun.
     Fajar menyingsingh pada 4 April itu, jarum menunjukkan jam 6:00, dan pantai Bali sudah Nampak samar-samar bagi pasukan yang ada di kedua perahu mayang itu. Namun perahu-perahu tersebut seolah-olah enggan bergerak. Kedua perahu yang ditumpangi Peleton Mochtar dan Peleton Muhadji itu bergerak perlahan-han secara beriringan yang tidak terlalu jauh, dengan haluan mengarah ke timur. Hari semakin siang, sudah lewat jam 6:30.
     Tiba-tiba dari arah tenggara muncul kapal yang cukup besar dari balik kabut pagi, yang dengan kecepatan penuh menuju ke arah perahu-perahu Pasukan M sambil melepaskan tembakan-tembakan otomatis. Peluru berjatuhan di depan haluan perahu. Kapal itu adalah salah satu dari kapal-kapal patrol Belanda yang tatkala itu sering Nampak menyusuri lautan pantai Bali.
     Kapten Markadi selaku komandan operasi ada di perahu depan. Menyadari gawatnya situasi, ia segera memerintahkan pasukannya untuk membuka seragam dan menyembunyikannya bersama senjata di lantai perahu. Namun ia juga memerintahkan kepada pasukannya untuk mengambil posisi, dan siap menembak setiap saat.
     Kapal patrol Belanda sudah semakin dekat, dan sekonyong-konyong memutar dan dengan kecepatan penuh menabrak lambung kanan perahu Kapten Markadi dengan maksud menenggelamkannya. Ini dicoba beberapa kali, namun perahu itu tidak juga mau tenggelam. Maka komandan kapal itu bicara dengan Kapten Markadi yang mengaku dan menyaru sebagai nelayan. Komandan itu kemudian memerintahkan ‘nelayan’ Markadi untuk ‘kasih tali’ supaya perahunya bisa ditarik ke pangkalan. Kapten markadi berpura-pura mematuhi perintah itu, tetapi ia memutar-mutar gulungan tali di atas kepalanya untuk member waktu. Maksudnya ialah untuk member waktu kepada pasukan untuk mempersiapkan diri.
    Jarak perahu Kapten Markadi dengan kapal patrol Belanda sudah sangat dekat, bahkan percakapan di dalam kapal pun terdengar. Waktu itulah terdengar seorang Belanda berteriak. “God, ze hebben spuiten!” (Mereka punya bedil!). Jadi Belanda sudah tahu bahwa yang dihadapinya bukanlah nelayan melainkan pasukan bersenjata.
    Pada saat Kapten Markadi mendegar teriakan orang Belanda itu, ia serta-merta melemparkan tali sambil member komando: “Tembak!” Ia menjatuhkan diri ke kiri, terjun ke laut, untuk muncul sesaat kemudian di lambung kanan perahu.
    Terjadilah pertempuran hebat dengan tembakan-tembakan dari jarak dekat. Perahu menempel pada kapal patrol, dengan posisi yang sangat rendah dibandingkan dengan posisi kapal tersebut. Keadaan ini ternyata sangat menguntungkan Peleton Mochtar yang ada di dalam perahu itu. Kapal Belanda tidak dapat mengarahkan dengan tepat senapan mesin berat yuang dipasang di geladak depan karena mengalami sudut mati, dan hanya dapat menembak layar perahu saja. Sebaliknya Pasukan M dengan leluasa dapat menembak ke atas dan melemparkan granat-granat tangan, termasuk granat bakar, yang berjatuhan di geladak, juga di dekat senapan mesin
    Sementara pertempuran sedang ramai-ramainya, dari arah utara (Gilimanuk) datang kapal patroli Belanda  yang lain untuk membantu rekannya. Kapal patrol Belanda kedua ini dihadang oleh Peleton Muhadji yang ada di perahu lainnya dan yang dipersenjatai dengan senapan mesin caliber 12,7 . Tembakan-tembakan gencar dari peleton ini berhasil menahan kapal itu sehingga tidak masuk ke daerah pertempuran.
   Kapal patrol musuh yang ‘ditempeli’ perahu Kapten Markadi mulai terbakar dan berusaha menjauh, kemudian melarikan diri dengan diselimuti asap tebal. Kapal patrol lainnya tidak mampu bertahan lagi, dan cepat-cepat ikut lari ke utara dengan diiringi sorak-sorai Pasukan M. Sebelum mencapai Gilimanuk, kapal patrol yang pertama tadi terlihat tenggelam.
    Kapten Markadi segera memerintahkan kedua perahu untuk berputar haluan, kembali ke Banyuwangi, karena dapat diduga bahwa Belanda akan ‘mengamuk’ dan mendatangkan peswat-pesawatnya. Tidak ada angimbertiup, namun arus laut sangat deras. Perahu-perahu bocor karena dindingnya banyak berlubang terkena peluru. Lubang-lubang itu kemudian ditutup dengan kue moci (onde-onde Jepang sebesar kepalan tangan) yang dibawa pasukan sebagi bekal.
    Dengan mula-mula menghanyutkan diri ke selatan, perahu-perahu yang habis bertempur itu akhirnya selamat sampai di Banyuwangi, Malam harinya, Kapten Markadi beserta Peleton Mochtar dan Peleton Muhadji naik perahu lagi, dan kali ini berhasil mendarat di pantai Bali, yaitu di Klatakan, Melaya dan Candikesuma. Sesudah mendarat, pasukan langsung menyeberang jalan besar menuju ke desa Peh (Manistutu) sesuai dengan rencana, untuk mengadakan konsolidasi dan mengatur penggabungan dengan para pemuda dan rakyat pulai Bali yang sudah dihubungi dan dipersiapkan terlebih dahulu oleh Combat Intelligence Section.
    Demikianlah kisah pertempuran laut pertama dalam sejarah Republik Indonesia, yang terjadi pada tanggal 4 April 1946 di Selat Bali. Pertempuran itu berlangsung hanya singkat, kira-kira 15 menit, namun sudah cukup untuk berhasil mengalahkan musuh.
    Kerugian di pihak TKR Laut ialah dua orang gugur, yaitu Sumeh Darsono dan Sidik, yang kedua-keduanya tertyembak pada tembakan pertama. Prajurit lainnya, Tamali, luka-luka tertembus peluru di bahunya. Kerugian di pihak musuh ialah satu kapal patroli terkabar dan tampak tenggelam. Jurumudi dan penembak senapan mesin kena tembak.
Gerakan Pasukan M di Bali Barat
     Sebagaimana telah disepakati, desa Peh adalah titik-temu unit-unit Pasukan M yang mendarat pada waktu dan tempat yang berbeda-berbeda. Tempat-tempat pendaratan adalah Klatakan, Penginuman dan Candikesuma, dan baru tanggal 10 April seluruh Pasukan M dapat berkumpul di Peh. Semuanya ini dapat terlaksana berkat bantuan masyarakat Bali – terutama para pemudanya – yang menyambut Pasukan M dengan hangat dan member bantuan berupa informasi maupun suplai makanan.
    Tugas Pasukan M – seperti telah dinyatakan – adalah membantu perjuangan Resimen TKR Sunda Kecil dan membentuk basis perjuangan.
    Dalam kerangka mini diputuskan oleh Markadi bahwa Pasukan M harus mengadakan gerakan-gerakan di Bali Barat untuk mengacaukan pihak Belanda sehingga dengan demikian perhatian musuh lebih tertuju ke barat dan bukannya ke timur di mana Ngurah Rai sedang mendaratkan pasukan-pasukannya dan mengkonsolidasikannya di Munduk Malang (Tabanan).
    Selama enam hari pada bulan April itu Pasukan M langsung dipimpin Markadi dan mengadakan raids atau serangan-serangan mendadak terhadap tentara Belanda. Yang perlu dicatat adalah pencegatan-pencegatan di Banyubiru, jembatan Candikesuma dan Klatakan. Musuh kemudian bermaksud membalas dengan mengerahkan sekurang-kurangnya dua peleton. Mereka mengejar Markadi dan Pasukannya sampai ke pinggir hutan, dan baru kembali ke jalan raya kira-kira jam 22:00.
     Atas usul Lettu Gusti Ngurah Dwinda, Pas M dipindahkan dari desa Peh ke desa Gelar, berdasarkan pertimbangan bahwa Gelar lebih dekat dengan Negara dan dekat pula dengan  basis perjuangan pemuda Jembrana. Sesudah seluruh Pas M pindah ke Gelar, Markadi mulai melaksanakan strateginya, baik yang menyangkut penguasaan territorial maupun yang berkaitan dengan tugas tempur
    Dengan para pejuang di Jembrana diadakan pertemuan-pertemuan yang kemudian menghasilkan terbentuknya Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia Sunda Kecil (DPRI-SK) Jembrana yang dipimpin oleh Ida Bagus Doster sebagai ketua dibantu oleh Gusti Ngurah Djendra. Combat Intelligence Section (CIS) di bawah pimpinan Saestuhadi dan Drijopangarso ditugaskan untuk tetap di Gelar, dan bersama-sama dengan DPRI melaksanakan pembinaan territorial dan memelihara hubungan dengan basis di Jawa (Sukowidi). Sebagai basis perjuangan, Gelar kemudian dikenal dengan sebutan ‘Lembah Merdeka’
    Sementara itu telah datang di Gelar Sdr. Soegeng, Kepala Polisi (RI) Nunukan yang memberitahukan bahwa pasukan Ngurah Rai sedang bergerak kea rah Tabanan Barat. Ia minta agar Pas M segera bergerak ke timur dan bergabung
    Untuk dapat secara lebih efektif membantu Resimen Ngurah Rai, Markadi memutuskan untuk melaksanakan seleksi di antara 4 peleton yang ia bawa dari Jawa. Ia memilih 36 prajurit yang paling tangguh yang bersenjata lengkap sebagai Pas M Ekspedisi khusus untuk tugas tempur. Pasukan kecil ini akan dipimpin sendiri oleh Markadi dengan Gusti Ngurah Dwinda sebagai wakilnya. Mangara Simamora dengan sisa peletonnya diperintahkan untuk tetap di Gelar guna membantu CIS dalam pembinaan territorial, sedangkan dua peleton lainnya diperintahkan kembali ke Jawa untuk menerima persenjataan tambahan yang telah dijanjikan oleh Kolonel Munadji.
     Selesai pembagian tugas ini, diadakan upacara perpisahan bagi kawan-kawan seperjuangan yang akan meninggalkan basis Gelar dengan mengibarkan Sang Saka Merah-Putih diiringi tiupan Sangkakala. Pas M Ekspedisi serta-merta berangkat dari Gelar menuju kea rah timur.
     Beberapa hari kemudian Gelar diserbu musuh dari darat dan udara. Karena sebagian besar senjata laras panjang sudah dibawa ke timur, maka serbuan Belanda itu sulit dilawan. CIS mundur ke bukit-bukit sebelah utara, dan selanjutnya kembali ke Jawa melalui pantai utara Bali, sedangkan peleton Mangara  Simamora bergerak ke timur menyusul Markadi.

Ini untuk part 1 nya gimana kawan seru gak untuk part 2 nya harap sabar ya….. ^-^

No comments:

Post a Comment