Tuesday, February 21, 2017

hensek luar biasa

Sometimes....

H-7
Dipikiran gue hanyalah fokus fokus dan fokus karena Senin masih Ujian Praktek
H-6
Besok praktek lagi -_-
H-5
After Praktek eug sakit
H-4
cuma bisa istirahat dirumah meski dipulangin wkwk
H-3
ga tau kenapa udah males ngidol
H-2
dadakan simulasi UNBK lagi tapi TO dari Univ Gundar Beasiswa gitu
H-1
sama simulasi juga cuma udah prepare bakal besok
hari H
jam 00:01 WIB sudah prepare segala macem yang harus dibawa, ga lupa juga udah pangkas rambut biar gans saat ketemu osha oshi.

Pokoknya siap-siap otw Bimbel dulu dafi GO (Ganesha Operation) di sekolaan

Gue bangun jam 06:53 WIB dan otw sekolah jam 07:45 WIB. Parahnya sih otak udah fokus HS ae pelajaran Ekonomi dan MTK pun ga konsen.

Selesai lah bimbel gue jam 11:30 WIB dan segera ngejemput Rivaldi harusnya sih bareng cewe tapi gajadi

Dan kita otw venue jam 12:30 WIB dan nyampe venue jam 14:25 WIB diperjalanan sih udah macet banget dah gitu nyasar juga, pokoknya parah dah.

Pas nyampe sih gue dan Rivaldi segera nyisir rambut biar ganteng dan gak lupa snapgram/instagram stories dulu biar kekinian.

Ekspetasi sih pasti bagus cuma agak nge down karena naik eskalator ke venue itu bosenin ampe lantai 7 nya.

Rutinitas pas baru masuk gate entry pasti di cek tas nya ya gue udah prepare akan hal itu dan ga lama gue bertemu sahabat-sahabat lama dan sempet masuk untuk mengetahui ada apa saja di dalam.

Karena dirasa gue butuh udara segar segera lah gue bangun dari duduk gue (perasaan tadi belum bilang duduk dah wkwkwk) dan beranjak pergi ke luar untuk berfikir dan menulis ini story sebentar.

Tapi disaat keluar ada hal yang mengejutkan, karena Aurel mantan gue tiba-tiba ada dan dia kayak kaget tapi sombong ya biarkan lah toh lagi bicara mungkin ama temen ceweknya itu haha.

15.15 WIB rasanya masih terlalu sore untuk segera mengakhiri acara ini dan gue gabut gajelas dan lagi akhirnya masuk keluar dan lagi akan kata dan nya gue ketemu bocah Cilegon.

Sempet juga bertemu Fans jauh dari Bangil (Kabupaten Pasuruan) Jawa Timur. Berbincang-bincang seperti hal nya HS yang lalu-lalu dan target bertemu Fanbase Ngawi sama Pekanbaru cuma target utama ketemu Aurel lah wkwkwk

16:48 WIB sesi 6 sudah berakhir dan mau HS apa kgk nya masih labil, dan kayak biasanya karena pen gabut sendiri jadi si Rivaldi gue titip sama Fanbase Banten dan gue mulai ekpedisi lagi kegabutan gue.

Gue pun mulai mondar mandir ga karuan dari ketemu fanbase Ngawi ampe Cirebon bahkan Lampung juga pokoknya isinya muter-muter doang sampai jam 17:52 WIB ketemu Denika sama Boyol dan otw Warteg bawah.

Sampai di warteg guepun makan 2 porsi, mungkin efek bimbel Ekonomi sama MTK tadi pagi dan Macet nya hiruk pikuk kehidupan di Ibukota Jakarta.

Karena takut bakalan ga HS segera buru-buru lah keatas tapi apa daya takdir. Regis dah ditutup tapi malah ketemu Zipau sama Afif dan Nopal jadinya malah gakaruan ditambah harus jemput cewe dulu dibawah hadeh.....

Yaudah ketemu deh di Ichiban Kuningan Mall bkn Fx ya guys. Dan alhasil dapet sushi gratis. Ga lama abis itu otw dah venue untuk menikmati acara terakhir yak! Mini Concert guys...

hensek festival love trip bandung

perjalanan yg sangat menyiksa ~~~

FLASHBACK DIKIT : PASUKAN M TKR LAUT BERMAIN DENGAN MAUT DEMI NUSA DAN BANGSA Part 6

8.Kisah Widja Kesuma mengenai Pertempuran di Karanganyar dan Perjumpaannya dengan Pasukan M

a.                     Sore hari sewaktu akan meneruskan perjalanan menuju Munduk Malang datanglah laporan bahwa ada seregu patroli tentara Nica datang dan bermukim di sekolah desa Karanganyar. Pak Sugianyar segera mengirim regu penyelidikannya serta mengatur pasukannya untuk melakukan penyergapan. Sekitar jam 21:00 malam pasukan mulai memberondong sekolah tempat Nica itu tinggal.

Sesaat tidak terdengar tembakan balasan dari dalam sekolah, dan pasukan mulai merayap mendekati tempat tentara musuh itu. Letusan pertama dari pihak musuh mulai terdengar, dan terjadilah tembak-menembak sepanjang malam hingga jam 04:00 pagi. Sebuah lomp (jujur dah eug gatau maksudnya apaan wkwkwk) menyala di atas di belakang penempatan komando kami. Alam sekitarnya menjadi terang-benderang karena lomp tersebut. Pasukan kami, karena hari sudah menjelang pagi, perlahan-lahan mundur menuju ke utara ke arah Munduk Malang. Konsolidasi pasukan diadakan di desa Kesiut. Dari sini akhirnya kami menuju ke Munduk Malang. Pak Rai tampak sangat senang. Beliau datang menyalami saya sambil tersenyum dan berkata, “Mengasolah dengan tenang, Jok.”

b.                    Beberapa hari kemudian Pak Pancer dari Uma Seka yang ditugaskan sebagai pos tetap pemantau pendaratan TKR Laut di Jembrana datang melapor kepada Pak Rai, saya tidak tahu apa yang dilaporkan, tetapi Pak Rai mengatakan kepada saya sepasukan TKR Laut sudah berhasil lewat ke timur, dan dalam beberapa hari akan sampai di Munduk Malang.

Itu Benar semua, dan dua hari kemudian saya melihat pasukan Pak Markadi berbaris dalam syaf dua lewat di depan kubu kami, dan memberikan laporan kepada Pak Rai. Saya melihat dan kagum menyaksikan disiplin anak buah Pak Markadi itu. Sudah jelas mereka semua itu, yang juga terdiri dari beberapa orang putra Bali, melakukan perjuangan itu tanpa memperhitungkan untung-rugi bagi dirinya sendiri.

Mereka sepenuhnya dengan ikhlas mempertaruhkan nyawanya demi kemerdekaan tanah air dan bangsanya. Pakaian dinasnya adalah pakaian dinas angkatan laut biru tua berkerah lebar ke belakang dengan dua strip putih. Masing-masing memikul senapan. Ada dua orang memikul senapan mesin. Mereka semua bermukim di Munduk Malang dan tidak ada keluhan apa-apa baik mengenai akomodasi maupun makanannya. Situasi serupa ini menumbuhkan rasa kesatuan yang kompak, ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.

Selanjutnya dalam sejarah perjalanan pasukan Ngurah Rai dan Markadi menuju ke daerah timur, kesukaran makanan, kelaparan, pencegatan, penggrebekan dialami bersama-sama. Tidak terdengar suara iri hati, percekokan apalagi pertengkaran. Antara pasukan TKR Laut dengan pejuang Bali sudah terjalin satu ikatan persaudaraan yang kekal, lebih daripada saudara kandung sendiri.

9.Kisah Markadi Menyusup ke Pulau Jawa

                Sesudah beristirahat dua hari di Munduk Blatung, di mana saya bertemu dengan Mangara Simamora, Dugel Djoko  Imam Subekti, Marwoto dan Samekto, dan setelah menjelaskan misi kami, saya dan I Gusti Ngurah Mataram berangkat menuju ke desa Pulukan, Kabupaten Jembrana. Berkat petunjuk Kayadi, peuda Pulukan, kami sampai di desa itu larut malam, dan tidur di gubuk orang berkebun. Keeseokan harinya kami bertemu Pak Suratmin, pegawai Pekerjaan Umum yang berkerja pada pemerintahan Belanda hanya sebagai kedok agar dapat membantu para pejuang. Ia menasehatkan untuk tidak menghubungi siapapun tanpa perantaraannya. Ia mengatur seluruh perjalanan kami ke Negara. Di kota itu kami menginap di suatu rumah di Lolohan dan tidur di langit-langit. Selama dua hari kami di rumah itu tanpa berbicara dengan siapapun.

                Pada hari kedua, pada malam hari, datang dua orang pemuda, yaitu Nastra dan Jakfar. Mereka menjemput kami berdua, dan membawa kami ke suatu kebun yang kurang-lebih 4 km jauhnya dari desa Cupel. Hari berikutnya kami berempat tetap bersembunyi di kebun sambil menunggu Amin, pemuda kampung setempat yang ditugaskan oleh Jakfar untuk mencari sampan yang bisa dicuri. Waktu itu semua sampan telah dinaikkan ke darat dan diikat rantai oleh Belanda. Kami sangat gelisah, lebih-lebih karena tempat kami bersembunyi hanya beberapa kilometer saja dari pos Belanda. Sekitar pukul 7 malam, Amin datang dengan berita bahwa ada sebuah sampan yang tidak begitu jauh dari air dan dalam keadaan cukup baik, tetapi sangat dekat dengan pos polisi pemerintah Belanda.

                Kami segera membuat rencana untuk menyergap pos polisi itu, dan merampas sampan tersebut. Yang menjaga pos itu adalah seorang polisi (pribumi) yang bersenjata karaben dan seorang pembantunya yang bersenjata klewang. Waktu malam sudah agak larut, kami secara diam-diam menyusup ke pos polisi itu. Sergapan yang sangat mendadak dengan dua pistol membuat dua polisi itu sangat terkejut sehingga tidak memberi perlawanan samasekali. Karabennya saya rampas dan saya kosongkan pelurunya. Dengan kata-kata yang agak manis, saya minta kesadaran dua orang itu sebagai sesama bangsa Indonesia untuk membantu kami. Mereka segera ikut mengangkat sampan, yang sudah dilengkapi dengan tali-temali dan beberapa dayung, dari darat sampai ke air. Setelah sampai di air, karabennya saya buang ke tempat gelap, dan saya berpesan kepada dua polisi itu untuk tidak melapor ke pos tentara Belanda selama kira-kira dua jam. Tetapi belum sampai kami mendayung 300 meter, terdengar tembakan-tembakan dari pos polisi tadi. Sudah pasti dua orang polisi itu melapor ke pos Belanda di Cupel.

                Kira-kira satu jam sesudah tembakan-tembakan tadi, dari arah Cupel terlihat zoeklicht (lampu sorot besar) yang disorot-sorotkan ke laut. Tidak lama kemudian terdengar bunyi mesin kapal yang melaju cepat ke arah kami. Untung, laut sangat tinggi ombaknya sehingga ketika kapal melewati sampan kami, sampan kebetulan sedang ada di bagian gelombang yang rendah (lembah) sehingga kami tidak terlihat oleh musuh, dan selamat. Sesudah melawan gelombang yang ganas hampir semalam suntuk, tibalah kami sekitar jam 6 pagi di samping tanjung Sembulungan di hadapan desa Muncar. Namun hati masih was-was, jangan-jangan Banyuwangi sudah diduduki Belanda. Tidak lama kemudian kami berpapasan dengan beberapa perahu nelayan, dan dari mereka kami baru tahu bahwa Banyuwangi masih daerah RI.

                Surat-surat yang saya bawa untuk Pemerintah Pusat saya serahkan kepada Kolonel Munadji, Kolonel Sutopo dan Kolonel Suyono, sedangkan I Gusti Ngurah Mataram menyampaikan surat-surat yang dibawanya kepada Perwakilan Resimen Ngurah Rai di Banyuwangi.
                Tanggal pemberangkatan saya dari Bangli (Bali Timur) saya tidak ingat, tetapi setelah mendarat di Muncar saya baru tahu bahwa peringatan 17 Agustus 1946 berlangsung 10 hari yang lewat.

10.Kisah Mengenai supono (anonim)

                Dalam pencegatan dini hari oleh tentara Belanda di jalan setapak pinggir hutan sebelah barat Pulukan, Kabupaten Jembrana, jari tengah kanan Supono terkena peluru dan hampir putus. Yang terkena tepatnya adalah persendian kedua (di tengah-tengah jari), tetapi bagian jari yang hampir lepas itu masih menggantung di tangan karena masih ada sedikit tulang dan daging pada luka tersebut.

                Berhari-hari Supono harus membawa-serta jarinya yang hampir putus itu, dan harus menderita rasa nyeri yang luar-biasa. Karena sudah tidak tahan lagi, ia mengambil keputusan untuk memotong jarinya tersebut. Lagipula infeksi sudah mulai menyerang lukanya itu.
Gunting tua berkarat kemudian dapat dipinjam dari penduduk suatu kampung. Apa boleh buat, amputasi akan dilaksanakan dengan alat itu.

                Gunting diasah seperlunya, dibersihkan, lalu disterilkan dengan dibakar. Amputasi siap dilaksanakan. Dua orang teman menyekap badan Supono erat-erat, dua orang lainnya memegang tangannya erat-erat pula, sedangkan satu orang teamn lainnya bertugas sebagai ‘dokter bedah’ (atau ‘algojo’ karena tidak menggunakan anestesi). Krresss! Putuslah jari Supono. Dapat dibayangkan betapa sakitnya rasa yang harus diderita Supono. Ia langsung pingsan.

                Selesai amputasi itu, luka dibalut dengan kain seadanya, dan diberi obat tradisional berupa kunyit. Syukurlah tidak timbul infeksi, dan luka dapat sembuh dalam waktu tidak terlalu lama.
                Sekarang ini Supono adalah Mayor Purnawirawan TNI-AL.

11.Kisah Samekto tentang HUT RI yang Pertama 17 Agustus 1946

                Awal Agustus 1946, lepas tengah hari, satu pasukan berkekuatan setengah peleton (± 20 orang) di bawah pimpinan Dugel mencegat patroli Belanda di luar desa Penataran, sebelah barat laut Tabanan. Dua serdadu musuh yang tewas ditinggal di tempat, sedangkan yang sepuluh lainnya, termasuk kontrolir Tabanan, dibawa lari. Di pihak kita, dua pemuda cedera berat. Seorang di antaranya, Kurawa, dadanya tertembus peluru dan mengerang kesakitan sepanjang malam untuk akhirnya gugur pagi harinya.

                Tidak lama setelah kawan kita itu menutup mata untuk selamanya, terdengar raungan pesawat pemburu ‘cocor merah’ (Mustang), pertanda musuh datang menyerang. Pengawal-pengawal yang ditempatkan di sekitar desa tidak ada satu pun yang datang melapor, yang berarti mereka tidak sempat lagi, yang berarti pula bahwa musuh sudah dekat dan datang dari semua jurusan dalam jumlah besar. Pasukan kita yang sudah stelling siap melawan, tetapi terpaksa diperintahkan untuk masuk hutan, karena melawan berarti konyol. Belum sampai satu menit pasukan masuk hutan, terdengar serentetan tembakan. Kemudian diketahui bahwa musuh melakukan eksekusi terhadap Katibin dan Kardiono, anggota-anggota Pas M yang tersesat di sekitar desa.

                Karena gagal menemukan pasukan kita, musuh rupa-rupanya penasaran, dan berhari-hari terus mengubek-ubek daerah sekitaran Penataran dan Munduk Blatung. Sementara itu, hari sudah menjelang 17 Agustus. Pasukan mulai melakukan persiapan-persiapan untuk memperingati HUT pertama Republik Indonesia. Upacara diputuskan untuk dilakukan di tengah hutan mengingat gencarnya patroli Belanda. Maka dibuatlah ‘tiang bendera’, yaitu pohon kecil tegak lurus yang dihilangi dahan-dahan, ranting-ranting serta daun-daunnya, tanpa ditebang.
                Tanggal 17 Agustus 1946, pagi hari, seluruh pasukan yang berkekuatan satu peleton (± 40 orang), yang terdiri dari anggota-anggota TKR Laut dan sejumlah pemuda setempat, berbaris serapi-rapinya, menghadap tiiang bendera hidup tadi. ‘Serapi-rapinya’, yang berarti tidak rapi benar karena memang tidak mungkin berbaris rapi di sela-sela pepohonan hutan lebat. Pun seragam yang sudah kumal dan compang-camping tidak mungkin memberikan pemandangan yang rapi. Hutan masih basah karena hujan semalam, dan pagi itu masih mendung sehingga hutan yang selalu redup bertambah redup.

                Merah-putih dinaikkan dibarengi Indonesia Raya, yang dinyanyikan oleh anggota-anggota pasukan. Ketika mengheningkan cipta, dada terasa sesak. Yang dikenang adalah arwah para pahlawan, arwah teman-teman sendiri yang mati muda, yang gugur dalam beberapa bulan sejak mereka mendarat di Bali bulan April dan bulan Juli 1946. Nanti atau besok mungkin giliran mereka untuk menyusul kawan-kawan ke akhirat. Upacara tidak disudahi dengan pidato-pidato apapun karena tidak ada yang mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Dada terasa penuh, dan leher terasa tercekik, oleh luapan perasaan. Tetapi masing-masing sadar bahwa segala kesengsaraan yang dialami, dan segala pengorbanan yang telah dan akan diberikan dengan ikhlas, adalah demi kemerdekaan bangsa, demi tegaknya Republik Indonesia untuk selama-lamanya.

12.Kisah Tamsir mengenai Pertempuran Margarana

a              Nama saya Tamsir, anggota Pas M/TKR Laut yang ikut dalam Operasi Lintas Laut Banyuwangi-Bali pada bulan April 1946. Saya dan Bung Slamet (Jepang) sangat beruntung bisa selalu dekat mendampingi Komandan Pak Markadi dalam gerak kilat Pas M di seluruh Pulau Bali dengan rentetan pertempuran-pertempurannya yang dahsyat di Pulukan, Tabanan, Kintamani, Karangasem, Danau Batur, Tanah Aron-Gunung Agung, menyergap-disergap musuh, menyerang-diserang, menghadang-dihadang, bersama-sama dengan pasukan yang lebih besar dari tentara AD dan pemuda Bali, di bawah pimpinan Pak Ngurah Rai.

b             Beberapa hari berjalan, sampailah Pasukan M di tempat yang dituju, dan kami sempat diinspeksi oleh Bapak I Gusti Ngurah Rai. Pasukan kamu diperintahkan menempati sisi barat medan, karena bersenjata berat. Kami mulai mengatur posisi untuk siap menyongsong usuh. Selang beberapa hari, datanglah serbuan musuh yang amat besar jumlahnya, terdiri atas suku Ambon, Manado, Jawa dan Belanda sendiri, yang menghujani kami dengan mortir, senjata otomatis yang tak terkira dahsyatnya. Selama tiga hari dua malam kami bertempur, sedangkan pesawat meraung-raung rendah menghujani bom dan granat. Di waktu malam mereka menerangi medan dengan peluru-peluru lom. Belanda mengobral peluru luar biasa banyaknya yang belum pernah saya alami. Seperti biasa kami membidik musuh yang  terlihat baik-baik, dan banyaknya yang kami lihat bergelimpangan terkena tembakan pasukan kami.

                Dapat dibayangkan bahwa dari pihak pejuang pun banyak korbaan berjatuhan. Lama-lama saking asyiknya, baru saya sadari bahwa dari arah kawan-kawan lainnya di seluruh medan tembakan praktis terhenti. Tinggal kubu kami yang terus menembak dengan memilih sasaran yang tepat. Tembakan musuh seolah-olh dipusatkan ke pertahanan Pas M. Musuh berangsur mendekat dan tembakannya semakin gencar. Saya tetap membalas, sehingga akhirnya pada jam 13:30 Bung Slamet gugur terkena tembakan di kepalanyaa. Senapan mesin segera saya ambil alih, dan peluru yang tinggal 3 cm saja saya tembakkan sampai habis. Senapan mesin saya buang, dan bedil saya sendiri saya ambil. Peluru tinggal 17 butir.

                Saya tinggalkan kawan-kawan yang gugur, dan saya lari menuju arah selatan, dengan diikuti berondongan dari segala macam senjata musuh. Tetapi tidak seorang musuh pun yang mengejar saya. Dengan setengah berlari saya terus menuju selatan, saya tidak berjumpa kawan satu pun. Setelah hampir petang, sampailah saya di kampung kecil di lereng perbukitan yang menurut kata mereka masih termasuk kawasan Tabanan.

13.Kisah Soebagio mengenai Obe Nauf

                Berulang kali Pas M mengadakan serangan umum gabungan bersama dengan pasukan-pasukan lain di seputar Wlingi-Kesamben. Serangan umum itu biasanya dilakukan pada malam hari. Tujuannya ialah untuk menunjukkan kepada musuh bahwa tentara RI masih kuat dan juga agar musuh tidak pernah sempat istirahat.

                Pada salah satu penyerbuan ke Wlingi, satu regu Pas M berhasil menyusup sampai ke jembatan kereta api yang hanya beberapa meter jaraknya dari markas Belanda. Pratu Obe Nauf, anggota Pas M asal Timor, ada di bawah jembatan itu dan menembak seorang serdadu Belanda yang langsung jatuh di dekat Obe. Sayang, senjata serdadu itu tersangkut di atas sehingga Obe tidak dapat meraihnya. Daripada mundur dengan tangan hampa, Obe merampas jam tangan serdadu Belanda tersebut yang berkilauan karena radium.

14.Kisah Soebagio tentang Gugurnya Sersan Haniwan

                Pada bulan April 1949, pos Belanda di Talun, dekat Blitar, dikosongkan oleh Belanda. Kesempatan ini hendak digunakan oleh Pelda Suntoro untuk membongkar jembatan kereta api di dekat Talun dengan mengerahkan 80 rakyat. Pengawalan dilakukan oleh regu Haniwan yang bersenjatakan antara lain senapan mesin berat 12,7
                Rencana tersebut mulai dilaksanakan pada malam hari, tetapi tanpa diduga-duga terlihat gerakan kira-kira satu peleton tentara Belanda yang menuju ke jembatan yang akan dibongkar itu. Pasti rencana Letda Suntoro sudah bocor. Kalau tidak, tentu tentara Belanda tidak akan keluar malam hari. Ini belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Segera rakyat diperintahkan untuk bubar, dan Sersan Haniwan diperintahkan untuk mundur.

                Rupa-rupanya Haniwan tidak yakin, dan terus saja ia berjalan ke jembatan. Ia sudah kedahuluan musuh, tetapi ia tidak tahu. Kurang-lebih 50 meter dari jembatan, senapan mesin 12,7 diperintahkannya stelling di tepi jalan, sedangkan ia sendiri menuju ke jembatan dengan membawa lentera minyak tanah guna menyelidiki keadaan. Ia memergoki dua serdadu Belanda tiarap di dekatnya, dan serta-merta ia berteriak, “Tembak!” Terjadilah tembak-menembak seru. Dalam pertempuran itu Sersan Haniwan gugur, dan tiga anak-buahnya menderita luka-luka.

15.Kisah Soebagio mengenai Nasib Brencarrier Belanda

                Pada awal gencatan senjata tahun 1949, terjadi sengketa yang agak serius antara Pasukan TRIP dan tentara Belanda mengenai garis demarkasi. Masing-masing pihak menetapkan deadline dan saling memberi ultimatum.

                Pada malam deadline itu Pas M memprediksi bahwa pos Belanda di Siraman akan diperkuat untuk menghadapi kemungkinan diserang. Maka diputuskan untuk menyanggong (memasang binderlaag) di sebelah barat pos tersebut.

                Pada malam itu Lettu Soebagio dan Peltu Samekto, dengan dikawal Regu Suryadi, berangkat ke posisi yang akan dilalui konvoi Belanda. Mereka membawa satu trekbom karet high explosive (bahasa Jepangnya futong) lengkap dengan detonator dan kawat penariknya. Bom dipasang pada gorong-gorong suatu jembatan kecil.

                Pada kira-kira jm 03:00 dini hari terdengar bunyi kendaraan bermotor yang bergerak dari barat. Kendaraan tersebut adalah brencarrier (tank kecil yang dipersenjatai bren). Setelah dapat dipastikan bahwa brencarrier tersebut tepat ada di atas jembatan, bom ditarik dan terdengar ledakan dahsyat dengan disertai semburan api setinggi pohon kelapa. “Op een mijn gelopen!” (Kena ranjau!) begitu terdengar teriakan serdadu Belanda totok, diikuti tembakan senjata otomatis yang tersendat-sendat.







And naw the last part for the story of Pasukan M. Gimana kawan ? seru ga seru kita kudu tau sejarah negara kita apapun alasan lu juga dan masih ada satu part terakhir jadi tungguin yak

---Last PART 6---